Senin, 22 Desember 2014
Ramadhan dan Sejarah Al-Azhar
Sejak lama, penguasa Mesir Modern melakukan seribu macam cara untuk melemahkan al-Azhar, termasuk sejak masa Muhammad Ali
SEBAGAIMANA Ramadhan adalah bulan penuh makna bagi kita selaku umat Islam, bulan suci Ramadhan kali ini juga merupakan bulan istimewa dalam sejarah al-Azhar. Tepatnya pada 7 Ramadhan 361 H (972 M) silam, yang untuk pertama kalinya ibadah sholat Jum’at dilaksanakan di masjid bersejarah tersebut. Maka menurut penanggalan hijriah, al-Azhar saat ini telah berumur 1072 tahun.
Seperti sudah jamak diketahui bahwa masjid al-Azhar didirikan oleh Dinasti Fatimiyah, sebuah dinasti Syiah Ismailiyah yang berhasil memasuki Mesir dan menakhlukkan Dinasti Ikhsyidiyah pada tahun 358 H.
Pendirian masjid tersebut merupakan bagian dari mega proyek pembangunan kota baru yang kelak menjadi ibukota Dinasti Fatimiyah di Mesir, yaitu Kairo. Maka bisa kita katakan bahwa sejarah al-Azhar tidak bisa terlepas dari sejarah kota Kairo.
Kala itu, sudah menjadi tradisi bahwa dalam pembangunan sebuah kota baru Islam di wilayah yang ditakhlukkan dibangun pula sebuah masjid. Fenomena tersebut konon bermula sejak zaman Khalifah Umar bin Khattab r.a. yang memerintahkan para gubernurnya untuk mendirikan sebuah masjid di setiap kota yang ditakhlukkan. Tujuannya, selain sebagai sentra kegiatan keagamaan dan keilmuan, juga agar menjadi simbol bagi agama dan peradaban Islam yang tumbuh dan berkembang di kota tersebut.
***
Mencermati latar belakang pembangunan masjid al-Azhar—yang dahulu disebut dan dikenal luas dengan masjid Kairo—serta Dinasti Fatimiyah yang menganut paham Syiah, dapat kita simpulkan bahwa pada awal sejarahnya al-Azhar digunakan sebagai pusat penyebaran paham Syiah di Mesir.
Namun kemudian Allah Subhanahu Wata’ala. berkehendak lain, yaitu menjadikan al-Azhar sebagai pusat keilmuan bagi aliran Sunni. Adalah Shalahuddin al-Ayyubi, Sang Panglima Perang yang berhasil menakhlukkan Dinasti Fatimiyah pada abad ke-6 Hijriyah.
Keberhasilan tersebut berarti akhir sejarah bagi dinasti Syiah di bumi Kinanah, sekaligus menjadi titik mula sejarah baru bagi al-Azhar. Al-Azhar yang kemudian terus berkembang pesat hingga menjadi pusat keilmuan Sunni paling berpengaruh di dunia Islam.
Peran penting dan pengaruh besar al-Azhar di Mesir dan dunia Islam pun semakin nyata. Posisinya pun tak tergantikan di mata umat Islam. Sebagai sebuah pusat keilmuan, peran sentral dan pengaruhnya di dunia Islam tidak lagi kita pertanyakan. Bila al-Qayrawan merupakan universitas tertua di dunia, maka al-Azhar adalah universitas dengan pengaruh terbesar di dunia Islam. Hingga saat ini, al-Azhar kerap ditunjuk sebagai perwakilan umat Islam di berbagai forum internasional. Bahkan, masyarakat Indonesia masih memahami bahwa belajar di Mesir berarti menimba ilmu di al-Azhar.
Di samping kedudukannya sebagai sebuah institusi keilmuan Islam, al-Azhar juga memiliki pengaruh besar dalam kehidupan politik. Pada masa dinasti Turki Utsmani misalnya, al-Azhar mempunyai semacam kekuatan untuk menentukan Gubernur Mesir dengan syarat-syarat tertentu. Al-Azhar juga bisa menurunkan sang gubernur bila terbukti tidak lagi amanah, adil dan bijaksana.
Usaha Melemahkan al Azhar
Sadar akan peran yang begitu besar dan pengaruh yang sangat luas al-Azhar, para penguasa Mesir Modern kemudian melakukan seribu macam cara untuk melemahkan al-Azhar. Sejak masa Muhammad Ali usaha tersebut sudah mulai dilacarkan. Saat itu, ia dengan begitu gencar mendirikan institusi-institusi pendidikan dan keilmuan sebagai tandingan bagi al-Azhar. Ia pun berusaha keras untuk melepaskan pengaruh al-Azhar di Mesir.
Sikap dan kebijakan serupa terus dilakukan oleh para pemimpin Mesir berikutnya. Mereka berusaha menghalangi al-Azhar untuk mengambil peran dalam ranah politik. Pada saat yang sama, mereka mempergunakan Islam dan para ulamanya untuk mewujudkan tujuan politiknya.
Sebagai contoh, mari kita simak bagaimana rezim Muhammad Naguib dan kemudian Jamal A. Naser melemahkan al-Azhar. Bermula dari akhir 1952, dengan pengesahan undang-undang no. 180 tentang penghapusan wakaf swasta. Sebagai konsekuensinya, maka tanah-tanah wakaf yang menjadi sumber ekonomi utama al-Azhar dikuasai negara dan diserahkan kepada Departemen Perbaikan Pertanian. Rezim juga menghapus pengadilan-pengadilan syariah di Mesir, sehingga peran al-Azhar dalam praktek kehidupan rakyat Mesir semakin terbatas. Ditambah lagi dengan dikeluarkannya undang-undang no. 103 tahun 1961 tentang pengaturan ulang struktur al-Azhar. Undang-undang yang pada satu sisi mampu mengatur struktur baru bagi al-Azhar, namun di sisi lain menyebabkan kontrol negara atas al-Azhar semakin besar.
Alhasil, al-Azhar pun sangat jarang mengeluarkan sikap atau pernyataan yang berseberangan atau menentang rezim yang berkuasa. Posisi al-Azhar di mata umat Islam sebagai rujukan tertinggi dalam permasalahan fatwa dan dakwah pun mulai melemah. Kontrol serta pengawasan rezim yang begitu ketat dan ruang gerak al-Azhar berubah menjdai sangat terbatas. Di awal revolusi Mesir tahun 2011 lalu, al-Azhar—dalam lingkup sebuah institusi—pun tidak mengeluarkan pernyataan yang dengan tegas mendukung revolusi rakyat tersebut.
Kondisi inilah yang kemudian memaksa para ulama al-Azhar untuk bergerak dari luar al-Azhar sebagai sebuah institusi. Mereka memandang bahwa langkah tersebut memungkinkan mereka untuk bisa bergerak lebih leluasa. Sehingga muncullah berbagai organisasi-organisasi pergerakan Islam dan, al-Azhar tetap menjadi institusi pendidikan yang banyak menelurkan tokoh-tokoh pergerakan tersebut.
Pasca revolusi, berbagai usaha untuk mengembalikan dan mengembangkan peran, pengaruh dan kedudukan al-Azhar di mata umat Islam gencar dilakukan. Undang-undang independensi al-Azhar, termasuk didalamnya perubahan tata cara pemilihan Grand Syeikh al-Azhar, adalah langkah-langkah awal menuju titik terang tersebut.
Sayangnya, langkah-langkah awal tersebut pun tidak luput dari kritikan tajam beberapa tokoh Mesir. Salah satunya adalah Fahmi Howeidi, yang mengkritik undang-undang independensi al-Azhar yang dikeluarkan hanya beberapa hari sebelum pengangkatan parlemen Mesir, juga sistem penunjukan Haiah Kibâr al-Ulamâ’ yang dinilai masih menyisakan banyak celah dan kekurangan.
Pastinya, kita dan umat Islam senantiasa berharap akan kebangkitan al-Azhar. Harapan akan kebangkitan al-Azhar, sebesar harapan akan kebangkitan umat Islam. Wallâhu A’lam bi as-Shawâb.*
Hafid Apriliyan Santosa
Penulis adalah mahasiswa tingkat akhir Fakultas Bahasa Arab Universitas al-Azhar Kairo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar