Di tepian Sungai Musi, satu kubu didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada 1737, kelak benteng keraton ini dikenal dengan nama “Kuto Lama”. Sementara, cucunya yang bernama Sultan Mahmud Bahauddin, mulai membangun benteng keraton yang kelak disebut sebagai “Kuto Besak” tepat disebelahnya pada 1780.
Luas Kuto Lama kira-kira setengah dari Kuto Besak. Mereka hanya dipisahkan oleh selajur jalan menuju masjid lama—Masjid Agung Palembang.
William Marsden, seorang pegawai East India Company, mencatat kesannya tentang Kuto Lama. Saat dia berkunjung tampaknya Kuto Besak belum rampung.
“Istana itu luas, tinggi, dan memiliki banyak ornamen di dinding luar,” demikian tulis Marsden dalam History of Sumatra. “Di sebelah tembok istana ini ada dua buah benteng yang kuat berbentuk bujur sangkar.”
Kemudian, Marsden melanjutkan, “Di antara kedua benteng terdapat lapangan. Di ujung lapangan terdapat balairung, tempat sultan menerima tetamu resmi. Balairung itu berupa gedung biasa yang terkadang dipakai untuk gudang.”
William Thorn, seorang serdadu Kerajaan Inggris, membuat sketsa peta jantung Kota Palembang pada 1812: Denah detail Keraton Kesultanan Palembang. Thorn melengkapi sketsa denah itu dengan empat bastion dan fungsi berbagai bangunan di dalamnya—juga posisi kampung Cina. Pertahanan itu diperkuat dengan 242 moncong meriam.
“Kota itu dilintasi beberapa sungai kecil yang membentuk sejumlah pulau-pulau, sekitar duapuluhan atau tigapuluhan,” ungkap Thorn. “Sehingga lokasi itu dijuluki sebagai ‘Kota Dua Puluh Pulau.’”
Thorn masih menyaksikan dua benteng kembar tadi—meskipun dia tidak menyebut dengan istilah lokal. Dia mencatat, “Rumah Sultan dan Pangeran Ratu berada di area persegi, dikelilingi tembok bata yang tebal dan tinggi. Tiap istana berisi bangunan-bangunan paviliun yang terpisah, memiliki sebagian lahan untuk pohon buah-buahan dan tanaman hias.”
Kapan Benteng Kuto Lama lenyap?
Djohan Hanafiah, seorang warga Palembang yang menulis buku Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan; mengungkapkan tentang perseteruan dua benteng kembar Palembang.
Pada akhirnya kedua keraton ini bagaikan air dan minyak, demikian ungkap Djohan. “Pada saat Kuto Besak memancangkan bendera Kesultanan Palembang,” tulisnya, “maka Kuto Lama mengibarkan bendera Inggris.”
Perseteruan keluarga itu masih berlanjut tatkala serdadu Hindia Belanda di bawah komando Hendrik Merkus Baron de Kock menyerang pada 1821. Ekspedisi militer itu diakhiri dengan tertangkapnya Sultan Mahmud Badaruddin II dan dia diasingkan ke Ternate.
Lalu, De Kock melantik penerus selanjutnya, Prabu Anom menjadi Sultan Ahmad Najamuddin IV dan ayahnya, Husin Djauddin, sebagai Susuhunan. Sejak peristiwa itu benteng di kuasai Belanda dan “Kuto Lama dibongkar habis sampai pada fondasinya,” tulis Djohan.
Sang adik yang berbadan lebih besar, Benteng Kuto Besak, kini digunakan sebagai Kantor Kesehatan Komando Daerah Militer II/Sriwijaya, rumah sakit, dan permukiman warga nan padat. Pada awal 2014, Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan berencana merevitalisasi penanda peradaban ini untuk Pusat Kebudayaan Palembang.
Semoga benteng ini menemukan kejayaannya kembali sebagai pencerah sejarah dan budaya di kota yang juga pernah bergelar “Indische Venetie” (Venesia dari Hindia) dan “De Stad des Vredes” (Kota Damai)—Palembang Darussalam.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar