Kamis, 25 Desember 2014

Siti Walidah Dahlan, 'Sang Pencerah' Kaum Hawa

Siti Walidah Dahlan.
Siti Walidah Dahlan.

Didikan keluarga melekat dalam diri Walidah.
Dia dikenal setelah pernikahannya dengan pendiri organisasi Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Nyai Ahmad Dahlan saat ini menjadi salah satu pahlawan nasional dengan perjuangannya memajukan perempuan agar dapat duduk sepadan di organisasi.

Walidah merupakan putri Kiai Haji Muhammad Fadli. Ayahnya merupakan seorang penghulu Keraton Yogyakarta.

Wanita kelahiran 1872 M, Kampung Kauman, Yogyakarta ini selalu menjaga kehormatan sang ayah sebagai ulama yang disegani. Sejak kecil memang dia membatasi pergaulan dan hanya mengenyam pendidikan di rumah.

Dia tidak belajar di sekolah formal seperti anak laki-laki pada umumnya, tetapi tekadnya untuk menuntut ilmu sangat kuat. Hampir setiap hari dia menuntut ilmu keislaman lewat kitab-kitab agama berbahasa Arab Jawa (pegon).

Dia kemudian menikah dengan sepupunya sendiri, KH Ahmad Dahlan. Keingintahuannya mengenai ilmu agama Islam semakin meningkat sejak menikah. Sebagai seorang wanita, dia tidak hanya menjadi ibu rumah tangga biasa yang hanya di rumah.

Walidah selalu ikut serta untuk berdiskusi dan menyampaikan pandangannya bersama tokoh Indonesia lainnya, seperti Jenderal Sudirman, Bung Karno, Kiai Haji Mas Mansur, dan Bung Tomo.

BerorganisasiKepiawaiannya dalam berorganisasi dirintisnya dalam kelompok pengajian wanita dengan nama Sopo Tresno pada 1914. Meskipun belum berbentuk organisasi dengan segala macam aturannya, kelompok ini telah fokus pada kajian dakwah bagi kaum perempuan.

Dalam pengajian itu, diterangkan ayat-ayat Alquran dan hadis yang membahas mengenai hak dan kewajiban perempuan. Perempuan diharapkan dapat mengetahui dan menerapkan kewajibannya sebagai manusia, istri, dan hamba Allah.

Kelompok pengajian kemudian berubah nama menjadi Aisyiyah yang dicetuskan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah, antara lain KH Muhtar, KH Ahmad Dahlan, KH Bagus Hadikusuma, dan KH Fakhruddin. Nama Aisyiyah diresmikan sebagai organisasi wanita Muhammadiyah pada 22 April 1917.

Kelompok pengajian kemudian berubah nama menjadi Aisyiyah yang dicetuskan oleh beberapa tokoh Muhammadiyah, antara lain KH Muhtar, KH Ahmad Dahlan, KH Bagus Hadikusuma, dan KH Fakhruddin.

Nama Aisyiyah diresmikan sebagai organisasi wanita Muhammadiyah pada 22 April 1917. Aisyiyah ketika itu diketuai oleh Siti Bariyah dan Nyai Dahlan masih berkecimpung di dalamnya.

Perjuangan Nyai Dahlan saat itu adalah untuk menghilangkan kepercayaan kolot yang dimiliki masyarakat Indonesia ketika itu.

Bahwa perempuan seharusnya dapat berjuang bersama dan duduk dalam posisi berdampingan, baik dalam institusi formal maupun dalam pendidikan. Dia tidak hanya berdakwah, tetapi juga mengajari kaum perempuan dengan membuka asrama dan sekolah-sekolah putri serta kursus pemberantasan buta huruf bagi perempuan.

Sekolah Aisyiyah dipengaruhi oleh ideologi Ahmad Dahlan, yaitu Catur Pusat. Catur Pusat memiliki pengertian pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat ibadah.

Organisasi Aisyiyah kemudian berkembang pesat dan saat kongres Nyai Dahlan selalu memimpin, baik di Boyolali, Purwokerto, bahkan hingga ke wilayah Jawa Timur.

Memimpin kongres
Pada 1926 saat Kongres ke-15 Muhammadiyah di Surabaya, Nyai Dahlan membuat catatan sejarah. Dialah wanita pertama yang tampil memimpin kongres itu.

Saat itu, dalam sidang Aisyiyah yang dipandunya, duduk puluhan pria di samping mimbar. Mereka merupakan wakil pemerintah dan perwakilan organisasi yang belum memiliki organisasi kewanitaan, dan wartawan. Seluruh pembicara dalam sidang itu adalah kaum perempuan, hal yang tidak biasa pada masa itu.

Pengaruhnya saat itu sempat tercatat pada media massa sebagai berita utama. Namun, perjuangannya harus terhenti hingga usianya yang mencapai 74 tahun pada 31 Mei 1946.

Dia dimakamkan di pemakaman belakang Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Menteri Sekretaris Negara, Mr AG Pringgodigdo, mewakili pemerintah memberikan penghormatan terakhir.

Ratna Ajeng Tejomukti

Tidak ada komentar:

Posting Komentar