Rabu, 24 Desember 2014

Berkunjung ke Masjid Kuno di Jangka Bireuen



Masjid Mideun Teungku Syiek Peusangan

Sofyan Ismail mengaku sering melihat hal aneh di masjid tersebut. Di antaranya, kata dia, muncul seekor harimau ketika hujan gerimis.

Pintu pagar kompleks masjid itu tertutup rapat ketika kami tiba di sana pada Sabtu, 22 Februari 2014 pukul 15.40 WIB. Setelah memarkirkan sepeda motornya, Ridwan yang memandu kami berkunjung ke masjid tersebut lantas membuka pintu besi. Sunyi senyap. Tidak ada seorang pun di pekarangan maupun dalam masjid yang terletak di desa Lhok Bugeng, kemukiman Banjir Asin, kecamatan Jangka, Bireuen ini.

Ditemani Ridwan, saya bersama lima anggota tim ekspedisi dari LSM Centre Information for Samudra Pasai (Cisah) Lhokseumawe, melangkah masuk ke dalam masjid. Ridwan adalah Keuchik Alue Bie Pusong, salah satu desa pesisir di kecamatan Jangka. Dari keuchik ini, kami memperoleh informasi tentang masjid kuno di desa Lhok Bugeng sehingga tertarik untuk melihatnya.

“Masjid kuno ini sudah direhab, tapi tidak merusak bangunan dasar meski dilebarkan beberapa meter. Di bagian tengah ini semua tiang kayu, bawaan konstruksi lama,” ujar Keuchik Ridwan.

Masjid tersebut memiliki 28 tiang, 16 di antaranya tiang kayu, masing-masing membentuk delapan segi, dan berdiameter 28 centimeter. Jarak antartiang 3,5 meter. Gaseu pengait antartiang juga terbuat dari kayu. Kayu penyangga atap terukir indah pada sisi kanan-kirinya. Kolong kubah tertutup kain warna kuning. Di bagian tengah kain itu menjulur kayu yang ujungnya berukiran indah dan bercat hijau.

Ketika kami tengah menikmati keindahan masjid itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki tua yang masuk lewat pintu pagar sebelah kanan. Keuchik Ridwan langsung menyambutnya, lalu kami saling berkenalan. Laki-laki 50 tahun ini bernama Sofyan Ismail, teungku bileue (bilal) masjid tersebut. “Saya dipercayakan menjadi bilal sejak tahun 2.000,” katanya.

Informasi diperoleh Sofyan Ismail, masjid itu dibangun sekitar 300 tahun lalu oleh Teungku Syiek Peusangan. Itu sebabnya, kata dia, nama masjid kuno ini adalah Masjid Mideun Teungku Syiek Peusangan Pulo Ibouh. Mideun, kata dia, adalah nama sebuah benteng di Desa Pulo Ibouh, tetangga Lhok Bugeng, yang menjadi lokasi pertahanan rakyat Aceh tatkala berperang melawan penjajah. “Desa Lhok Bugeng ini hasil pemekaran dari desa Lhok Ibouh,” ujar dia.

Namun, Sofyan Ismail tidak mengetahui asal usul Teungku Syiek Peusangan yang menjadi nama masjid kuno tersebut. Berdasarkan cerita bertutur, kata dia, Teungku Syiek Peusangan adalah seorang ulama masa lampau yang juga pejuang Aceh saat perang melawan penjajah.

Mitos yang berkembang di tengah masyarakat setempat, kayu yang menjulur dari kubah tembus ke bagian tengah kain kuning penutup kolong kubah masjid itu, berasal dari krueng (sungai) kuno di kawasan desa itu, yang ditemukan warga setelah bermimpi bertemu dengan almarhum Teungku Syiek Peusangan. Kayu itu kini disebut selembayung atau “selo bayung” atau “tanduk buang”.

“Nyan kayee trok keunoe ata dipeuanyot ie krueng. Na urueng awai dipeuleumpoe, geuyue cok kayee nyan lam krueng,” ujar Sofyan Ismail.

Sofyan Ismail mengaku sering melihat hal aneh di masjid tersebut. Di antaranya, kata dia, muncul seekor harimau ketika hujan gerimis. “Treb-treb sigo deuh rimueng, biasa watee ujeun meu prot-prot,” katanya. “Pernah juga beberapa kali, saat kami sedang salat terdengar suara tak tuk, selesai salat tidak ada lagi. Dan muncul banyangan seperti orang melintas, selesai salat tidak ada lagi”.

Teungku bileue ini membenarkan Masjid Mideun Teungku Syiek Peusangan sudah direhabilitasi, namun tidak mengubah konstruksi dasar. Saat ini, kata dia, luas masjid tersebut 25 x 18 meter. “Dulu saat saya masih kecil, ada dayah dan bilik-bilik santri di kompleks masjid ini. Pimpinan dayah ketika itu dipanggil Teungku Di Ateuh. Belakangan tidak ada lagi dayah, tinggal pengajian rutin untuk masyarakat setiap hari Jumat di masjid ini,” ujar Sofyan Ismail.

Kini di halaman depan masjid itu ada dua bak jambee kleng (pohon rukam--sebelumnya tertulis jom blang--red). Samping kiri masjid ada bangunan permanen untuk tempat wuduk. Ada pula kulah ie (bak penampung air untuk tempat wuduk) yang konstruksi bangunannya sudah tua. Di belakang kulah ie ada balai kecil. Samping kanan masjid, persisnya dekat pagar ada tanaman ubi muda. Sedangkan di belakang masjid tampak sawah yang telah ditanami padi.

Percakapan kami dengan Sofyan Ismail tentang Masjid Mideun Teungku Syiek Peusangan Pulo Ibouh berakhir tepat pukul 16.00 WIB. Teungku bileue ini kemudian mengambil air wuduk, lalu ia mengumandankan azan. Walau sudah tua, suaranya masih sangat merdu. Kami salat Ashar berjemaah di masjid kuno itu.[]


Irman I. P AP

Tidak ada komentar:

Posting Komentar