Minggu, 28 Desember 2014
Melacak Makna dan Kejayaan Nusantara
Jujur saja. Uraian Ghuzilla Humied, Network Associate Global Future Institute (GFI), Jakarta, berjudul PERADABAN NUSANTARA (Sebuah Catatan yang Hilang) di http://www.theglobal-review.com, selain membikin gundah hati di satu sisi, tetapi di sisi lain malah mengusik naluri keinginan-tahu saya serta hasrat untuk melacak mengapa sejarah nusantara kok bisa hilang, lalu dimana simpul atau titik putusnya?
Selanjutnya menyimak tautan soal “Pentingnya Sejarah” di dinding facebook Dina Y. Sulaeman (1/10/2013), mahasiswa program doktoral bidang Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, yang juga sebagai Research Associate di GFI, agaknya gundah hati ini sedikit terobati, setidak-tidaknya bisa dimaklumi —walau sedikit— kenapa sejarah peradaban suatu bangsa dapat menghilang, terputus atau bahkan lenyap.
Kata-kata kunci terputusnya sejarah nusantara —dugaan sementara penulis—mungkin disebabkan oleh dua faktor. Pertama “kolonisasi”. Kedua “filologi”. Mari kita lanjutkan catatan tak ilmiah ini.
Ya. Filologi merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip, dan lazimnya memang dari zaman kuno. Pertanyaannya sederhana: mengapa di Iran tidak diajarkan tentang filologi, kenapa bidang studi naskah-naskah lama tidak ditemui pada setiap universitas di Negeri Para Mullah? Jawabannya menarik: hal itu terjadi karena kalangan akademisi Iran tidak pernah mendapatkan kesulitan berarti ketika berhadapan dengan naskah-naskah lama Iran. Artinya, bahasa dan aksara dalam naskah yang berusia seribu tahun pun misalnya, masih dengan mudah dapat dibaca oleh masyarakat terpelajar di zaman sekarang, apapun bidang studi mereka. Luar biasa!
Mengapa Indonesia perlu filologi? Dina menjelaskan, karena naskah-naskah lama nusantara adalah sesuatu yang betul-betul asing, baik bahasa ataupun aksaranya. Jangankan seribu tahun, seratus tahun saja sudah terasa sangat aneh. Tugas filolog adalah menguak isi naskah kuno dalam rangka memahami nilai-nilai yang ada di dalamnya, untuk bisa dimanfaatkan oleh masyarakat zaman sekarang. Inilah perbedaaan mencolok antara Indonesia dan Iran dalam hal pembelajaran bab-bab sejarah bangsanya.
Satu poin penting yang bisa ditarik dari cerita ini: masyarakat Indonesia zaman sekarang sangat teralienasi dari masa lalu. Padahal, yang dimaksud kuno dalam konteks Nusantara tidaklah lama-lama amat. Cukup 100 tahun yang lalu sudah dianggap kuno. Tapi berapa banyak dari kita yang mampu membaca naskah berusia 100 tahun? Di Iran, kitab syair berusia 1000 tahun pun masih bisa dibaca anak-anak muda zaman sekarang.
Dina menduga, keterasingan memang secara sengaja dibuat oleh “kolonial” demi kepentingan keberlanjutan kolonialisme. Keterasingan ini membuat masyarakat Indonesia menjadi bangsa dengan kadar softpower sangat rendah. Mudah diguncang dan diobok-obok, gampang ditakut-takuti, kebersamaannya sangat rapuh, karena tak banyak yang mereka ingat dari masa lalu sebagai SUMBER kebanggaan.
Ketika Arysio Santos dari Brazil mengungkap hasil penelitiannya selama 30 tahun dalam buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization”, ia menampilkan 33 perbandingan seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, cara bertani, dll kemudian menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia, ternyata justru di republik ini hampir tak dijumpai geliat para arkeolog dan geologis untuk membuat penelitian lanjutan secara gegap gempita. Entah kenapa. Faktor filologi, atau karena lainnya?
Penjelasan serupa juga dikemukakan penulis Inggris, Prof. Stephen Oppenheimer, dalam buku “Eden in The East: The Drowned Continent of Southeast Asia” (1998). Dia menulis suatu benua yang tenggelam akibat banjir bandang, dan naiknya permukaan air laut sekitar 7.000 hingga 14.000 tahun yang lampau. Wilayah yang tenggelam itu berada di wilayah yang kini disebut sebagai Asia Tenggara.
Ia menyebut benua tenggelam itu sebagai Sundaland. Para penghuni yang selamat saat itu lalu menyebar ke berbagai tempat hingga ke Eropa, membawa budaya dan pola hidup mereka. Itu sebabnya Oppenheimer berasumsi asal-usul ras Euroasia di Eropa bisa ditelusuri di Asia.
Oppenheimer pun yakin bahwa para penghuni Sundaland saat itu punya peradaban maju dari wilayah-wilayah lain. “Mereka sudah mengembangkan pola menyambung hidup, dari sekadar berburu binatang menjadi bertani, berkebun, mencari ikan, bahkan perdagangan melintas laut. Semua itu sudah dilakukan sebelum 5.000 tahun yang lampau,” demikian penggalan asumsi profesor Oxford tersebut.
Sejarah selama ini, hanya mencatat induk peradaban manusia modern berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern justru berasal dari tanah Melayu yang sering disebut Sundaland, atau Indonesia. Buktinya?
“Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia,” kata Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya di Jakarta, Oktober 2010. Tentu, pendapat ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Universitas Oxford itu, memberi paradigma berbeda dari yang ada selama ini dikatakan bahwa peradaban paling awal berasal dari Barat.
Ada keluhan seorang anak bangsa tentang pengaburan sejarah nusantara ini oleh kaum kolonial: “Begitu seringnya bangsa ini dibodohi. Ketika pada 1920-an Prof. C.C Berg dari Leiden membawa naskah —hasil editnya—Kidung Sundayana (cerita Perang Bubat) ke Jawa, orang-orang Sunda dan Jawa tanpa kritik tanpa selidik dan langsung mengamini. Maka sejak saat itu, cerita konflik antara Sunda-Jawa diturun-temurunkan dalam nada penuh kebencian. Kita secara tak sadar, masuk perangkap C.C Berg yang tak lain adalah akademisi peliharaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sejarah memang tak cukup dibaca saja, tapi harus dianalisa, dipikirkan dan dikritisi” (status di Facebook Hendi Jo, 26/9/2013).
Pointers diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta (17/1/2013), pimpinan Hendrajit, dengan merujuk beberapa literatur dan artikel sejarah, memang menjumpai tahapan penting dalam sebuah kolonisasi, yaitu “pengaburan atau pembengkokan sejarah di negara-negara koloni”.
Adapun langkah pengaburan sejarah tadi melalui beberapa tahap. Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menyaksikan bukti-bukti kejayaan nenek moyangnya, otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Kedua, terputusnya hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa leluhurnya itu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain. Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Agaknya inilah pola yang berulang hampir di setiap kolonisasi.
Sekali lagi, tampaknya pola kolonisasi dan filologi sebagai faktor penyebab kenapa sejarah sebuah bangsa menjadi kabur, bahkan bisa dibengkokkan oleh kaum kolonial. Tak bisa tidak. Inilah yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi setelah membaca ulasan Humied, hati ini berbunga sedikit, karena setidak-tidaknya Indonesia telah memiliki “sumber kebanggaan” untuk kembali mengukir dirinya sebagai bangsa yang kuat, besar, maju dan modern sebagaimana nenek moyangnya dahulu.
Inilah uraian sederhana Humied tentang tahap, masa atau era daripada kejayaan para leluhur dulu, dimana hasil penelitian Santos dan Oppenheimer pun menganggap Indonesia adalah nenek moyang bangsa-bangsa di dunia.
Era Wangsa Keling
Apakah Wangsa Keling itu? Wangsa itu artinya bangsa, sedangkan Keling artinya kuat. Dengan demikian, Wangsa Keling itu maksudnya adalah “bangsa yang kuat”. Konon dahulu, ia mampu menjajah hingga ke Kamboja, Vietnam (Indochina), Thailand, Burma, Srilangka, India hingga ke Madagaskar.
Raja yang terkenal kala itu bernama Sailendra. Tulisan yang digunakan adalah huruf Pallawa, dimana modelnya menyerupai huruf Mesir Kuno (dan Israel). Memang ada kesamaan mencolok antara huruf Pallawa dan Mesir Kuno. Sedangkan pusat pemerintahannya terletak di sekitar daerah Yogyakarta sampai ke wilayah Dieng. Maka ketika Israel menyebut dirinya masih keturunan Moria, tidak ada lain maksudnya ialah gunung Muria yang ada di Dieng. Sedangkan Dieng itu sendiri itu artinya penguasa. Dari kata Dieng bergeser namanya menjadi Dah Nyang (Dayang) yang berarti Dah Hyang atau Penguasa.
Konon setelah itu Wangsa Keling ‘menghilang’ beberapa abad, ditengarai munculnya situs Dieng di atas, maupun bangunan Candi Borobudur. Habisnya masa Wangsa Keling ditandai dengan bangunan Baqa’ atau Baqi’ yang artinya kuburan atau berakhir, ditandai dengan berdirinya Candi Boko (Baqo’).
Era Medang Kamulyan
Medang artinya Kemajuan dan Kamulyan artinya Kemuliaan (kejayaan). Bahwa Medang Kamulyan artinya zaman atau era kemajuan, terutama bidang keagamaan. Betapa agama lebih dititikberatkan dalam sistem pendidikan terpadu mulai dari tingkat (lingkup) kecil sampai lingkup besar (kongres). Istilahnya, sekolah pada agama. Atau ajaran agama yang dilembagakan dalam pendidikan? Sudah barang tentu, dahulu belum dikenal sekolah modern sebagaimana era kini.
Rajanya yang terkenal adalah Ratu Boko yang di masa itu merupakan cikal bakal munculnya huruf-huruf SANGSEKERTA (sansekerta) yang kali pertama dikenalkan oleh Aji Saka. Sedangkan Aji Saka itu sendiri merupakan gabungan dari kata Aji dan Saka. Aji artinya sesuatu yang dihormati, dan Saka itu berasal dari bahasa jawa kuno yang artinya tiang/cagak/penyangga. Bila bergeser ke China menjadi TIAN atau Tuhan. Jadi Aji Saka artinya “sesuatu yang dihormati karena Tuhan”, atau segala sesuatunya mengacu pada Tuhannya yang sangat dihormatinya.
Kemudian huruf-huruf tadi akhirnya menjadi BAHASA Sangsekerta. Dengan demikian, sansekerta itu asli (murni) berasal dari bumi Indonesia, bukan berasal dari India. Kenapa demikian, di India tidak ada kata-kata “SANG”. Bahkan jika berbasis kata SANG, justru sebenarnya lebih dekat ke China. Contohnya Chiang Kai Sek, dimana Chiang oleh bangsa China dibaca “Sang”. Tak boleh dipungkiri, “Sang” itu sesungguhnya bahasa asli Indonesia dulu, yakni bahasa Saka.
Huruf-huruf yang dipakai di era Ratu Boko adalah “SANGSEKERTA”. Ya. KERTA itu artinya “empat”, sedangkan SANG asal kata dari wangsa (bangsa). Jadi sansekerta itu maksudnya adalah Empat Bangsa, yang meliputi antara lain:
Pertama, bangsa China meliputi selain China itu sendiri, Vietnam, Laos dan juga Kamboja. Mereka dikenal sebagai bangsa “Chin”. Kedua, Birma hingga Thailand terkenal dengan sebutan bangsa “Thai”. Ketiga, Madagaskar, Srilangka, India dan seterusnya hingga Mesir terkenal dengan sebutan bangsa Afrika. Dan terakhir (keempat), Jawa, Sumatera, Papua sampai kepulauan Polinesia dan Hawai yang dikenal dengan sebutan Bani Jawa.
Dari keterangan diatas maka jelaslah bahwa Sansekerta sangat kuat pengaruhnya di wilayah Srilangka maupun India hingga saat ini. Dari keempat bangsa tersebut, penguasa yang terkenal ialah Ratu Boko. Dan jika keempat unsur bangsa itu digabungkan menjadi satu, maka timbullah istilah NUSANTARA atau Nuswantoro. Ya. Nusa artinya pulau dan Antara artinya jarak. Maka makna NUSANTARA ialah bangsa yang hidup di pulau-pulau yang tersebar mulai dari kepulauan Polinesia di ujung timur hingga wilayah Madagaskar atau Afrika.
Era Kahuripan
Dari masa Medang Kamulyan lalu berganti ke era Bangsa Kahuripan. Kahuripan itu artinya Kehidupan. Yang ditengarai dengan raja yang terkenal yaitu Hayam Wuruk (Brawijaya III) yang juga dikenal dengan sebutan JUMADIL KUBRO sebagaimana makamnya di Troyolo, Trowulan, Mojokerto. Maksud dari kata Jumadil adalah Jum’ah atau juma’at yang artinya berkumpul (bersatu) dan Kubro yang artinya Besar. Jadi Jumadil Kubro makna tersiratnya adalah “berkumpulnya sesuatu yang besar”. Atau istilah Sansekerta disebut SUMPAH PALAPA.
Agaknya dengan Sumpah Palapa, Hayam Wuruk berhasrat membangun kembali kerajaan (nusantara)-nya sebagaimana dulu pernah gemilang di Era Medang Kamulyan. Ia ingin menyatukan Nuswantoro yang telah tercerai berai menjadi beberapa kerajaan atau wilayah kecil. Dan patihnya yang melegenda saat itu adalah Gajah Mada. Hal yang tidak tercatat (dihilangkan?) oleh sejarah modern adalah guratan (ukiran) pada batu “Sumpah Palapa”-nya Gajah Mada ternyata berlafadzkan Laa Ilaha Illallah, artinya Tiada Tuhan kecuali Allah.
Terimakasih
M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar