Kamis, 25 Desember 2014

“Otak-Atik Gathuk” Serat Darmagandul

“Otak-Atik Gathuk” Serat Darmagandul [1]
Beberapa isi al-Quran diterjemahkan secara “mesum”

Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, terutama di wilayah Jawa Tengah, Serat Darmagandul (baca: Darmogandul) bukan lagi nama kitab yang asing di telinga mereka. Apalagi saat ini marak upaya untuk mempublikasikan kembali buku-buku semacam ini. Masyarakat sering menganggap karya sastra ini merupakan buku pegangan bagi kaum Kebatinan. Juga terdapat sejumlah akademisi yang memperbincangkan buku ini dalam wilayah diskursus kebatinan dan kajian sejarah.

Sayangnya, watak islamophobia dalam isi Darmagandul nampak begitu kuat. Sejumlah terminologi Islam ditampilkan dengan makna yang jauh dari arti sebenarnya. Dimaknai secara otak-atik sehingga menghasilkan istilah yang berbau “mesum”

Selain itu, Darmogandul juga berisi banyak kisah-kisah yang bersumber dari Bible. Lebih dari itu, banyak ungkapan di dalamnya berisi ajakan untuk meninggalkan ajaran Islam dengan memeluk ajaran Kristen.

Anehnya, ada pihak-pihak yang masih menjadikan Darmagandul sebagai sumber sejarah dan diperlakukan sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah. Lantas, apa missi Darmagandul sesungguhnya? Tulisan ini merupakan ringkasan thesis Susiyanto, mahasiswa pasca sarjana Universitas Muhammadiyah Solo, yang dimuat di Majalah Suara Hidayatullah bulan Desember 2010.

Menghina Islam

Darmagandul menempati posisi penting dalam kajian sejarah. Padahal banyak terminologi Islam yang digunakan tidak semestinya, bahkan cenderung berbau mesum

Serat Darmagandul menempati posisi strategis dalam kancah referensi kajian sejarah. Di antara yang merujuk kepada serat ini adalah buku “Sejarah Nasional Indonesia II,” karya Marwati Djoenoed Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (mantan Menteri P & K), yang menjadi rujukan standar kajian sejarah Indonesia.

Penggunaan Darmagandul sebagai referensi sejarah juga dipraktikan oleh Hasan Djafar dalam buku “Masa Akhir Majapahit: Girindrawarddhana dan Masalahnya.”

Cerita semacam Darmagandul ini, dalam kajian sejarah, sering dianggap sebagai sumber tradisi. Sekalipun, secara umum sumber tradisi berupa babad jarang digunakan sebagai sumber sejarah yang terpercaya. Para perujuk, biasanya berpandangan bahwa sumber babad tidak menutup kemungkinan masih menyimpan kesan peristiwa sejarah dari masa lalu, meski bersifat kabur.

Munculnya stigma bahwa “Majapahit runtuh akibat serangan Demak” dalam buku pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah, boleh jadi bersumber dari sifat kajian sejarah yang demikian.

Sejumlah karya sastra di Jawa juga terbukti memanfaatkan Darmagandul sebagai rujukan. Ini adalah bukti kesekian kalinya bahwa karya sastra anonim ini diperhitungkan keberadaannya. Sebut misalnya “Sunan Kalidjaga: Andaran Riwajat Gesange lan Donegengan Gegayutan lan Riwajate” karya Sunarno Sisworahardjo dan Wirorahardjo mengambil sebagian sumbernya dari Serat Darmagandul.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa sebagian orang nampaknya dalam posisi menyakini bahwa isi Darmagandul tersebut mengandung nilai kebenaran. Lebih lanjut, maraknya publikasi tentang Darmagandul belakangan ini, seolah hendak menguatkan kecenderungan ini.

Padahal, kebenaran yang ada di dalam Darmagandul sesungguhnya amat lemah.
Salah satu kelemahan Darmagandul adalah penggunaan terminologi Islam dengan makna yang jauh dari arti sebenarnya, bahkan berbau “mesum.” Istilah syariat yang dalam lidah Jawa dilafalkan sebagai sarengat, diplesetkan sebagai ekspresi seksual lelaki yang sedang ereksi.

Kutipan lengkapnya: “Punika sadat sarengat, tegese sarengat niki, yen sare wadine njengat, tarekat taren kang estri, hakekat nunggil kapti, kedah rujuk estri kakung, makripat ngretos wikan, sarak sarat laki rabi, ngaben ala kaidenna yayah rina.”

Artinya, ”Lapal semacam itu adalah dinamakan syahadat Syari’at. Sarengat artinya, kalau sare (tidur) kemaluannya jengat (berdiri). Ada perkataan lain yang selalu dihubungkan dengan sarengat, yaitu tarekat, hakekat, dan ma’ripat. Tarekat artinya taren (bertanya, minta setubuh) kepada isteri, hakekat artinya: bersama selesai, lelaki dan wanita harus rukun (solider), ma’ripat artinya: mengerti, yakni mengetahui syarat pernikahan, dan dilakukan di waktu siang juga boleh.”

Contoh lain penggunaan al-Qur’an. Kitab Suci umat Islam ini ditafsirkan secara serampangan dengan kecenderungan yang sama, mesum. Misalnya, dalam penafsiran Surat al-Baqarah, penulis Darmagandul mengungkapkan sebagai berikut:

“Tetep ing alame lama, kasebut Dalil Kurani, alip lam mim, dallikale kitabul rahepa pami, lara hudan lilmuttakin, waladina tegesipun, alip punika sastra, urip boten kenging pati, lami-lami mung ngangge alame lama. Alame lam mim dallikal, yen turu nyengkal ing wadi, tegesipun kitabulla,natab mlebu ala wadi,tegese rahabapi, rahaba kang nganggo sampur, hudan lil muttakiina, yen wus wuda jalu estri, den mutena wadi ala jroning ala.”

Artinya, ”Tersebut dalam Al-Qur`an: Alif Lam Mim, dzalikal kitabu la raiba fihi, hudan lilmuttaqien, alladzina …artinya: (menurut Damogandul) Dzalikal: jika tidur kemaluannya nyengkal (berdiri); kitabu la: kemaluan lelaki masuk di kemaluan perempuan dengan tergesa-gesa; raiba fihi: perempuan yang pakai kain; hudan: telanjang (bahasa Jawa: wuda); lil muttaqien: sesudah telanjang kemaluan lelaki termuat dalam kemaluan wanita … “

Utak-atik kata dan istilah, yang bertujuan merendahkan Islam dan para utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala bisa juga ditemui di bagian lain dari Darmagandul:

“Niku agami muchammad, saminipun agamine Nuh Nabi, nuh neh remeh kawruhipun, niku nabine bocah, remen rumat abang kuning nedi tuwuk, …”

Artinya, “Itu agama Muhammad, sama dengan agama Nabi Nuh, Nuh adalah remeh pengetahuannya, itu nabinya untuk anak-anak (kekanak-kanakan), suka menyimpan merah kuning (maksudnya: sifat tercela) dan makan kenyang …”

Masih ada contoh lain. Wali Songo yang diakui berjasa besar terhadap penyebaran Islam di Nusantara, oleh penulis Darmagandul digambarkan sebagai tokoh tidak bermoral, serakah, dan haus kekuasaan.

Diceritakan bahwa Prabu Brawijaya telah berbaik hati memberi kebebasan untuk berdakwah di wilayah Majapahit kepada Wali Songo. Namun setelah dakwah berhasil memperoleh banyak pengikut, para Wali berbalik melawan Majapahit dan melupakan budi baik sang raja.

Pencitran yang dilakukan pengarang kitab ini terhadap reputasi para Wali, diekspresikan dengan mengartikan wali sebagai walikan (kebalikan). Artinya, para ulama Wali Songo yang diberi kebaikan kemudian membalas dengan keburukan.

Padahal pengislaman di Pulau Jawa merupakan hasil usaha tanpa henti dan berkelanjutan dari generasi ke generasi. Keberhasilannya pun ditopang oleh sebuah gerakan yang terencana. Pandangan bahwa keberhasilan Islam mengembangkan ajarannya adalah karena ’kebaikan’ hati Prabu Brawijaya V, harus dilihat sebagai bentuk upaya marjinalisasi belaka.

Walhasil, cara pembahasan yang digunakan dalam Darmagandul tidak memiliki patokan metodologi yang jelas dan hanya menyandarkan pada teknik otak-atik gathuk. Dari upaya-upaya yang didukung dengan teknis yang tidak elegan ini, secara jelas telah menunjukkan bahwa Darmagandul memang sekedar ditulis untuk sebuah “permainan,” yang tidak bertanggung jawab. Karena itu, karya semacam ini seharusnya sulit menjadi referensi kepustakaan yang bersifat ilmiah, apalagi menjadi sebuah ajaran. */Sahid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar