Peradaban Islam melahirkan banyak ilmuwan yang melahirkan karya tulis di bidang geografi, di antaranya Ahmad al-Fargh?n? dan al-Idrisi
Dunia belum memiliki gambaran yang utuh dan sempurna dalam benak dan pengetahuan umat manusia yang hidup pada abad pertengahan atau masa-masa sebelumnya. Terbatasnya ilmu dan teknologi, menyebabkan belum terjangkaunya seluk beluk bumi yang jauh dari pusat-pusat peradaban dunia. Namun, para pelaut, pelancong, dan ilmuwan muslim memberikan kontribusi yang sangat penting di bidang geografi ketika peradaban-peradaban lainnya tengah tertunduk lesu dan tenggelam dalam mitos, isolasi diri, dan doktrin yang memusuhi sains. Pada tulisan ini, kita akan membahas peran dan sumbangan kaum muslimin dalam hal-hal yang terkait dengan ilmu geografi.
Peradaban sebelum Islam, terutama Yunani Kuno, Persia, dan India, sebetulnya telah memberikan kontribusi mereka masing-masing di bidang geografi. Namun, peranan tersebut menurun bersamaan dengan mundurnya peradaban mereka. Di dunia Barat sendiri, pergeseran dari paganisme ke agama Kristen ternyata tidak menolong berkembangnya pengetahuan umum. Bukannya semakin maju, ilmu pengetahuan di Eropa di bawah naungan Kristen justru semakin melorot dan kedodoran.
Nafis Ahmad, seorang profesor di bidang geografi, di dalam bukunya Muslim Contribution to Geography menjelaskan bahwa “Kemenangan Kristen mendorong para penganutnya untuk menganggap penelitian sains bukan hanya sebagai suatu pekerjaan yang sia-sia, tapi juga merusak agama. Oleh karena itu, kemunduran sains yang dimulai oleh Utilitarianisme Romawi telah lebih jauh dirusak oleh kesalehan Kristen.”
Kecenderungan pandangan bahwa bumi berbentuk bulat yang sebetulnya sudah ada pada masa-masa sebelumnya, telah ditolak oleh konsep geografi yang baru dari gereja dan digantikan dengan keyakinan terhadap bumi yang datar. Kecenderungan yang kuat untuk melakukan ziarah ternyata tidak banyak membantu dunia Kristen untuk mengembangkan pengetahuan ilmiah, lebih dari sekedar kesukaan dalam mengumpulkan relik-relik yang dianggap suci.
Munculnya peradaban Islam memberi pengaruh signifikan dalam menghidupkan kembali ilmu pengetahuan yang mulai terkubur dalam ketidakpastian sejarah. Terentangnya peradaban Islam dari Timur ke Barat, yang mencakup bekas-bekas peradaban Persia, Mesopotamia, Mesir Kuno, serta interaksinya yang intens dengan kebudayaan India dan Yunani-Romawi Kuno, telah memungkinkan para ilmuwan muslim untuk mempelajari dan mengembangkan pengetahuan yang sudah ada sebelumnya. S Maqbul Ahmad dan Fr. Taeschner menyebutkan bahwa ilmu geografi awal di dunia Islam banyak mengambil pengaruh dari India, Persia, dan Yunani Kuno, terutama melalui buku-buku yang diterjemahkan sejak awal masa Dinasti Abbasiyah.2 Para ilmuwan Muslim kemudian mengembangkannya lebih jauh dengan prestasi yang tak satu bangsa Eropa pun dapat menghasilkannya pada awal aktivitas sains mereka.3
Muhammad b. Musa al-Khawarizmi (wafat sekitar tahun 850 M) termasuk ilmuwan muslim awal yang menulis di bidang geografi, antara lain lewat bukunya yang berjudul Kit?b S?rat al-Ard (Shape of the Earth). Di antara karya berikutnya yang menonjol adalah tulisan Ibn Khurd?dhbih yang berjudul al-Mas?lik wa ’l-mam?lik (routes and kingdoms) yang draf awalnya disiapkan pada tahun 231H/846M. Kitab ini kemudian menjadi model penulisan geografi bagi para ilmuwan muslim. Beberapa di antaranya bahkan menggunakan judul yang sama untuk karya mereka. Pada masa-masa berikutnya ilmu tentang rute-rute (’ilm al-turuq) menjadi salah satu cabang ilmu yang penting di dunia Islam. Di samping itu, geografi juga biasa ditulis di bawah tema-tema besar, seperti Kit?b al-Buld?n (ditulis pada 290H/903M oleh Ibn al-Faq?h al-Hamadh?n?) yang menjelaskan tentang berbagai wilayah yang ada berdasarkan basis regional masing-masing, serta Suwar al-Aq?l?m oleh Ab? Zayd al-Balkh? (w. 322H/934M) yang terutama merupakan komentar atas beberapa buah peta. Tema-tema besar lainnya yang dihasilkan adalah Rihla yang merupakan laporan perjalanan para pelancong Muslim serta ’Adj?’ib, seperti Kit?b ’Adj?’ib al-Duny?, yang berisi tentang hal-hal yang unik di berbagai negeri. Istilah Djughr?fiy?, yang merupakan adopsi dari bahasa Yunani, digunakan untuk pertama kali dalam risalah Ikhw?n al-Saf?’. Para ilmuwan Muslim sendiri lebih sering menggunakan istilah S?rat al-Ard untuk mewakili disiplin ilmu ini.
Peradaban Islam melahirkan banyak ilmuwan yang melakukan penelitian dan karya tulis di bidang geografi. Pada masa-masa awal kita mengenal nama-nama seperti Ahmad al-Fargh?n? (w. setelah 247H/861M), Ab? Ma’shar al-Balkh? (w. 273H/886M), Ibn Hawqal, Ibn Rustah, al-Ya’qubi, al-Muqaddas?, dan al-Mas’?d?.8 Pada masa-masa berikutnya muncul nama-nama besar lainnya seperti al-Idrisi (w. 556H/1166M) yang bekerja untuk Raja Roger II di Sisilia dan membuat peta dunia serta menulis kitab yang kemudian dikenal sebagai Kit?b al-Ruj?r?.
Ab? Rayh?n al-B?r?n? (w. setelah 442H/1050M) juga merupakan salah satu ilmuwan terpenting untuk bidang ini. Beliau menulis tentang geografi dan antropologi India, di samping karya-karya lainnya. Al-B?r?n? memiliki penguasaan yang mendalam di bidang ini dan beberapa kesimpulan dan penelitiannya sangat menarik. Ia misalnya menyimpulkan, setelah melakukan penelitian terhadap bebatuan yang ada di India, bahwa India pada suatu ketika dulu merupakan laut. Ia menyebutkan bersambungnya rantai pegunungan di Asia dan Eropa, mulai dari pegunungan Himalaya hingga Alpen. Ia mengukur posisi geografis beberapa buah kota. Ia juga berteori bahwa ada jalur di Selatan Benua Afrika yang menghubungkan antara Laut Hindia dan Laut Atlantik, sebuah teori yang menarik mengingat pada masa itu apa yang ada di bagian selatan benua Afrika sama sekali belum diketahui.
Al-B?r?n? juga mengetahui fenomena pergeseran posisi matahari terhadap garis khatulistiwa. Ini tergambar pada sebuah kisah. Suatu kali seorang pelaut Turki menghadap Sultan Mahm?d al-Ghazn? dan menceritakan bahwa saat mereka berlayar ke selatan ke arah Kutub Selatan ia mengamati matahari dan mendapati bahwa hari terus menerus siang dan tidak ada malam hari. Mahm?d al-Ghazn? yang tidak bisa mempercayai cerita aneh semacam itu lalu memanggil al-B?r?n? yang kemudian membenarkannya dan menjelaskan fenomena itu secara ilmiah.
Ilmu navigasi dan kelautan termasuk cabang ilmu yang terkait dengan bidang geografi. Para pelaut muslim pada masa dahulu telah mengembangkan carta-laut (rahm?n?s dan daf?tir) sebagai alat bantu dalam perjalanan laut. Sebagian ahli navigasi muslim, dan juga pedagang muslim, telah menuliskan laporan atau kisah perjalanan mereka, atau setidaknya menjadi sumber informasi bagi para ilmuwan muslim seperti al-Mas’?d? dan al-Muqaddas?.
Di antara ahli-ahli navigasi muslim, Ahmad ibn M?djid mungkin bisa dianggap sebagai yang terpenting. Namun, pelaut yang hidup pada abad ke-15/16 dan menulis lebih dari 30 karya di bidang navigasi dan oceanografi ini melakukan sesuatu yang berdampak serius terhadap dunia Islam. Pada tahun 1498M ia membantu Vasco da Gama dalam perjalanan dari Malindi di pantai timur Afrika hingga ke Kalikut, India. Entah apakah Ibn M?djid mengetahui motif sesungguhnya dari pelaut Portugis itu, yang jelas peristiwa itu menandai bermulanya kolonialisme Barat di Asia Selatan dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Di samping ahli-ahli geografi dan navigasi Arab Muslim, tentu saja masih ada sumbangan para ahli Turki yang muncul agak belakangan, antara lain Sid? ’Ali dan P?r? Reis. Namun, setelah abad ke-15/16, peranan kaum Muslimin di bidang ini mulai mengalami kemunduran bersamaan dengan mundurnya peradaban mereka. Kini ilmu geografi dan bidang-bidang yang terkait dengannya telah berkembang sangat pesat. Akankah para ilmuwan muslim dapat kembali memberikan kontribusi mereka secara signifikan dalam lapangan ilmu pengetahuan? Wallahu a’lam. Alwi Alatas
[Kuala Lumpur, 22 Jumadil Awwal 1431/ 6 May 2010, kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar