Kitab kuning masih diperlukan sebagai pengantar masalah Islam kontemporer.
Sudah menjadi karakteristik, kitab-kitab Islam yang ditulis dengan aksara Arab atau Arab Melayu memakai kertas berwarna kuning. Istilah kitab kuning sudah melekat untuk menamai kitab-kitab keislaman tersebut.
Ada juga yang menamainya dengan kitab gundul karena tulisannya yang merupakan aksara Arab tersebut tidak memiliki harakat atau syakl (tanda baca).
Kertas berwarna kuning merupakan jenis kertas dengan kualitas yang paling rendah dan murah. Bahkan, tak jarang ditemui pada kitab-kitab kuning tersebut lembarannya tak terjilid sehingga mudah diambil bagian-bagian yang diperlukan tanpa harus membawa satu kitab secara utuh.
Karena, kitab-kitab tersebut biasanya hanya beredar di kalangan pesantren, tak jarang para santri hanya membawa lembaran-lembaran tertentu yang akan dipelajari. Itulah mungkin alasan mengapa kitab tersebut tidak dijilid layaknya buku-buku biasa.
Umumnya, kitab kuning ditulis tidak memiliki paragraf yang bisa mengatur alinea demi alinea. Biasanya, seluruh kitab ditulis secara bersambung dari awal hingga akhir buku.
Bahkan, tak jarang tempat yang sedikit tersisa di luar kolom pun dimanfaatkan untuk menulis syarah (penjelasan) saat pelajaran.
Hal ini nyaris tidak menyisakan sedikit pun tempat kosong di dalam halaman kitab tersebut karena terisi seluruhnya oleh tulisan. Kemungkinan, teknik seperti ini dilakukan untuk penghematan kertas.
Seiring perkembangan zaman, akhir-akhir ini kitab kuning sudah mengalami perubahan ketika dicetak ulang. Kitab kuning cetakan baru sudah banyak yang memakai kertas putih yang umum dipakai dalam dunia percetakan.
Demikian juga, sudah banyak kitab di antaranya tidak gundul lagi karena telah diberi harakat untuk lebih memudahkan pembaca. Dan, seperti layaknya sebuah buku, sebagian besar kitab kuning yang telah bewarna putih tersebut sudah dijilid.
Dari penampilan fisiknya, kini kitab kuning tidak mudah lagi dibedakan dari kitab-kitab baru yang biasanya disebut al-kutub al-‘asriyyah (buku-buku modern). Kini, perbedaannya terletak pada isi, sistematika, metodologi, bahasa, dan pengarangnya.
Timur Tengah sebagai daerah asalnya, kitab kuning disebut dengan al-Kutub al-Qadimah (buku-buku klasik) sebagai sandingan dan al-Kutub al-'asriyyah.
Al-Kutub al-Qadimah yang beredar di Indonesia (di kalangan pesantren) sangat terbatas jenis dan jumlahnya. Yang sangat dikenal adalah kitab-kitab yang berisi ilmu-ilmu syariat, khususnya ilmu fikih.
Ilmu-ilmu syariat lainnya adalah tasawuf, tafsir, hadis, akidah, dan tarikh. Sedangkan, dari khazanah keilmuan nonsyariat, yang banyak dikenal ialah kitab-kitab nahwu dan sharaf (tata bahasa Arab) yang mutlak diperlukan sebagai ilmu alat untuk membaca kitab gundul.
Dilihat dari ciri-ciri umum kitab kuning, penyajian setiap materi dari satu pokok bahasan selalu diawali dengan mengemukakan definisi yang tajam.
Definisi tersebut memberi batasan pengertian secara jelas untuk menghindari salah pengertian terhadap masaiah yang sedang dibahas.
Selanjutnya, setiap materi bahasan diuraikan unsur-unsurnya dengan segala syarat yang berkaitan dengan objek pembebasan. Pada tingkat syarfr (ulasan komentar) dijelaskan pula argumentasi penulisnya lengkap dengan penunjukan sumber hukumnya.
Selain itu, jika dilihat dari kandungan maknanya, kitab kuning dapat dikelompokkan menjadi dua macam. Pertama, kitab kuning yang berbentuk penawaran atau penyajian ilmu secara polos (naratif), seperti sejarah, hadis, tafsir, dan lain-lainnya.
Kedua, kitab kuning yang menyampaikan materi berbentuk kaidah-kaidah keilmuan, seperti usul fikih dan mustalah hadis (istilah-istilah yang berkenaan dengan hadis) dan semacamnya.
Sementara, dilihat dari kreativitas penulisannya, kitab kuning dapat dikategorikan menjadi tujuh macam. Pertama, kitab kuning yang menampilkan gagasan baru yang belum pemah dikemukakan oleh penulis-penulis sebelumnya, seperti kitab Ar-Risalah (tentang usul fikih) karya Imam asy-Syaft'i.
Kedua, kitab kuning yang muncul sebagai penyempurna terhadap karya yang telah ada, seperti kitab Nahw (tata bahasa Arab) karya Sibawaih yang menyempurnakan karya Abu al-Aswad Zalim bin Sufyan ad-Duwali.
Ketiga, kitab kuning yang berisi komentar (syarh) terhadap kitab yang telah ada, seperti Fath al-Barri Sahih al-Bukhari, karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang memberikan komentar terhadap Sahih al-Bukhari.
Selanjutnya, kitab kuning yang meringkas karya yang panjang lebar untuk dijadikan karangan singkat, tetapi padat, seperti kitab fikih Lubb al-Usul karya Syekh al-lslam Zakaria al-Anshari sebagai ringkasan dari Jam' aj-Jawami' Tajuddin bin Abdul Wahhab as-Subki.
Kelima, kitab kuning berupa kutipan dari berbagai kitab lain, seperti ‘Ulumul Qur’an karya al-Aufi. Keenam, kitab kuning yang isinya memperbarui sistematika dari kitab-kitab yang telah ada, seperti Ihya' 'Ulumuddin karya Imam al-Ghazali.
Terakhir, kitab kuning yang berisi kritik dan koreksi terhadap kitab-kitab yang telah ada, seperti Mi’yar Al ‘Ilmi yang meluruskan kaidah logika yang telah ada karya Imam al-Ghazali.
Ilmuwan kontemporer Mesir, Dr Jamaluddin Athiyah, yang juga penyusun buku Turats al-Fiqh al-Islam, menyebutkan kitab kuning masih tetap perlu dikaji.
Athiyah menyatakan, kitab kuning berfungsi sebagai pengantar bagi pembinaan hukum Islam kontemporer. Kemudian, ujar Athiyah, kitab kuning memberi penjelasan tafsir hukum Islam yang masih digunakan oleh hukum positif.
Di pesantren-pesantren, umumnya kitab kuning diajarkan dengan dua cara, yaitu cara sorogan dan bandongan.
Cara sorogan ialah santri satu per satu menghadap kiai dengan membawa kitab tertentu. Kiai membacakan kitab itu beberapa baris dengan makna yang lazim dipakai di pesantren.
Kemudian, santri mengulangi bacaan kiainya. Demikianlah dilakukan oleh para santri secara bergiliran. Biasanya cara sorogan dilakukan oleh santri yang masih tingkat awal dan terbatas pada kitab-kitab yang kecil saja.
Adapun cara bandongan adalah pengajaran kitab kuning secara klasikal, yakni semua santri menghadap kiai bersamaan.
Kiai membacakan kitab tertentu dengan makna dan penjelasan secukupnya, sementara para santri mendengar dan mencatat penjelasan kiai di pinggir halaman kitabnya.
Cara belajar seperti ini paling banyak dilakukan. Dengan cara bandongan, kitab-kitab yang besar seperti Sahih al-Bukhari dapat ditamatkan dalam waktu yang relatif singkat. Bahkan, ada yang bisa menamatkan dalam waktu tak lebih dari sebulan.
Hannan putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar