Kepiawaian Gulbadan menulis tersohor pada masa itu.
“Tulislah apa pun yang Anda tahu dari tingkah polah Firdous-Makani (Babur) dan Jannat-Ashyani (Humayun). Selama Firdaus Makani berada di dunia fana ini hingga kembali ke alam kekal.”
Kutipan di atas mengawali karya Gulbadan Begum yang bertajuk Ahwal Humayun Padshah Jamah Kardom Gulbadan Begum bint Babur Padshah amma Akbar Padshah.
Buku yang kemudian dikenal dengan Humayun Nama Itu memuat kisah biografi ayahanda Pangeran Akbar, almarhum Humayun. Kisah itu terdokumentasikan hingga kini sebagai warisan sejarah dari seorang penulis ulung Kerajaan Mughal, India.
Karya itu merupakan debut berharga Gulbadan dalam penulisan buku. Awal perjalanan Gulbadan menulis merupakan sebuah tugas yang diberikan Akbar keponakannya untuk mencatat kisah ayahnya Humayun. Hal itu disebabkan Akbar mengetahui bibinya memiliki kemampuan yang baik dalam bercerita.
Pada masa itu, Raja Mughal sangat tertarik dengan mendokumentasikan pemerintahan setiap raja yang memimpin. Selain Humayun, kisah Akbar pun didokumentasikan dengan judul Akbarnamaoleh Abul Fazl. Akbar meminta bibinya untuk menulis apa pun yang dia ingat tentang kehidupan kakaknya.
Kepiawaian Gulbadan menulis tampak dari gaya penulisannya yang khas. Goretan pena dengan bahasa Persia. Sederhana tanpa istilah ilmiah yang lazim digunakan penulis terkenal.
Dia belajar dari ayahnya yang menulis sendiri kisahnya Baburnama. Sekilas, nyaris tak ada perbedaan antara gaya penulisan Gulbadan dan Sang Ayah, Babur.
Keunikan lain yang dimiliki oleh Gulbadan, dia hanya menulis apa yang dia ingat tanpa majas dan sangat faktual.
Menulis sejarah tidak hanya berdasarkan kronologi mengenai penderitaan yang dialami selama pemerintahan Humayun, tetapi juga menceritakan sekilas mengenai kehidupan perempuan Mughal.
Saat ini, kitab yang ditulis Gulbadan masih tersimpan. Dan, satu-satunya dokumen yang tersisa yang ditulis oleh wanita terhormat dari abad ke-16.
Sayangnya, dokumen tersebut ditemukan tidak terawat dan banyak halaman yang hilang, terutama dalam bab-bab terakhir. Dalam dokumen tersebut, juga berisi kisah hidup mengenai Gulbadan.
Selain dikenal penulis nonfiksi yang andal, Gulbadan juga lihai merangkai kata. Dia juga pandai menulis puisi, seorang penyair. Sayangnya, tak satu pun kumpulan puisinya terabadikan hingga kini.
Kecuali, dua bait syair yang terdapat dalam kompilasi kasidah Kaisar Bhadur Shah Zafar serta beberapa referensi oleh Mir Taqi Mir. Secuil peninggalannya itu cukup menggambarkan tentang kualitas perempuan di era Mughal.
Bunga mawar
Gulbadan Begum dalam bahasa Persia berarti tubuh seperti bunga mawar. Gulbadan Begum berdarah Persia dan Turki. Dia terlahir dari Kaisar Babur dari India dan ibunya Dildar Begum yang merupakan saudara dari Kaisar kedua Mughal Humayun.
Gulbadan lahir ketika ayahnya berkuasa selama 19 tahun di Kabul, Afghanistan, pada 1923. Sang Ayah telah menguasai Kunduz dan Badakhshan. Pada 1519, wilayah kekuasaannya telah mencapai Bajaur dan Swat serta Qandahar hanya dalam setahun.
Setelah itu, dia memperluas kekuasaan ke seluruh negeri Industan dan menaklukkan seluruh kerajaan di India dan Babur diberi gelar Padhsah. Gulbadan memiliki tiga saudara, satu kakak laki-laki Hindal Mirza dan dua kakak perempuan Gulrang Begum dan Gulchehra Begum.
Sekelumit kisah Gulbadan di antaranya terkait dengan pernikahan Gulbadan yang terjadi pada usia 17 tahun dengan Khizr Khwaja. Khizr merupakan keturunan chagtai Mughal dan penguasa Sayed khwajgan dari Bukhara.
Gulbadan merupakan wanita yang berpendidikan, saleh, berbudaya, dan royal. Dia gemar membaca dan wanita yang sangat dipercaya. Mahir berstrategi perang. Pengamat yang cerdik dan mampu membuat intrik dalam kesepakatan perang.
Sebagai seorang wanita Mughal hidupnya selalu nomaden. Apalagi saat Humayun, kakaknya, mengalami kekalahan perang dan harus turun takhta. Dia wafat dalam usia 80 tahun pada 7 Februari 1603. Seluruh anggota kerajaan turut berdukacita secara mendalam, tak terkecuali sang keponakan, Akbar.
Ratna Ajeng Tejomukti
Tidak ada komentar:
Posting Komentar