Sabtu, 27 Desember 2014

Ottoman, Kerajaan Islam Multinasional

Ilustrasi suasana di Kerajaan Ottoman.
Ilustrasi suasana di Kerajaan Ottoman.

Populasi Kerajaan Ottoman sangat heterogen dalam agama, bahasa, dan struktur sosial.
Pada 1650 M, Kerajaan Ottoman (Turki Utsmani) menduduki daratan di Eropa, Asia dan Afrika. Di Eropa, wilayah teritorial Ottoman meliputi Semenanjung Balkan di bagian selatan sungai Danube dan Sava, dan daratan tengah Hungaria hingga ke utara.

Kerajaan-kerajaan Transylvania, Wallachia, Moldavia dan Crimea yang terletak antara Hungaria dan Laut Hitam membayar upetinya kepada Sultan Ottoman. Di Asia, Kerajaan Ottoman berkembang ke arah timur dari Bosphorus hingga pegunungan yang berbatasan dengan Iran, dan di bagian selatan hingga bagian hulu dari Teluk dan hingga ke Yaman di barat daya Semenanjung Arab.

Di Afrika, tanah kerajaan terdiri atas bagian barat litoral Laut Merah, provinsi kaya Mesir, dan semi otonomi pos terluar Tripoli, Tunisia dan Aljazair. Di Mediterania, Siprus dan sebagian besar pulau-pulau dari kepulauan Aegean dimiliki Ottoman.

Pada 1669 M, Kriti masuk menjadi bagian Ottoman. Pada abad ke-17, orang-orang Eropa biasa menyebut kerajaan ini sebagai "Kerajaan Turki" dan menyebut orang-orangnya sebagai orang Turki, terutama bagi orang Muslimnya. Penyebutan ini hanya benar sebagian.

Populasi heterogenPopulasi Kerajaan Ottoman sebenarnya sangat heterogen dalam agama, bahasa dan struktur sosial. Karena keyakinan sultan dan penguasa elite, Islam menjadi agama yang dominan.
Namun, gereja Yunani dan Orthodok Armenia tetap memegang peran penting dalam struktur politik kerajaan dan mengatur populasi Kristen yang besar. Bahkan, melebihi jumlah Muslim di banyak daerah.

Selain itu, ada Yahudi Ottoman dengan populasi yang substansial. Colin Imber dalam The Ottoman Empire, 1300-1650 mengatakan, setelah bangsa Yahudi diusir dari Spanyol pada 1492 M, mereka bermukim di Thessaloniki dan membuat kota ini sebagai populasi Yahudi terbesar di dunia.
“Di luar kelompok-kelompok utama ini, terdapat sejumlah besar komunitas Kristen dan non-Kristen, seperti Maronit dan Druz dari Lebanon,” tulisnya.

Kelompok bahasa sama beragam dan tumpang tindih dengan komunitas agama. Di Semenenajung Balkan, mereka yang berbicara Slavonic, Yunani dan Albania menjadi mayoritas. Terdapat juga minoritas Turki yang berbicara romansa Vlach.

Di Anatolia, bahasa Turki adalah bahasa mayoritas, tetapi daerah ini juga menjadi daerah untuk bahasa Yunani dan Armenia. Di timur dan tenggara, mereka menggunakan bahasa Kurdi.



Di Suriah, Irak, Arabia, Mesir dan Afrika Utara, sebagian besar populasi berbicara dengan dialek Arab dengan bahasa Turki tingkat tinggi. Namun, tidak ada provinsi mana pun yang menjadi bagian Kerajaan Ottoman yang mempunyai bahasa sendiri. Bahasa Turki adalah bahasa pemerintahan dan lingua franca kaum elite.



Struktur sosial kerajaan juga bervariasi. Ekonomi Kerajaan Ottoman berlimpah dari sektor agrikulturual. Kejayaan sultan, seperti yang sering ditekankan penulis politik, bersandar pada kerja keras para petani.

Jenis agrikultural dan peternakan yang berkembang, sebagaimana struktur sosial desa-desa dan rumah tangga petaninya, bervariasi dengan tradisi yang berbeda-beda. Begitu juga dengan variasi dalam iklim dan tanah daerahnya.

Berlawanan dengan para petaninya, sebagian populasi kerajaan hidup secara seminomaden dengan menggembala ternak. Seringkali dengan jumlah penduduk dan pemerintah yang ganjil.

Di antara kelompok ini terdapat suku Badui dari padang pasir Arab, Suriah, Mesir, bangsa Vlach dari Semenanjung Balkan dan suku-suku berbahasa Turki dari Anatolia, Suriah Utara dan barat daya Eropa.

Pada pertengahan abad ke-17, elite politik dan militer cenderung berasal dari garis keturunan Albania atau Kaukasia. Umumnya berasal dari Georgia, Abkhazia atau Kirkassia. Tokoh agamis atau berlatar belakang hukum yang menjadi staf di sekolah tinggi agama, pengadilan umum dan Masjid cenderung dari bangsa Turki.

Sedangkan di Balkan bagian barat, Bosnia, atau di provinsi yang berbahasa Arab adalah dari bangsa Arab. Secara singkat, Kerajaan Ottoman adalah kerajaan multinasional.

Loyalitas Sultan
Pada prinsipnya, diskriminasi terjadi karena basis agama. Muslim dapat mencapai posisi politik atau mengejar karir dalam layanan administrasi. Namun, di sini keturunan Muslim tidak penting.

Sebagian besar pemegang posisi politik merupakan generasi pertama atau kedua yang berpindah dari Kristen. Kantor pengadilan adalah tempat yang memelihara keluarga Muslim lama. Bagian tubuh penting pemerintahan ini tetap terbuka bagi non-Muslim.

Banyak orang merasa berisiko jika kegiatan pajak yang berpotensi mendatangkan keuntungan dipegang keluarga Kristen atau Yahudi. Namun, bukan berarti Kerajaan Ottoman eksklusif Muslim atau eksklusif milik bangsa Turki. Kerajaan ini adalah sebuah kerajaan dinasti dimana hanya loyalitas kepada sultanlah yang dibutuhkan dari seluruh penduduknya yang sangat beragam.

Loyalitas diharapkan bagi mereka yang tidak memegang kantor, yaitu tidak akan memberontak dan membayar pajak dengan tunai, kebaikan atau layanan. Bahkan, hal ini sering dapat dinegosiasikan. Pada akhirnya, sultan sebagai peroranganlah yang menyatukan kerajaan.

Pemukiman koloni Turki di Balkan telah menemani penaklukan Ottoman pada abad ke-14 dan ke-15. tahun-tahun setelah penaklukan Siprus pada 1573 M menjadi saksi perpindahan paksa orang-orang Turki ke pulau-pulau Anatolia. Orang-orang yang dideportasi kadangkala adalah para pembuat onar di daerah asalnya.

Mereka kemudian akan membentuk sebuah nukleus dari warga negara yang loyal terhadap Ottoman. Sultan juga menata ulang pemukiman kelompok-kelompok non-Turki, seperti komunitas Yahudi yang dipindah ke Siprus setelah 1573 M untuk mendorong kehidupan perdagangan di pulau itu.
 Ani Nursalikah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar