Sabtu, 27 Desember 2014

Meriam Kuno dan Mideun Perang di Pulo Ibouh Bireuen


Meriam kuno yang ditemukan di Mideun Prang oleh penduduk setempat diletakkan di depan meunasah Desa Pulo Ibouh | Foto: Irman I. Pangeran/atjehpost Mideun Prang selama perang Belanda di Aceh sering digunakan sebagai benteng alami pasukan kerajaan | Foto: Irman I. Pangeran/atjehpost


  • Meriam kuno ini ditemukan di Mideun Prang dan diletakkan di depan meunasah oleh penduduk setempat | Foto: Irman I. Pangeran/atjehpost

    Moncong meriam tersebut bercat merah dibingkai garis putih yang telah memudar. Pada sisi kiri meriam tertera angka “1785”, dan sisi kanannya tertulis “KKM Unimus 2011 Angkatan IX”.

    Meriam kuno itu dipajang di halaman depan meunasah Desa Pulo Ibouh, kemukiman Banjir Asin, kecamatan Jangka, Bireuen. Meriam hitam pekat itu panjangnya 2,68 meter. “Moncongnya berdiameter 13 centimeter,” kata Safar, anggota tim ekspedisi Centre Information for Samudra Pasai Heritage (Cisah) Lhokseumawe kepada atjehpost.com seusai mengukur panjang dan diameter meriam itu, Sabtu pekan lalu.

    Moncong meriam tersebut bercat merah dibingkai garis putih yang telah memudar. Pada sisi kiri meriam tertera angka “1785”, dan sisi kanannya tertulis “KKM Unimus 2011 Angkatan IX”. Meriam itu diperkiran sudah berusia lebih 220 tahun, dan telah ditata oleh mahasiswa Universitas Almuslim pada tahun 2011 lalu.

    “Beton yang menjadi pondasi meriam itu dibangun oleh mahasiswa Unimus saat melakukan Kuliah Kerja Nyata di desa ini,” kata Zulkifli Sya’ban, Keuchik Pulo Ibouh melalui telpon seluler, Selasa, 25 Februari 2014.

    Samping kanan meriam tergeletak sebuah besi bulat yang sudah berkarat, panjangnya hampir sama seperti meriam. Besi itu, kata Zulkifli Sya’ban, diambil dari lokasi saluran pembuang di desa Pulo Ibouh dan ditempatkan di samping meriam pada tahun 2013.

    Zulkifli Sya’ban menjelaskan, masyarakat Pulo Ibouh menemukan meriam kuno itu di lokasi mideuen prang atau benteng pertahanan rakyat melawan penjajah. Lokasi meideun prang berjarak lebih kurang 500 meter dari meunasah desa Pulo Ibouh, atau sekitar 12 kilometer dari pusat kota Bireuen.

    “Seingat saya, sejak masa konflik Aceh, meriam itu sudah ditempatkan di halaman depan meunasah desa ini setelah ditemukan di lokasi mideun prang,” ujar Zulkifli Sya’ban.

    Berada di tengah kebun yang sesak dengan pohon kelapa, pinang, dan tumbuhan liar, mideun prang atau benteng itu berupa gundukan tanah setinggi 2 meter, dan luasnya sekitar 15 x 5 meter.

    “Saat saya masih muda, gundukan tanah ini lebih tinggi lagi, mencapai empat meter,” kata Sofyan, 50 tahun, warga desa Lhok Bugeng, tetangga desa Pulo Ibouh, yang menemani atjehpost.com berkunjung ke lokasi tersebut, Sabtu pekan lalu. “Di sinilah dulunya para pejuang mempertahankan daerah ini dari serangan penjajah,” ujar dia lagi.

    Di atas gundukan tanah itu tumbuh subur bak barat daya dan tumbuhan liar. Sebelah baratnya ada gundukan tanah setinggi 0,5 meter dan menjulur sepanjang 50 meter. Sebelah selatannya tampak bekas galian tanah mirip alur sungai yang telah dangkal.

    Menurut cerita bertutur yang berkembang di tengah masyarakat setempat, salah seorang pejuang yang memimpin perlawanan rakyat terhadap gempuran penjajah di lokasi benteng itu ratusan tahun silam adalah Teungku Syiek Peusangan Pulo Ibouh. Ia juga diyakini sebagai pendiri Masjid Mideun yang kemudian diberi nama Masjid Mideun Teungku Syiek Peusangan Pulo Ibouh. Masjid kuno itu berada di desa Lhok Bugeng.

    Keuchik Zulkifli Sya’ban berharap Pemerintah Kabupaten Bireuen melalui dinas terkait memugar lokasi benteng itu agar tidak hilang jejak sejarah yang sudah cukup lama terabaikan. “Mideun prang itu mestinya dipugar agar jejak sejarah terawat dengan baik. Meriam kuno yang sekarang berada di depan meunasah Pulo Ibouh juga perlu dipugar lebih layak,” katanya.

    Kepala Seksie Kebudayaan pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bireuen, Yusri saat dihubungi, Selasa siang, mengatakan meriam kuno dan mideun prang di Pulo Ibouh belum terdata pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Bireuen.

    “Kita segera turun ke desa itu untuk mengecek dan mendatanya. Kalau memenuhi syarat sebagai cagar budaya, maka akan kita usulkan untuk pemugaran,” katanya.
  • Irman I. Pangeran AP

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar