Bisnis keluarga Rothschild telah berjalan lebih dari 2 abad, mencapai 7 generasi, dan masih tetap eksis hingga hari ini
KADANG seseorang, atau sebuah keluarga bisa begitu kayanya, sampai-sampai kesuksesannya itu menjadi sebuah tamsil bagi masyarakatnya. Hal ini sangat kentara pada Mordecai Meisel (1528-1601), seorang jutawan Yahudi dan seorang court jew kelahiran Praha (kini masuk wilayah Republik Ceko) yang sangat menonjol pada masanya, sehingga Yahudi-Yahudi Ghetto di Eropa sering bersenandung selama beberapa generasi, “Saya ingin sekaya Meisel.”
Court Jew adalah istilah untuk para banker dan ahli keuangan Yahudi yang menangani keuangan, atau meminjamkan uang pada para bangsawan Kristen Eropa.
Kemakmuran dan karier bisnis Meisel baru menemui padanannya 2-3 abad kemudian, kali ini bukan pada satu figur, melainkan pada sebuah keluarga Yahudi yang sangat kaya dan berpengaruh di Eropa dan dunia, yaitu keluarga Rothschild, begitu kutip Jacob Rader Marcus, The Jew in Medieval World.
Nama dan sepak terjang keluarga Rothschild di Eropa telah menjadi legenda dan, bagi sebagian orang, diliputi aura misteri. Dalam review buku Niall Ferguson yang berjudul The House of Rothschild, Anthony Bianco mengawali tulisannya dengan kalimat berikut: ’In the annals of business, no name–not Morgan, not Rockefeller, not Gates–is as resonant of power and mystery as Rothschild. In building the mightiest private bank the world has ever seen, the Rothschilds amassed the largest private fortune in the history of capitalism.’
Majalah Time menulis, “Dinasti perbankan kuno dan tidak biasa ini menutup dirinya dari tatapan publik yang penuh rasa ingin tahu, sementara peta dan sejarah Eropa telah diubah oleh aksinya dan diukir oleh namanya…. Emas-emas Rothschild telah menyuplai ambisi para perdana menteri, pangeran, dan paus. Ia telah mendanai peperangan dan memperbaiki berbagai perjanjian, mengubah perpolitikan, dan memberi jaminan bagi tentara dan bangsa-bangsa.’ [Time, ‘Western Europe: New Elan in and Old Clan,’ Time, 20 Desember 1963. http://www.britannica.com/EBchecked/topic/510613/Rothschild-family?ancho…
Di antara kelimanya, cabang London dan Paris merupakan yang paling menonjol dan berhasil.
Bisnis keluarga Rothschild menjadi sangat kuat dan menentukan dalam perpolitikan dan perekonomian Eropa. Barangkali sebagai refleksi terhadap hal inilah Karl Marx, si penggagas Komunisme itu, menyatakan betapa ”Si Yahudi … yang melulu diberi toleransi di Wina, dengan kekuatan uangnya menentukan nasib seluruh kekaisaran Jerman. Si Yahudi yang tidak memiliki hak di negeri terkecil Jerman, menentukan nasib Eropa ….” [Karl Marx, A World Without Jews, New York: Philosophical Library, 1960]
Terkait dengan kekuatan uang ini juga Natan Rothschild, anak Meyer yang mengembangkan bank di London, dikutip dalam ”The Rothschild Story” dikabarkan pernah menyatakan, “Saya tak perduli siapa boneka yang diletakkan di tahta Inggris untuk memerintah kekaisaran yang matahari tidak pernah terbenam di atasnya. Orang yang mengendalikan suplai keuangan Inggris merupakan pengendali kekaisaran Inggris, dan sayalah yang mengendalikan suplai uang Inggris.”
Nathan memang mendominasi keuangan Inggris. Ia dan saudaranya merupakan penemu, atau setidaknya yang mempopulerkan, sistem obligasi pemerintah. Keluarga Rothschild dengan kelihaiannya mampu mengambil keuntungan di saat perang dan damai. Mereka yang menjadi penyuplai dana bagi Jenderal Wellington dalam pertempurannya yang menentukan di Waterloo, di mana ia berhasil mengalahkan Napoleon Bonaparte.
Napoleon sendiri, ironinya, juga meminjam uang dari Rothschild untuk pertempurannya itu. Ada kisah yang begitu popular dan melegenda, walaupun diragukan oleh sebagian akademisi, yang menyebutkan betapa agen-agen Rothschild mampu mendapatkan berita kekalahan Napoleon lebih cepat daripada pers manapun di Inggris. Melalui agen-agennya juga Nathan menyebarkan rumor yang berlawanan dari itu yang menyebabkan harga-harga saham di Inggris rontok seketika. Ia memborong saham-saham yang jatuh itu, untuk kemudian tersenyum karena nilai-nilai saham itu kembali naik saat masyarakat mengetahui berita yang sesungguhnya.[1]
Pada penghujung abad ke-19, tepatnya pada tahun 1875, saat Inggris mendapat kesempatan untuk membeli Terusan Suez, kepada keluarga Rothschild jugalah pihak kerajaan menjatuhkan harapan. Lionel, anak Nathan yang pada masa itu memimpin bisnis keluarga Rothschild di Inggris, menyambutnya dengan baik. Dalam waktu beberapa jam saja bank-nya mampu menghimpun dana sebesar $ 4 juta – kini setara dengan $ 200 juta.
Bisnis keluarga Rothschild di Inggris menjadi semakin besar di bawah kendali anak Lionel, yaitu Nathan Meyer (1840-1915) – bedakan dengan kakeknya yang juga bernama Nathan Meyer sebagaimana telah diceritakan di atas. Nathan yang kedua ini semakin rapat hubungannya dengan pihak kerajaan dan pemerintah Inggris, terutama dengan Perdana Menteri Inggris, Benyamin Disraeli (1804-1881), seorang keturunan Yahudi yang pindah ke agama Anglikan pada masa remajanya. Nathan merupakan penganut Yahudi pertama yang mendapat gelar kebangsawanan secara turun temurun di Inggris, yang membuatnya kemudian dikenal sebagai Baron atau Lord Rothschild.
Pada saat kematian Nathan, The New York Times menuliskan sebuah obituari yang menarik. A Rosenberg, dalam obituari pendek berjudul ‘Lord Rothschild’ itu menjelaskan tentang Nathan bahwa ‘dunia mengenalnya sebagai seorang ahli keuangan dan seorang filantropis. Komunitasnya mengenal ia sebagai seorang ayah, masyarakat membungkuk di hadapannya sebagai seorang pemimpin. Para raja mengundangnya ke dewan-dewan mereka.’ Tulisan itu juga menjelaskan Rothschild sebagai penganut Yahudi Orthodoks, pemimpin sekolah-sekolah liberal Yahudi, dan pendukung utama ratusan bahkan ribuan skema sosial dan organisasi kemanusiaan. Yang paling menarik dari semua itu adalah penegasan Rosenberg bahwa ‘ia merupakan kekuasaan di belakang singgasana Inggris (he was the power behind the British throne). Victoria, Edward, dan, belakangan, George berkonsultasi kepadanya, mempercayainya, dan mengandalkan reputasinya, pengalamannya yang mendunia berkenaan dengan manusia dan berbagai urusan ….’ [A Rosenberg, ‘Lord Rothschild,’ The New York Times, 2 April 1915]
Hubungan yang begitu mesra antara keluarga Rothschild dengan penguasa Inggris menjadikan kepentingan-kepentingan Yahudi mendapat tempat yang sangat strategis dalam kebijakan pemerintah Inggris. Dan ketika gerakan Zionisme muncul di penghujung abad ke-19, mereka hanya perlu menguatkan dan mengarahkan pengaruh yang sudah ada di Inggris dan di negara-negara Eropa itu demi meraih cita-cita mereka. Kendati tidak semua anggota keluarga Rothschild mendukung Zionisme, anggota-anggota yang cukup penting, termasuk di Inggris dan di Perancis, menjadi pendukung utama gerakan ini.
Pendiri gerakan Zionisme, Theodore Herzl, di dalam catatan hariannya menjelaskan bahwa ia mengajukan draf proposalnya pada keluarga Rothschild dan menyatakan bahwa ia menyodorkan kepada Rothschild dan tokoh-tokoh Yahudi lainnya misi sejarah mereka.
Bahkan sejak pertengahan abad ke-19, sebelum gerakan Zionisme ditumbuhkan secara resmi, agen-agen Rothschild telah masuk ke Palestina dan berperan dalam mendirikan sekolah dan rumah sakit di sana, di antaranya Evelina de Rothschild School for Girls pada tahun 1867 dan Rumah Sakit Misgaf Ladach pada tahun 1854. [Arnold Blumberg, Zion Before Zionism, 1838-1880, New York: Syracuse University Press, 1985, hlm. 120]
Gerakan Zionisme bersama dengan beberapa politisi penting di Inggris, termasuk A.J. Balfour dan Herbert Samuel bahu membahu dalam merealisasikan visi gerakan itu. Dan menurut Ilan Pappe, keberhasilan utama mereka adalah dalam membangun kelompok lobi yang kokoh, terdiri dari orang Yahudi dan non-Yahudi, yang berpusat pada keluarga Rothschild. Hasilnya adalah seperti yang sudah kita ketahui bersama: Deklarasi Balfour.
Deklarasi Balfour, dokumen yang memberi pengakuan dan legitimasi bagi bangsa Yahudi atas tanah Palestina, sebetulnya merupakan, meminjam istilah Robert John, ’the most extraordinary document produced by any government in world history.’ Dokumen itu merupakan janji dari bangsa pertama (Inggris) kepada bangsa kedua (Yahudi) untuk memberikan negeri bangsa ketiga (Palestina), sementara pada saat itu ia masih merupakan bagian dari kesultanan bangsa keempat (Turki). Deklarasi itu dikeluarkan bukan hanya satu tahun sebelum Perang Dunia I (1914-1918) berakhir, tetapi juga lima minggu sebelum pasukan Inggris menduduki Yerusalem pada tanggal 9 Desember 1917. Dan pada kenyataannya kemudian, apa yang dinyatakan pada bagian akhir deklarasi tersebut bahwa ‘nothing will be done that may prejudice the civil or religious rights of existing non-Jewish communities in Palestine’ pada kenyataannya sama sekali tidak terwujud. Yang ada adalah kelompok Zionis melakukan segala hal yang mereka bisa untuk menegasikan dan menistakan berbagai hak yang dimiliki oleh bangsa Palestina, sementara pemerintah Eropa, dan kemudian juga Amerika Serikat, berdiam diri dan bersikap masa bodoh terhadap semua kekejian itu!
Keanehan dokumen Balfour tidak hanya itu saja. Dokumen ini merupakan sebuah surat dari kerajaan paling kuat di dunia pada masa itu, yaitu Kerajaan Inggris, kepada seorang bankir internasional yang sekaligus merupakan kepala keluarga Rothschild di Inggris.
Ya, surat itu ditujukan kepada Lord Rothschild yang kedua, putra tertua dan pewaris Nathan Rothschild, yaitu Walter (1868-1937), dan dialamatkan ke rumahnya di 148 Picadilly, London.
Walter sendiri merupakan tokoh yang unik. Kurang begitu tertarik dengan dunia keuangan dan perbankan, ia telah mengumumkan keinginannya untuk membangun sebuah museum zoology sejak masih berumur 7 tahun. Ia sempat berkarir, dengan berat hati, memimpin bank milik ayahnya selama kurang lebih 20 tahun, dan sempat menjadi anggota parlemen selama 11 tahun, tetapi Walter lebih banyak menghabiskan hidupnya demi cita-citanya sebagai ahli zoology. Ia mendeskripsikan dan memberi nama spesies-spesies baru dan melekatkan nama Rothschild di belakang nama 153 serangga, 58 burung, 17 hewan menyusui, 3 ikan, 3 laba-laba, 1 ekor cacing, dan seekor jerapah. Spesies jerapah di atas, yang rupanya belakangan ini menjadi langka, ia beri nama ’giraffe camelopardis rothschildi.’ Dan tentunya merupakan sebuah konfirmasi terhadap karakter Zionis Rothschild jika penulis di harian Haaretz, Israel, secara bercanda menyebut jerapah itu sebagai ’a truly Zionist giraffe.’ [ Michael Handelzalts, “Pen Ultimate/ Sticking My Neck Out: on a trinominal, and truly Zionist, species of Giraffe,’ Haaretz, 28 Desember 2007
Alwi Alatas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar