Selasa, 23 Desember 2014

Ismail Raji al-Faruqi, Penggagas Islamisasi Ilmu

Ismail Raji al-Faruqi.
Ismail Raji al-Faruqi.

Setiap upaya pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepada-Nya.
Islamisasi ilmu adalah gagasan yang  telah lama disuarakan oleh para pemikir Muslim. Salah satunya, Ismail Raji al-Faruqi. Ia menggagas perlunya Islamisasi ilmu pengetahuan modern ke dalam sebuah bingkai tauhid.

Al-Faruqi adalah cendekiawan Muslim yang cukup berpengaruh di abad ke-21. Ia lahir di Jaffa, Palestina, pada 1 Januari 1921. Tak hanya gigih menyemai pemikiran Islam, ia pun tak henti mengkritik ekspansi Zionis Israel di tanah kelahirannya. Namun, sikap kerasnya terhadap Israel inilah yang membawanya kepada maut.

Bersama sang istri, Lamiya al-Faruqi, ia wafat pada 27 Mei 1986 setelah ditikam orang tak dikenal yang masuk ke kediamannya di Wyncote, Pennsylvania, Amerika Serikat (AS). Hingga kini, penyebab kematiannya masih diselimuti awan gelap. Namun, banyak pihak meyakini aksi pembunuhan itu berkaitan erat dengan kecamannya terhadap Israel.

Al-Faruqi lahir dari ayah yang berprofesi sebagai hakim (kadi). Sang ayah, Abd al-Huda al-Faruqi, adalah sosok yang sangat istikamah dalam menjalankan nilai-nilai Islam. Laman Ismailfaruqi.com menjelaskan, al-Faruqi memperoleh pendidikan agama pertama kali di rumah dari sang ayah. Dasar-dasar pendidikan agama juga diperkaya melalui masjid di dekat tempat tinggalnya.

Al-Faruqi melewati jenjang pendidikan sekolah formal secara mulus. Pada 1936, ia melanjutkan pendidikan di sekolah Katolik Prancis, College des Freres (St Joseph) di Palestina. Tamat dari St Josep, ia bekerja di bagian pencatat pada sebuah lembaga bernama Masyarakat Kerja Sama (Registrar of Cooperative Societies) pada 1942.

Setelah itu, kariernya terus melesat hingga ia duduk sebagai Gubernur Distrik Galilee pada 1948. Jabatan ini dilakoninya atas mandat Pemerintah Inggris yang ada di Yerussalem.

Ketika Israel mengikrarkan diri sebagai negara Yahudi pada 1948, al-Faruqi memilih untuk meninggalkan Palestina. Tempat yang ia tuju adalah Beirut, Lebanon. Di sini, ia melanjutkan studinya di American University of Beirut.

Tak lama setelah itu, ia memutuskan merantau ke Amerika Serikat. Di sana, ia  menuntut ilmu pada program pascasarjana di Indiana University School of Arts and Sciences. Gelar magister (MA) bidang filsafat direngkuhnya pada 1949.

Tak lama kemudian, ia kuliah filsafat di Universitas Harvard. Gelar MA yang kedua pada bidang filsafat disandangnya pada 1951 setelah mempertahankan tesis berjudul Justifying the Good: Metaphysics and Epistemology of Value.


Dari Harvard, al-Faruqi kemudian kembali ke Indiana University. Di universitas inilah ia meraih gelar doktor (PhD) di bidang filsafat pada September 1952.

Dari rekam jejak studinya ini dapat dipahami bila al-Faruqi memiliki pemahaman yang sangat mendalam mengenai filsafat klasik dan perkembangan pemikiran tradisional di Barat.

Setelah bertahun-tahun menimba ilmu di AS, al-Faruqi kemudian mendalami ilmu-ilmu agama Islam di Universitas Al-Azhar, Kairo, selama empat tahun. Tamat dari Al-Azhar, al-Faruqi kembali ke AS. Saat itulah, ia mulai terlihat sebagai cendekiawan Muslim yang cemerlang.

Tiga sumbu tauhid
Kala itu, Al-Faruqi sangat prihatin terhadap kondisi umat Islam yang tenggelam dalam sistem pendidikan Barat.

Karena itu, ia berpikir, tak ada cara lain untuk membangkitkan Islam kecuali dengan mengkaji kembali kultur keilmuan Islam masa lalu, masa kini, dan keilmuan Barat, untuk kemudian mengolahnya menjadi keilmuan yang rahmatan lil alamin, melalui apa yang ia sebut Islamisasi ilmu.

Untuk melakukan Islamisasi ilmu itu, menurut al-Faruqi, diperlukan tiga sumbu tauhid (kesatuan).  Pertama, adalah kesatuan pengetahuan. Berdasarkan sumbu yang pertama ini, tak ada lagi pernyataan bahwa  beberapa ilmu bersifat aqli (rasional) dan ilmu lainnya bersifat naqli (tidak rasional).

Kedua, yakni kesatuan hidup. Di sini berarti, semua disiplin ilmu harus menyadari dan mengabdi kepada tujuan penciptaan. Dengan demikian, tidak ada lagi pernyataan bahwa beberapa disiplin sarat nilai sedangkan disiplin-disiplin yang lainnya bebas nilai atau netral.

Ketiga, kesatuan sejarah. Ini artinya segala disiplin ilmu akan menerima sifat yang umatis dan kemasyarakatan dari seluruh aktivitas manusia, dan mengabdi kepada tujuan-tujuan umat  di dalam sejarah.

Dengan demikian, tak  ada lagi pembagian ilmu ke dalam ilmu-ilmu yang bersifat individual dan ilmu-ilmu yang bersifat sosial. Dengan demikian, semua disiplin bersifat humanistis dan umatis.

Dalam kaitannya dengan Islamisasi ilmu, al-Faruqi berpendapat, setiap penelitian dan usaha pengembangan keilmuan harus diarahkan sebagai refleksi dari keimanan dan realisasi ibadah kepada-Nya. Ini berbeda dengan prinsip keilmuan Barat, yang memisahkan ilmu pengetahuan dari prinsip teologi dan agama.

Gagasan-gagasan cemerlang untuk memperjuangkan proyek integrasi ilmu tersebut, ia tuangkan dalam banyak tulisan, baik dalam bentuk artikel di majalah maupun jurnal, juga dalam bentuk buku. Lebih dari 20 buku, dalam berbagai bahasa, telah ditulisnya, dan tak kurang dari 100 artikel telah dipublikasikan.

Selain dalam bentuk tulisan, gagasan Islamisasi ilmu itu juga  ia perjuangkan lewat lembaga kajian Islam yang didirikannya.

Pada 1980, misalnya, ia mendirikan The International Institute of Islamic Thought (IIIT) di AS yang kemudian menerbitkan bukunya yang berjudul Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan pada 1982.

Sebelumnya, pada 1972, ia mendirikan The Association of Muslim Social Scientist pada 1972. Lembaga-lembaga internasional yang didirikannya itu menerbitkan jurnal tentang ilmu-ilmu sosial Islam.

Berbagai kegiatan ini ia lakukan semata didorong oleh pandangannya bahwa saat ini ilmu pengetahuan benar-benar telah bersifat  sekuler dan karenanya jauh dari tauhid.

Maka itu, al-Faruqi berinisiatif memberikan 'terapi' agar  kemajuan dan pengetahuan tidak berjalan kebablasan di luar jalur yang seharusnya. Terapi itu tak lain konsep Islamisasi ilmu dan paradigma tauhid dalam pendidikan dan pengetahuan.

Aktif berkarya
Sebagai seorang cendekiawan, Ismail Raji al-Faruqi termasuk sosok yang aktif berkarya. Tercatat lebih dari 20 buku dan ratusan artikel telah ia hasilkan.

Diantara bukunya yang terpenting adalah Tauhid: It's Implications for Thought and Life. Buku yang terbit pada 1982 ini mengupas tentang tauhid secara lengkap.  Dalam buku ini, tauhid tidak hanya dipandang sebagai ungkapan lisan, tetapi bagaimana tauhid dikaitkan dengan seluruh aspek kehidupan manusia, baik dari segi politik, sosial, maupun budaya.

Karya lainnya yang banyak dikaji adalah Islamization of Knowledge: General Principle and Workplan (1982). Dari buku ini terlahir gagasan pentingnya Islamisasi ilmu pengetahuan. Di dalamnya, terangkum langkah-langkah yang harus ditempuh dalam proses Islamisasi tersebut.

Ia juga cukup banyak melahirkan karya yang berhubungan dengan ilmu perbandingan agama. Salah satunya adalah Christian Ethic dan Trilogue of Abraham Faiths. Dua buku ini membahas konsep tiga agama tentang negara dan bangsa, dan konsep tiga agama itu tentang keadilan dan perdamaian. Tiga agama yang dimaksud adalah Islam, Kristen, dan Yahudi.

Ada lagi salah satu bukunya yang menarik perhatian para akademisi, yakni Historical Atlas of the Region of the World serta Cultural Atlas Islam. Buku yang disebut terakhir itu ditulis al-Faruqi bersama istrinya dan diterbitkan tak lama setelah keduanya wafat

 Mohammad Akbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar