Senin, 22 Desember 2014
Mursy, Zanki, dan Harapan Kebangkitan Islam
Nuruddin Zanki muncul sebagai pemimpin ketika masyarakat Muslim masih relatif terpecah belah
Sementara banyak pembaca yang tentunya telah mengetahui tentang Muhammad Mursy, karena berita tentang beliau banyak menghiasi media massa belakangan ini, mungkin banyak yang belum mengetahui tentang Nuruddin Zanki (1118-1174), tokoh yang juga hendak diangkat di dalam tulisan ini. Berikut ini merupakan informasi ringkas tentang Nuruddin Zanki. Beliau merupakan seorang keturunan Turki Saljuk yang menjadi sultan di Suriah menggantikan ayahnya yang wafat pada tahun 1146. Beliau memimpin wilayah tersebut pada masa Perang Salib II dan setelahnya.
Proses penyatuan wilayah Muslim di Suriah dan sekitarnya serta proses Islamisasi wilayah tersebut dapat dikatakan dimulai oleh tokoh ini, setelah sebelumnya kaum Muslimin berpecah belah dan sibuk dengan perselisihan mazhab dan politik. Pada akhir masa pemerintahannya, ia mengutus Shirkuh dan keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, untuk masuk ke Mesir yang kemudian berlanjut dengan proses penghapusan Dinasti Fatimiyah oleh Shalahuddin. Nuruddin juga membangun visi yang kuat untuk membebaskan al-Quds yang ketika itu dikuasai oleh pasukan salib, walaupun beliau meninggal dunia sebelum sempat mewujudkan hal itu. Perjuangannya kemudian diteruskan oleh Shalahuddin al-Ayyubi.
Melalui tulisan ini kami ingin melakukan sedikit komparasi antara apa yang terjadi di Mesir sekarang ini dengan apa yang pernah berlaku pada masa Nuruddin Zanki. Sebetulnya perbandingan ini agak terlalu dini dan barangkali tidak sepenuhnya relevan, karena di samping adanya perbedaan-perbedaan waktu, tempat, dan kondisi sosial-politik yang dihadapi oleh kedua tokoh ini, kemenangan Mursy juga masih berada di fase yang sangat awal dan belum diketahui akhirnya. Namun, ada beberapa kesamaan yang membuat kami tertarik untuk merefleksikan fenomena kemenangan Mursy ini pada apa yang pernah terjadi kira-kira 850 tahun yang lalu di kawasan yang hampir sama. Beberapa kesamaan itu terkait dengan suasana zaman serta harapan yang muncul di tengah masyarakat Muslim terkait dengan hadirnya masing-masing figur ini.
Kita akan memulainya dari beberapa kemiripan suasana zaman. Nuruddin Zanki muncul sebagai pemimpin ketika masyarakat Muslim masih relatif terpecah belah.
Para pemimpinnya enggan bersatu dan para ulama sibuk dengan perselisihan mazhab. Dunia Islam yang dihadapi Mursy pada hari ini juga kurang lebih seperti itu. Para pemimpin Arab dan Muslim cenderung bermusuh-musuhan, dan para ulama dan tokoh Islam sibuk dengan perselisihan di antara mereka. Dunia Islam pada masa Nuruddin Zanki terpecah antara Sunni dan Syiah: Abbasiyah yang Sunni di Iraq, Iran, Suriah, dan Jazirah Arab berhadapan dengan Fatimiyah yang berhaluan Syiah Ismailiyah di Mesir.
Dunia Islam pada hari ini juga mengalami polarisasi ini: Mesir, Palestina, Turki, dan Jazirah Arab yang Sunni serta Iran yang berpaham Syiah Itsna Asy’ariah dan kini berada dalam satu kubu dengan Iraq dan Suriah. Perbedaannya adalah, pada masa kemunculan Nuruddin Zanki, Dinasti Fatimiyah di Mesir sudah mulai melemah, sementara Iran pada hari ini masih memiliki pengaruh yang sangat menonjol di kawasan Teluk dan Timur Tengah.
Zanki dan Mursy sama-sama menghadapi isu yang sangat krusial di dunia Islam, yaitu jatuhnya al-Quds (Yerusalem) ke tangan non-Muslim. Saat Nuruddin Zanki menjadi sultan pada tahun 1146, al-Quds telah dikuasai oleh kekuatan salib Kristen selama 47 tahun.
Kini, ketika Mursy terpilih sebagai presiden Mesir, al-Quds telah dikuasai oleh Zionis Yahudi selama 64 tahun. Kedua tokoh ini, Zanki dan Mursy, sama-sama memiliki visi yang kuat untuk mengembalikan al-Quds ke tangan kaum Muslimin. Mursy merupakan kader al Ikhwan al Muslimun, organisasi yang telah sejak lama mencita-citakan pembebasan al-Quds dari tangan Zionis. Hamas di Palestina yang berhadap-hadapan langsung dengan kekuatan Israel, lebih memiliki afiliasi khusus dengan Ikhwanul dan bukannya dengan Iran sebagaimana yang disebut-sebut oleh beberapa media. Karena itulah kemenangan Mursy menimbulkan kekhawatiran yang besar di pihak Israel dan memberi harapan lebih besar bagi pembebasan Palestina.
Kepribadian keduanya juga memiliki beberapa kesamaan, setidaknya dalam semangat keagamaan. Nuruddin Zanki merupakan seorang pemimpin yang shalih dan zuhud. Beliau selalu menegakkan shalat berjamaah, melakukan shalat malam, menyintai para ulama, ikut meriwayatkan hadits, dan sangat menjunjung tinggi syariat dan penegakkan keadilan.
Muhammad Mursy juga merupakan seorang yang shalih, hafiz al-Qur’an, dan selalu berusaha menegakkan shalat berjamaah. Bahkan kini setelah menjadi presiden beliau tetap menjalankan kebiasaannya itu dan menjadi imam bagi para pengawal pribadinya (Kompas.com, 28 Juni 2012).
Kehidupan Zanki jauh dari kemewahan, ia tidak mau makan berlebihan, dan ia terbiasa hidup sederhana. Ia tidak memandang kerajaan yang berada di dalam genggamannya sebagai milik atau sumber penghasilannya.
Ketika istrinya mengutus seseorang untuk meminta tambahan uang belanja kepadanya, Nuruddin Zanki menegur dengan kata-kata, “… Seandainya dia berpikir bahwa harta yang berada di tanganku adalah hartaku, sesungguhnya itu adalah pikiran yang salah. Sesungguhnya itu adalah harta Muslimin, dan untuk maslahat Muslimin, dan disiapkan untuk keadaan perang. Aku telah dijadikan penjaganya, dan aku tak akan mengkhianati mereka.”
Mursy juga bukan seorang yang mementingkan kesenangan duniawi. Walaupun ia merupakan seorang doktor bidang teknik lulusan Amerika Serikat, kehidupannya relatif sederhana. Rumahnya berada di luar kota Kairo dan ia mengontrak rumah selama beraktivitas di Kairo. Saat diangkat menjadi presiden, tampaknya ia dan keluarganya merasa enggan untuk pindah dan tinggal di istana kepresidenan.
Kemunculan Nuruddin Zanki dan Mursy pada zaman mereka masing-masing meniupkan suatu harapan baru di tengah dunia Islam, setelah kaum Muslimin tenggelam dalam kemunduran dan kekalahan selama beberapa waktu lamanya. Di masa-masa Perang Salib, harapan itu mulai muncul sejak masa kepemimpinan Imaduddin Zanki, ayah Nuruddin, dan menjadi lebih kuat lagi pada masa kepemimpinan Nuruddin Zanki. Harapan ini terlihat jelas, misalnya, pada proses penyatuan Damaskus ke dalam wilayah kekuasaan Nuruddin Zanki pada tahun 1150-an. Ketika menguasai beberapa wilayah di sekitar Damaskus, Nuruddin Zanki melarang anak buahnya melakukan penjarahan atau kezaliman terhadap penduduk.
Pada suatu hari, ketika Nuruddin Zanki dan pasukannya tiba di wilayah Ba’albek pada pertengahan tahun 1150, tiba-tiba hujan turun selama tiga hari berturut-turut, setelah sekian lama hujan tidak turun di wilayah itu. Orang-orang mengaitkan hal ini dengan kehadiran Nuruddin Zanki dan mengatakan, “Ini semua disebabkan oleh pengaruhnya yang penuh berkah, keadilannya dan perbuatannya yang lurus.” Kini ketika Mursy meraih kemenangan di Mesir, harapan-harapan baru pun muncul di tengah kaum Muslimin di beberapa belahan dunia. Kaum Muslimin di luar Mesir ikut menyambut kemenangan Mursy, seolah-olah sosok ini adalah presidennya juga. Foto-foto serta berita tentang Mursy yang bermunculan di beberapa media sosial, menyiratkan cukup besarnya harapan itu.
Bagaimanapun, Mursy masih berada di fase awal kemenangannya. Nuruddin Zanki sudah melewati zamannya dan telah menutup perjuangannya dengan manis. Mursy masih harus melewati hari-harinya dan sejarah masih akan mencatatnya. Dulu Nuruddin Zanki memulai perjuangannya sebagai sultan di Suriah dan pada akhir masa pemerintahannya berhasil menaklukkan Mesir dan mengakhiri riwayat Dinasti Fatimiyah yang memang sedang sakratul maut. Penyatuan kedua kekuatan ini kemudian membuka jalan bagi Shalahuddin al-Ayyubi pada masa berikutnya untuk membebaskan al-Quds dan Palestina dari tangan pasukan salib.
Kini Mursy mulai memimpin Mesir dan pada saat yang sama Suriah yang dipimpin oleh rezim berlatar Syiah Alawit tengah bergejolak. Semua mata tengah memandang, akankah rezim di Suriah jatuh pada akhirnya dan akankah hal itu membuka jalan bagi dikuasainya kembali al-Quds oleh kaum Muslimin? Banyak yang memiliki harapan seperti ini.
Bagaimanapun, ada beberapa perbedaan yang perlu dicermati. Dinasti Fatimiyah di Mesir sudah sangat lemah pada masa Nuruddin Zanki dan Nuruddin Zanki tidak masuk ke Mesir melainkan karena dua alasan.
Pertama, karena pasukan salib masuk ke negeri itu atas undangan wazir Mesir dan berusaha menanamkan pengaruhnya di sana.
Kedua, karena khalifah Fatimiyah, yang berseberangan dengan wazirnya, meminta pertolongan kepada Nuruddin Zanki agar ia mengirimkan pasukan untuk membantu mereka. Hal ini disetujui Nuruddin Zanki dengan dikirimkannya Shirkuh dan keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi, beserta pasukannya ke Mesir. Setelah Mesir dikuasai dan Shalahuddin kemudian menjadi pemimpin Mesir, proses perubahan pemerintahan Mesir menjadi Sunni dilakukan secara gradual dan tanpa kekerasan.
Barulah pada masa berikutnya, setelah wafatnya Nuruddin Zanki pada tahun 1174, Mesir dan Suriah bahu membahu di bawah kepemimpinan Shalahuddin al-Ayyubi dalam melancarkan perjuangan sehingga tercapainya pembebasan al-Quds dan Palestina beberapa tahun berikutnya.
Keadaannya berbeda pada hari ini. Di tengah mulai munculnya kekuatan politik Sunni di Timur Tengah saat ini, kekuatan politik Syiah yang berpusat di Iran juga masih sangat menonjol. Hal ini membuka peluang bagi terjadinya gesekan dan benturan fisik di antara kedua belah pihak yang sebetulnya tidak menguntungkan bagi dunia Islam secara keseluruhan.
Ancaman benturan itu cukup terasa pada pertarungan di Suriah saat ini di mana pemerintahan Sunni pada umumnya berpihak pada masyarakat Suriah dan berusaha menjatuhkan rezim Assad, sementara Iran membela dan berusaha mempertahankan pemerintahan Suriah yang sejak lama telah menjadi sekutunya.
Konflik di Suriah juga secara intensif melibatkan kekuatan Barat. Masalahnya, jika pada masa Nuruddin Zanki dahulu Fatimiyah menjadi pihak yang bekerja sama dengan kekuatan salib, kini dunia Sunni berada di front yang sama dengan Amerika Serikat dan sekutu-sekutu Baratnya. Apa pun alasannya, keadaan ini dapat membawa pada dua konsekuensi: apakah Amerika Serikat yang dimanfaatkan untuk mendongkel rezim Suriah, atau Amerika Serikat dan sekutunya yang memanfaatkan kaum Muslimin untuk berperang satu sama lain dan pada gilirannya akan melanggengkan hegemoninya di Timur Tengah. Ini merupakan keadaan yang mesti disikapi dengan sangat hati-hati. Sebab sejarah sering memberitahu kita bahwa terjadinya kerjasama dengan musuh yang lebih kuat dalam sebuah konflik internal bukanlah pertanda yang bagus bagi independensi suatu masyarakat dari penjajahan.
Perjalanan Mursy dan Mesir masih cukup panjang. Kita pun tidak kehilangan harapan dan optimisme bahwa ini merupakan awal dari kemenangan dunia Islam serta pembebasan al-Quds. Harapan itu akan tetap ada, selama jalan-Nya tetap diikuti dan keridhaan serta pertolongan-Nya masih tetap menaungi umat ini.*/Singapura, 15 Sha’ban 1433/ 5 Juli 2012
Alwi Alatas
Penulis adalah kolumnis , kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar