Rabu, 31 Desember 2014

Laksamana Cheng Ho: Cina Muslim yang Seharusnya Bergelar ‘The Real Sinbad’


Dengan tinggi tujuh kaki, maritim raksasa Cina yang dibawah kepimimpinan Laksamana Zheng He (Cheng Ho) telah memimpin armada terkuat di dunia, dengan 300 kapal dan sebanyak 30.000 tentara di bawah komandonya.
Bulan depan, para arkeolog akan mulai bekerja di lepas pantai Kenya untuk mengidentifikasi sisa-sisa kapal yang terdampar yang diyakini milik seseorang yang beberapa sejarawan percaya seseorang tersebut telah mengilhami petualangan Sinbad si pelaut.
Arkeolog Cina, yang tiba di negara Afrika minggu ini, berharap bahwa kapal karam itu bisa memberikan bukti adanya kontak pertama antara Cina dan timur Afrika.
Kapal yang tenggelam dan karam diyakini menjadi bagian dari armada Zheng He, yang mencapai kota pesisir Malindi di tahun 1418.
Cina sendiri tampaknya yakin mereka akan menemukan kapal karam di dekat kepulauan Lamu, di mana potongan-potongan keramik dari era dinasti Ming banyak ditemukan.
Pemerintah Cina berinvestasi sebesar £ 2 juta (atau 3 juta dolar) dalam proyek bersama selama tiga tahun, di mana Kenya sendiri mengatakan mereka berharap akan mendapatkan temuan penting tentang hubungan awal antara Cina dan Afrika.
Menurut mitos di Kenya, beberapa pelaut Cina dari armada Zheng He yang terdampar dan selamat, diizinkan untuk tinggal dan menikahi wanita setempat.
Tes DNA dilaporkan menunjukkan bukti adanya keturunan Cina dari beberapa warga Kenya dan salah seorang warga Kenya yang keturunan Cina itu adalah wanita muda bernama Mwamaka Shirafu, ia diberikan beasiswa untuk belajar pengobatan Cina di Cina, di mana dia sekarang tinggal.
Menetapkan perlayaran lebih dari 600 tahun yang lalu, armada laksamana Zheng He membuat tujuh perjalanan epik, perlayarannya mencapai Asia Tenggara, Timur Tengah, dan sejauh pantai timur Afrika.
Ada yang mengatakan ia bahkan sampai ke Amerika – beberapa dekade sebelum penjelajah Eropa meyakini Christopher Columbus yang pertayamakali menjangkau benua Amerika- walaupun hal ini masih banyak diperdebatkan oleh para sejarawan.
Zheng He, dikenal sebagai Kasim laksamana Tiga-perhiasan, dirinya membawa hadiah dari Kaisar Cina dengan menaiki “kapal harta”, yang membawa barang berharga termasuk emas, porselin dan sutra.
Barang-barang berharga ini ditukar di sepanjang rute perdagangan dengan pedagang Arab, barang-barang berharga itu ditukar dengan gading, mur dan jerapah bahkan armada kapal Zheng He juga mempromosikan pengakuan dinasti baru Ming.
Tapi bertahun-tahun setelah kematiannya, kemunculan atas legenda laksaman Zheng He memudar dari kesadaran publik, dan selama berabad-abad legendanya telah dilupakan karena Cina kembali pada dunia dan memasuki suatu periode panjang isolasi.
Zheng He – yang juga dikenal sebagai Cheng Ho – saat ini dipuji sebagai pahlawan nasional baru Cina; pemberian gelar pahlawan baru Cina ini dilakukan oleh Partai Komunis Cina.
“Munculnya Cina telah menyebabkan banyak rasa takut,” kata Geoff Wade dari Institut Studi Asia Tenggara di Singapura.
“Zheng He digambarkan sebagai simbol keterbukaan Cina untuk dunia, sebagai utusan perdamaian dan persahabatan – dua kata ini terus bermunculan di hampir setiap referensi untuk Zheng He yang keluar dari Cina,” kata Prof Wade.
Pelayaran Zheng He, katanya, membawa porselin, sutra dan teh daripada pelayaran yang menyebabkan terjadinya pertumpahan darah, menjarah atau kolonialisme baru – mengacu kepada tindakan kekerasan koersif yang digunakan oleh para penjajah Barat.
“Untuk hari ini, Zheng He masih dikenang sebagai duta persahabatan dan perdamaian,” kata Wade.
Zheng He adalah seorang laksamana pada masa “kekaisaran” Cina era lampau, ketika belum ada pembatasan, tidak ada batas perbatasan, kata pakar tentang Cina Edward Friedman.
“Ekspedisi Zheng He adalah sesuatu kejadian yang nyata – dan itu merupakan prestasi yang luar biasa dari Zheng He dan sebuah keajaiban waktu,” kata Prof Friedman dari University of Wisconsin-Madison.
Prof Geoff Wade, seorang sejarawan yang telah menerjemahkan dokumen dari era dinasti Ming yang berhubungan dengan perjalanan Zheng He, membantah penggambaran Zheng He seorang petualang yang sekedar bertualang.
Dia mengatakan, catatan sejarah menunjukkan armada harta karun Zheng He juga membawa persenjataan canggih dan berpartisipasi dalam setidaknya tiga aksi militer besar; di Jawa, Sumatra dan Sri Lanka.
International Zheng He Society di Singapura menyebut pernyataan Prof. Geoff Wade sebagai “pemikiran ala barat”, dan mengatakan Zheng He terlibat dalam pertempuran dalam upaya untuk membersihkan banyaknya bajak laut.(fq/cnn)

Kisah Kerajaan Yang Selalu Memikat

1391176691758442302.
Belum lama ini mata tertuju pada Inggris saat bayi dari Pangeran William dan Kate Midleton lahir. Banyak yang lantas mengenang mendiang Lady Diana ( seseorang yang mirip dengan saya wkk ). Lady Diana tak lain adalah ibundanya Pangeran William, Diana yang harus meninggal terlalu dini sehingga tak sempat melihat putranya menikah dan punya anak.
.
Kisah-kisah keluarga kerjaan selalu memikat penuh charisma yang sacral, terutama jika ada tragedy disana, tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan gosip artis ibukota yang cenderung hanya sensasi murahan. Kematian Lady Diana terkenang pada 31 Agustus 1997 menjadi puncak dari kisah sedih seorang putri cantik yang tidak bahagia. Berita kematian ini mendapat perhatian masyarakat luas hingga merebut 85% pemirsa.
.
Dalam sejarah kerajaan, selalu ada tokoh dengan kisah tragis yang mengungkapkan bahwa kehidupan di istana tidak seidah dongeng. Dan salah satu nama yang tersohor adalah cerita Anne Boleyn. Sejauh yang saya baca ceritanya. Dia adalah nama yang membangkitkan bulu roma, nama yang mengundang rasa kagum sekaligus rasa ngeri tepatri dalam sejarah kelam tinta Inggris. Istri Raja Henry VIII menimbulkan kehebohan tak hanya ketika ia hidup, tapi juga sesudah ia tewas dipenggal, hingga sekarang konon hantu Anne Boleyn yang masih gentayangan di Tower of London menjadi salah satu daya tarik utama bagi turis.
.
Ya, begitulah. Tragedy bisa terjadi pada siapa saja, anggota kerajaan maupun warga biasa seperti kita-kita. Pada akhirnya, yang terpenting adalah kita harus memetik hikmah atas setiap peristiwa, baik itu pengalaman orang lain atau diri sendiri.
.
Salam ngepuisi fiksi ^__^

Syinne L

Hukuman Bagi Seorang yang Murtad

nikah beda agama tangan kalung salib 490x326 Hukuman Bagi Seorang yang Murtad
BEBERAPA hari terakhir media informasi di tanah air banyak memberitakan tentang Asmirandah yang berpindah agama menjadi penganut Kristen. Sebelum berpindahnya Andah, demikian selebritis ini biasa dipanggil, Jonas Rivano, lelaki yang menjadi suaminya, juga sempat membuat geger dengan menyatakan bahwa dirinya pernah menjadi mualaf. Kasus Andah sebenarnya bukan satu-satunya. Ada beberapa selebritis lain yang memutuskan tidak lagi menjadi Muslim (murtad).
Umat Islam, dalam bentuk apa pun, dilarang memaksa non-Muslim untuk memeluk Islam. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Al-Quran dalam Surah Al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan untuk memasuki agama Islam. Sungguh telah jelas jalan kebenaran dari jalan kesesatan.”
Bersandar pada ayat tersebut, jelas bahwa jika ada non-Muslim yang ingin masuk Islam, sesungguhnya dia telah mendapat hidayah. Umat Islam akan dengan senang hati menerima mereka dan menjadikan mereka saudara. Namun, sebaliknya, jika ada seorang Muslim yang ingin keluar dari Islam, sejatinya dia sedang tersesat dari jalan yang benar setelah sebelumnya dia mendapat hidayah.
Allah Swt. berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 217: “Barangsiapa yang murtad di antara kalian dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
Lantas, hukuman apa yang pantas diberikan kepada seorang yang murtad? Tentang hal ini, ulama sepakat, sebagaimana diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, bahwa laki-laki yang murtad hukumannya adalah dibunuh, dengan syarat ia baligh, berakal, dan tidak dalam keadaan dipaksa. Bagi perempuan yang murtad pun hukumannya adalah dibunuh menurut mayoritas fuqaha, kecuali kalangan Hanafiyah. Sungguh hukuman yang sangat keras.
Mengapa seorang yang murtad begitu keras hukumannya? Hal ini dilakukan untuk menjaga kemuliaan Islam dan kaum muslimin, sekaligus menjaga akidah umat Islam dari keragu-raguan yang akan disebarkan murtadin jika mereka bebas berkeliaran di tengah-tengah umat Islam. Hukuman ini akan menjaga keutuhan jamaah kaum muslimin dari perpecahan, sekaligus menjaga mereka dari berbagai kerusakan. [Firmansyah/islampos]

Minggu, 28 Desember 2014

Menelusuri Jejak Illuminati di Indonesia


Garut Kota Illuminati Kota Garut mendadak menjadi terkenal bukan hanya skandal pernikahan bupati Aceng yang hanya berumur sehari, tetapi juga dengan dianggapnya gunung-gunung yang ada di sana sebagai piramida, salah satunya gunung Sadahurip. Anggapan yang berawal dari penelitian Yayasan Turangga Seta, yang mengakui dilakukan dengan metode yang disebut dengan parallel existence. Yaitu dengan kepekaan beberapa anggota terhadap bisikan ghoib (Vivanews 15 Februari 2011).
Isu piramid di gunung Sadahurip sampai menyita perhatian Staf Khusus Presiden bidang Bencana Alam dan Bantuan Sosial, Andi Arief untuk turun tangan meneliti pula. Namun, sampai sekarang dengan pro kontra yang ada piramid yang dikatakan ada di gunung Sadahurip masih belum ditemukan.
Dari beberapa berita berkaitan gunung piramid Garut yang dirangkum dalam buku ini bab 4, kesimpulannya ada atau tidaknya masih misteri. Setidaknya perkataan Eko Yulianto dari LIPI dalam sebuah seminar yang diadakan oleh Ikatan Geologi Indonesia bisa menjadi pegangan. Eko mengatakan untuk tidak mengolok-olok ekspedisi untuk mengungkap keberadaan piramid di Sadahurip maupun Lalakon. Pasalnya, beberapa penemuan ilmiah kerap didahului dengan silang pendapat. Sebut saja penemuan kerangka di Gua Pawon maupun kerangka Homo Floresiensis yang ditemukan di Flores (halaman 175).
Penulis buku ini, Ahmad Yanuana Samantho yang juga pernah menulis buku yang terkenal dan bestseller Peradaban Atlantis Nusantara, seakan mencoba menguak beberapa penemuan sekaligus konspirasi yang bisa menguatkan argumentasi yang disebutkan dalam buku yang dia tulis sebelumnya tersebut. Tak hanya gunung di Garut, tetapi juga persamaan candi di Bali dengan kuil suku Maya di Amerika. Dengan menampilkan gambar keduanya penulis mencoba meyakinkan pembaca bahwa memang ada keterkaitan antara peradaban di Nusantara dengan Amerika Maya.
Corak rumah gadang yang mirip dengan gaya illuminati juga keberadaan bahasa yang sebenarnya mirip dengan bahasa salah satunya corong yang mirip dengan bahasa Inggris crown, dengan arti yang mirip pula. Corong tanduk kerbau yang diberi lubang untuk ditiup sedangkan crown adalah mahkota yang juga terletak di kepala.
Setelah Sumatera dan Bali penulis kembali ke Garut menyoal keberadaan Masjid Agung Garut yang masih menyisakan beberapa corak Yahudi di sekitarnya, seperti lambang hexagram (bintang david) di halaman masjid juga gazebo bercorak yahudi. Selain itu penulis juga menganggap ada kemungkin corak masjid yang juga mirip loji Yahudi, dulunya memang loji tanpa dipugar dan dijadikan masjid (halaman 196-198).
Dengan beberapa kemiripan dengan illuminati dan yahudi di atas, penulis pun menyimpulkan sekaligus bertanya, apakah Indonesia atau lebih tepatnya Nusantara adalah nenek moyang orang-orang barat dan Israel atau sebaliknya. Apabila memang Nusantara adalah nenek moyang Yahudi, maka ini akan menguatkan pendapat penulis dalam buku sebelumnya bahwa Nusantara adalah Atlantis yang hilang. Maka akan muncul pertanyaan lagi dari penulis kalau benar begitu bisa jadi yang dicari oleh penjajah dan illmunati dulu ke Nusantara bukan hanya ingin menjajah dan mengangkut rempah-rempah ke negaranya, namun untuk membangkitkan kembali kejayaan Atlantis.
Selama ini illuminati selalu menjadi image negative di khalayak, namun penulis dalam buku ini menawarkan wacana baru dalam memandang illuminati. Hampir banyak orang menganggap illuminati adalah kelompok penyembah setan, namun penulis yang mengambil pendapat Richard Cassaro bahwa illuminati yang juga biasa disebut secret societiessebenarnya bukan penyembah setan. Sebenarnya masyarakat rahasia atau secret societies itu rahasia untuk alasan yang baik menurut Cassaro. Mereka adalah generasi yang akan melanjutkan ilmu kebijaksanaan yang ada di mata ketiga manusia. Mata ketiga yang dimaksud adalah mata hati yang akan membuat orang yang memilikinya untuk berbuat baik dan bijak (halaman 314).
Buku 490 halaman ini juga mencoba menelusuri kematian Hitler yang digadang-gadang di Indonesia. Juga mencoba menawarkan konsep bahwa kejahatan di dunia termasuk Indonesia ini bukan ulah keseluruhan Yahudi. Namun, dilakukan oleh sebuah kelompok Yahudi yang menjadi bayang-bayang hampir di seluruh negara, mereka adalah keluarga Rothschild (Bab 9). Terlepas dari Anda akan percaya dari kontraversi dalam buku ini, setidaknya buku ini akan lebih membuka wawasan Anda tentang Illuminati, Freemason, juga Atlantis yang terpendam. Buku ini cukup beda membahasnya, selamat membaca!
(Muhamad Rasid Ridho) http://www.indoleader.com/index.php/resensi/1963-menelusuri-jejak-illuminati-di-indonesia
https://www.youtube.com/watch?v=tjj0eozIEwk

Melacak Makna dan Kejayaan Nusantara



Jujur saja. Uraian Ghuzilla Humied, Network Associate Global Future Institute (GFI), Jakarta, berjudul PERADABAN NUSANTARA (Sebuah Catatan yang Hilang) di http://www.theglobal-review.com, selain membikin gundah hati di satu sisi, tetapi di sisi lain malah mengusik naluri keinginan-tahu saya serta hasrat untuk melacak mengapa sejarah nusantara kok bisa hilang, lalu dimana simpul atau titik putusnya?
Selanjutnya menyimak tautan soal “Pentingnya Sejarah” di dinding facebook Dina Y. Sulaeman (1/10/2013), mahasiswa program doktoral bidang Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Bandung, yang juga sebagai Research Associate di GFI, agaknya gundah hati ini sedikit terobati, setidak-tidaknya bisa dimaklumi —walau sedikit— kenapa sejarah peradaban suatu bangsa dapat menghilang, terputus atau bahkan lenyap.

Kata-kata kunci terputusnya sejarah nusantara —dugaan sementara penulis—mungkin disebabkan oleh dua faktor. Pertama “kolonisasi”. Kedua “filologi”. Mari kita lanjutkan catatan tak ilmiah ini.
Ya. Filologi merupakan ilmu yang mempelajari naskah-naskah manuskrip, dan lazimnya memang dari zaman kuno. Pertanyaannya sederhana: mengapa di Iran tidak diajarkan tentang filologi, kenapa bidang studi naskah-naskah lama tidak ditemui pada setiap universitas di Negeri Para Mullah? Jawabannya menarik: hal itu terjadi karena kalangan akademisi Iran tidak pernah mendapatkan kesulitan berarti ketika berhadapan dengan naskah-naskah lama Iran. Artinya, bahasa dan aksara dalam naskah yang berusia seribu tahun pun misalnya, masih dengan mudah dapat dibaca oleh masyarakat terpelajar di zaman sekarang, apapun bidang studi mereka. Luar biasa!
Mengapa Indonesia perlu filologi? Dina menjelaskan, karena naskah-naskah lama nusantara adalah sesuatu yang betul-betul asing, baik bahasa ataupun aksaranya. Jangankan seribu tahun, seratus tahun saja sudah terasa sangat aneh. Tugas filolog adalah menguak isi naskah kuno dalam rangka memahami nilai-nilai yang ada di dalamnya, untuk bisa dimanfaatkan oleh masyarakat zaman sekarang. Inilah perbedaaan mencolok antara Indonesia dan Iran dalam hal pembelajaran bab-bab sejarah bangsanya.
Satu poin penting yang bisa ditarik dari cerita ini: masyarakat Indonesia zaman sekarang sangat teralienasi dari masa lalu. Padahal, yang dimaksud kuno dalam konteks Nusantara tidaklah lama-lama amat. Cukup 100 tahun yang lalu sudah dianggap kuno. Tapi berapa banyak dari kita yang mampu membaca naskah berusia 100 tahun? Di Iran, kitab syair berusia 1000 tahun pun masih bisa dibaca anak-anak muda zaman sekarang.
Dina menduga, keterasingan memang secara sengaja dibuat oleh “kolonial” demi kepentingan keberlanjutan kolonialisme. Keterasingan ini membuat masyarakat Indonesia menjadi bangsa dengan kadar softpower sangat rendah. Mudah diguncang dan diobok-obok, gampang ditakut-takuti, kebersamaannya sangat rapuh, karena tak banyak yang mereka ingat dari masa lalu sebagai SUMBER kebanggaan.
Ketika Arysio Santos dari Brazil mengungkap hasil penelitiannya selama 30 tahun dalam buku “Atlantis, The Lost Continent Finally Found, The Definitifve Localization of Plato’s Lost Civilization”, ia menampilkan 33 perbandingan seperti luas wilayah, cuaca, kekayaan alam, gunung berapi, cara bertani, dll kemudian menyimpulkan bahwa Atlantis itu adalah Indonesia, ternyata justru di republik ini hampir tak dijumpai geliat para arkeolog dan geologis untuk membuat penelitian lanjutan secara gegap gempita. Entah kenapa. Faktor filologi, atau karena lainnya?
Penjelasan serupa juga dikemukakan penulis Inggris, Prof. Stephen Oppenheimer, dalam buku “Eden in The East: The Drowned Continent of Southeast Asia” (1998). Dia menulis suatu benua yang tenggelam akibat banjir bandang, dan naiknya permukaan air laut sekitar 7.000 hingga 14.000 tahun yang lampau. Wilayah yang tenggelam itu berada di wilayah yang kini disebut sebagai Asia Tenggara.
Ia menyebut benua tenggelam itu sebagai Sundaland. Para penghuni yang selamat saat itu lalu menyebar ke berbagai tempat hingga ke Eropa, membawa budaya dan pola hidup mereka. Itu sebabnya Oppenheimer berasumsi asal-usul ras Euroasia di Eropa bisa ditelusuri di Asia.
Oppenheimer pun yakin bahwa para penghuni Sundaland saat itu punya peradaban maju dari wilayah-wilayah lain. “Mereka sudah mengembangkan pola menyambung hidup, dari sekadar berburu binatang menjadi bertani, berkebun, mencari ikan, bahkan perdagangan melintas laut. Semua itu sudah dilakukan sebelum 5.000 tahun yang lampau,” demikian penggalan asumsi profesor Oxford tersebut.
Sejarah selama ini, hanya mencatat induk peradaban manusia modern berasal dari Mesir, Mediterania dan Mesopotamia. Tetapi, menurut dia, nenek moyang dari induk peradaban manusia modern justru berasal dari tanah Melayu yang sering disebut Sundaland, atau Indonesia. Buktinya?
“Peradaban agrikultur Indonesia lebih dulu ada dari peradaban agrikultur lain di dunia,” kata Oppenheimer dalam diskusi bedah bukunya di Jakarta, Oktober 2010. Tentu, pendapat ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Universitas Oxford itu, memberi paradigma berbeda dari yang ada selama ini dikatakan bahwa peradaban paling awal berasal dari Barat.
Ada keluhan seorang anak bangsa tentang pengaburan sejarah nusantara ini oleh kaum kolonial: “Begitu seringnya bangsa ini dibodohi. Ketika pada 1920-an Prof. C.C Berg dari Leiden membawa naskah —hasil editnya—Kidung Sundayana (cerita Perang Bubat) ke Jawa, orang-orang Sunda dan Jawa tanpa kritik tanpa selidik dan langsung mengamini. Maka sejak saat itu, cerita konflik antara Sunda-Jawa diturun-temurunkan dalam nada penuh kebencian. Kita secara tak sadar, masuk perangkap C.C Berg yang tak lain adalah akademisi peliharaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Sejarah memang tak cukup dibaca saja, tapi harus dianalisa, dipikirkan dan dikritisi” (status di Facebook Hendi Jo, 26/9/2013).
Pointers diskusi terbatas di Global Future Institute (GFI), Jakarta (17/1/2013), pimpinan Hendrajit, dengan merujuk beberapa literatur dan artikel sejarah, memang menjumpai tahapan penting dalam sebuah kolonisasi, yaitu “pengaburan atau pembengkokan sejarah di negara-negara koloni”.
Adapun langkah pengaburan sejarah tadi melalui beberapa tahap. Pertama, penghancuran bangunan fisik bangsa terjajah agar generasi baru tidak dapat menyaksikan bukti-bukti kejayaan nenek moyangnya, otomatis selain tak mampu menarik hikmah dan nilai-nilai emas histori, juga tidak bisa dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Kedua, terputusnya hubungan histori dengan leluhur melalui penciptaan stigma dan opini bahwa leluhurnya itu bodoh, tidak beradab, primitif, dan lain-lain. Ketiga, dibuat sejarah baru versi penjajah. Agaknya inilah pola yang berulang hampir di setiap kolonisasi.
Sekali lagi, tampaknya pola kolonisasi dan filologi sebagai faktor penyebab kenapa sejarah sebuah bangsa menjadi kabur, bahkan bisa dibengkokkan oleh kaum kolonial. Tak bisa tidak. Inilah yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi setelah membaca ulasan Humied, hati ini berbunga sedikit, karena setidak-tidaknya Indonesia telah memiliki “sumber kebanggaan” untuk kembali mengukir dirinya sebagai bangsa yang kuat, besar, maju dan modern sebagaimana nenek moyangnya dahulu.
Inilah uraian sederhana Humied tentang tahap, masa atau era daripada kejayaan para leluhur dulu, dimana hasil penelitian Santos dan Oppenheimer pun menganggap Indonesia adalah nenek moyang bangsa-bangsa di dunia.
Era Wangsa Keling
Apakah Wangsa Keling itu? Wangsa itu artinya bangsa, sedangkan Keling artinya kuat. Dengan demikian, Wangsa Keling itu maksudnya adalah “bangsa yang kuat”. Konon dahulu, ia mampu menjajah hingga ke Kamboja, Vietnam (Indochina), Thailand, Burma, Srilangka, India hingga ke Madagaskar.
Raja yang terkenal kala itu bernama Sailendra. Tulisan yang digunakan adalah huruf Pallawa, dimana modelnya menyerupai huruf Mesir Kuno (dan Israel). Memang ada kesamaan mencolok antara huruf Pallawa dan Mesir Kuno. Sedangkan pusat pemerintahannya terletak di sekitar daerah Yogyakarta sampai ke wilayah Dieng. Maka ketika Israel menyebut dirinya masih keturunan Moria, tidak ada lain maksudnya ialah gunung Muria yang ada di Dieng. Sedangkan Dieng itu sendiri itu artinya penguasa. Dari kata Dieng bergeser namanya menjadi Dah Nyang (Dayang) yang berarti Dah Hyang atau Penguasa.
Konon setelah itu Wangsa Keling ‘menghilang’ beberapa abad, ditengarai munculnya situs Dieng di atas, maupun bangunan Candi Borobudur. Habisnya masa Wangsa Keling ditandai dengan bangunan Baqa’ atau Baqi’ yang artinya kuburan atau berakhir, ditandai dengan berdirinya Candi Boko (Baqo’).
Era Medang Kamulyan
Medang artinya Kemajuan dan Kamulyan artinya Kemuliaan (kejayaan). Bahwa Medang Kamulyan artinya zaman atau era kemajuan, terutama bidang keagamaan. Betapa agama lebih dititikberatkan dalam sistem pendidikan terpadu mulai dari tingkat (lingkup) kecil sampai lingkup besar (kongres). Istilahnya, sekolah pada agama. Atau ajaran agama yang dilembagakan dalam pendidikan? Sudah barang tentu, dahulu belum dikenal sekolah modern sebagaimana era kini.
Rajanya yang terkenal adalah Ratu Boko yang di masa itu merupakan cikal bakal munculnya huruf-huruf SANGSEKERTA (sansekerta) yang kali pertama dikenalkan oleh Aji Saka. Sedangkan Aji Saka itu sendiri merupakan gabungan dari kata Aji dan Saka. Aji artinya sesuatu yang dihormati, dan Saka itu berasal dari bahasa jawa kuno yang artinya tiang/cagak/penyangga. Bila bergeser ke China menjadi TIAN atau Tuhan. Jadi Aji Saka artinya “sesuatu yang dihormati karena Tuhan”, atau segala sesuatunya mengacu pada Tuhannya yang sangat dihormatinya.
Kemudian huruf-huruf tadi akhirnya menjadi BAHASA Sangsekerta. Dengan demikian, sansekerta itu asli (murni) berasal dari bumi Indonesia, bukan berasal dari India. Kenapa demikian, di India tidak ada kata-kata “SANG”. Bahkan jika berbasis kata SANG, justru sebenarnya lebih dekat ke China. Contohnya Chiang Kai Sek, dimana Chiang oleh bangsa China dibaca “Sang”. Tak boleh dipungkiri, “Sang” itu sesungguhnya bahasa asli Indonesia dulu, yakni bahasa Saka.
Huruf-huruf yang dipakai di era Ratu Boko adalah “SANGSEKERTA”. Ya. KERTA itu artinya “empat”, sedangkan SANG asal kata dari wangsa (bangsa). Jadi sansekerta itu maksudnya adalah Empat Bangsa, yang meliputi antara lain:
Pertama, bangsa China meliputi selain China itu sendiri, Vietnam, Laos dan juga Kamboja. Mereka dikenal sebagai bangsa “Chin”. Kedua, Birma hingga Thailand terkenal dengan sebutan bangsa “Thai”. Ketiga, Madagaskar, Srilangka, India dan seterusnya hingga Mesir terkenal dengan sebutan bangsa Afrika. Dan terakhir (keempat), Jawa, Sumatera, Papua sampai kepulauan Polinesia dan Hawai yang dikenal dengan sebutan Bani Jawa.
Dari keterangan diatas maka jelaslah bahwa Sansekerta sangat kuat pengaruhnya di wilayah Srilangka maupun India hingga saat ini. Dari keempat bangsa tersebut, penguasa yang terkenal ialah Ratu Boko. Dan jika keempat unsur bangsa itu digabungkan menjadi satu, maka timbullah istilah NUSANTARA atau Nuswantoro. Ya. Nusa artinya pulau dan Antara artinya jarak. Maka makna NUSANTARA ialah bangsa yang hidup di pulau-pulau yang tersebar mulai dari kepulauan Polinesia di ujung timur hingga wilayah Madagaskar atau Afrika.
Era Kahuripan
Dari masa Medang Kamulyan lalu berganti ke era Bangsa Kahuripan. Kahuripan itu artinya Kehidupan. Yang ditengarai dengan raja yang terkenal yaitu Hayam Wuruk (Brawijaya III) yang juga dikenal dengan sebutan JUMADIL KUBRO sebagaimana makamnya di Troyolo, Trowulan, Mojokerto. Maksud dari kata Jumadil adalah Jum’ah atau juma’at yang artinya berkumpul (bersatu) dan Kubro yang artinya Besar. Jadi Jumadil Kubro makna tersiratnya adalah “berkumpulnya sesuatu yang besar”. Atau istilah Sansekerta disebut SUMPAH PALAPA.
Agaknya dengan Sumpah Palapa, Hayam Wuruk berhasrat membangun kembali kerajaan (nusantara)-nya sebagaimana dulu pernah gemilang di Era Medang Kamulyan. Ia ingin menyatukan Nuswantoro yang telah tercerai berai menjadi beberapa kerajaan atau wilayah kecil. Dan patihnya yang melegenda saat itu adalah Gajah Mada. Hal yang tidak tercatat (dihilangkan?) oleh sejarah modern adalah guratan (ukiran) pada batu “Sumpah Palapa”-nya Gajah Mada ternyata berlafadzkan Laa Ilaha Illallah, artinya Tiada Tuhan kecuali Allah.
Terimakasih
M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?

Menikmati Lukisan di Dinding Gua Zaman Es

Gua berisi lukisan dinding binatang pada zaman es dibuka untuk umum.
lukisan dinding gua zaman es,spanyolGua yang ditutup pada 12 tahun lalu untuk melindungi lukisan dari kerusakan mikrobiologi.
Untuk pertama kali dalam dua belas tahun terakhir, gua berisi lukisan dinding bison, kerbau dan binatang lain di Spanyol dibuka untuk umum.

Lima warga lanjut usia Spanyol yang dipilih melalui undian dapat melihat lukisan binatang-binatang yang dibuat pada zaman es di dalam gua tersebut.

Kunjungan ini hanya berlangsung setengah jam dan pengunjung hanya dapat menikmati lukisan selama delapan menit.

Gua itu ditutup pada 2002 untuk melindungi lukisan dari kerusakan mikrobiologi. Lukisan-lukisan dinding itu rusak akibat nafas pengunjung.

Tempat ini disebut Kapel Sistine di Gua Seni, kata wartawan BBC di Spanyol, Tom Burridge.

Lukisan yang berusia 22.000 tahun itu ditemukan tahun 1876 oleh arkeolog setempat dan putrinya. Lebih dari 20 tahun sejak itu, lukisan itu disebut palsu.

Dalam 12 tahun terakhir, para pengunjung hanya dapat melihat replika lukisan di museum yang terletak tak jauh dari gua.
( bbc.co.uk/indonesia)

Kisah Dua Baluarti Di Kota Dua Puluh Pulau

Kota ini pernah memiliki benteng kembar. Perseteruan keluarga telah melenyapkan salah satunya.
kuto besak,benteng,palembang,sumatra selatanPintu gerbang utama Benteng Kuto Besak sekitar 1930-an. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)
kuto besak,benteng,palembang,sumatra selatanPintu gerbang utama Benteng Kuto Besak, kini. (Mahandis Y. Thamrin)
Dua kubu pertahanan itu ibarat kakak dan adik yang berdiri di tepian sungai, di kawasan yang pernah dijuluki “De Stad der Twintig Eilanden”—Kota Dua Puluh Pulau. Keduanya memang dibangun di hamparan kawasan yang dialiri 117 sungai.

Di tepian Sungai Musi, satu kubu didirikan oleh Sultan Mahmud Badaruddin I pada 1737, kelak benteng keraton ini dikenal dengan nama “Kuto Lama”. Sementara, cucunya yang bernama Sultan Mahmud Bahauddin, mulai membangun benteng keraton yang kelak disebut sebagai “Kuto Besak” tepat disebelahnya pada 1780. 

Luas Kuto Lama kira-kira setengah dari Kuto Besak. Mereka hanya dipisahkan oleh selajur jalan menuju masjid lama—Masjid Agung Palembang.

William Marsden, seorang pegawai East India Company, mencatat kesannya tentang Kuto Lama. Saat dia berkunjung tampaknya Kuto Besak belum rampung.

“Istana itu luas, tinggi, dan memiliki banyak ornamen di dinding luar,” demikian tulis Marsden dalam History of Sumatra. “Di sebelah tembok istana ini ada dua buah benteng yang kuat berbentuk bujur sangkar.”

Kemudian, Marsden melanjutkan, “Di antara kedua benteng terdapat lapangan. Di ujung lapangan terdapat balairung, tempat sultan menerima tetamu resmi. Balairung itu berupa gedung biasa yang terkadang dipakai untuk gudang.”
kuto besak,benteng,palembang,sumatra selatanPintu gerbang utama Benteng Kuto Besak awal 1900-an, sebelum dibongkar. (Wikimedia Commons/Tropenmuseum)
William Thorn, seorang serdadu Kerajaan Inggris, membuat sketsa peta jantung Kota Palembang pada 1812: Denah detail Keraton Kesultanan Palembang. Thorn melengkapi sketsa denah itu dengan empat bastion dan fungsi berbagai bangunan di dalamnya—juga posisi kampung Cina. Pertahanan itu diperkuat dengan 242 moncong meriam.

“Kota itu dilintasi beberapa sungai kecil yang membentuk sejumlah pulau-pulau, sekitar duapuluhan atau tigapuluhan,” ungkap Thorn. “Sehingga lokasi itu dijuluki sebagai ‘Kota Dua Puluh Pulau.’”

Thorn masih menyaksikan dua benteng kembar tadi—meskipun dia tidak menyebut dengan istilah lokal. Dia mencatat, “Rumah Sultan dan Pangeran Ratu berada di area persegi, dikelilingi tembok bata yang tebal dan tinggi. Tiap istana berisi bangunan-bangunan paviliun yang terpisah, memiliki sebagian lahan untuk pohon buah-buahan dan tanaman hias.”
kuto besak,benteng,palembang,sumatra selatanRemah-remah kejayaan Benteng Kuto Besak. Kini, Benteng Kuto Besak digunakan sebagai Kantor Kesehatan Komando Daerah Militer II/Sriwijaya, rumah sakit, dan permukiman warga nan padat. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Kapan Benteng Kuto Lama lenyap?

Djohan Hanafiah, seorang warga Palembang yang menulis buku Kuto Besak, Upaya Kesultanan Palembang Menegakkan Kemerdekaan; mengungkapkan tentang perseteruan dua benteng kembar Palembang.

Pada akhirnya kedua keraton ini bagaikan air dan minyak, demikian ungkap Djohan. “Pada saat Kuto Besak memancangkan bendera Kesultanan Palembang,” tulisnya, “maka Kuto Lama mengibarkan bendera Inggris.”

Perseteruan keluarga itu masih berlanjut tatkala serdadu Hindia Belanda di bawah komando Hendrik Merkus Baron de Kock menyerang pada 1821. Ekspedisi militer itu diakhiri dengan tertangkapnya Sultan Mahmud Badaruddin II dan dia diasingkan ke Ternate.
kuto besak,benteng,palembang,sumatra selatanPintu gerbang Benteng Kuto Besak sayap kanan (barat). Bangunan ini dibangun selama 17 tahun pada masa Sultan Mahmud Bahauddin. Keraton dan benteng diresmikan pada 1797. (Mahandis Y. Thamrin/NGI)

Lalu, De Kock melantik penerus selanjutnya, Prabu Anom menjadi Sultan Ahmad Najamuddin IV dan ayahnya, Husin Djauddin, sebagai Susuhunan. Sejak peristiwa itu benteng di kuasai Belanda dan “Kuto Lama dibongkar habis sampai pada fondasinya,” tulis Djohan.

Sang adik yang berbadan lebih besar, Benteng Kuto Besak, kini digunakan sebagai Kantor Kesehatan Komando Daerah Militer II/Sriwijaya, rumah sakit, dan permukiman warga nan padat. Pada awal 2014, Pemerintah Provinsi Sumatra Selatan berencana merevitalisasi penanda peradaban ini untuk Pusat Kebudayaan Palembang.

Semoga benteng ini menemukan kejayaannya kembali sebagai pencerah sejarah dan budaya di kota yang juga pernah bergelar “Indische Venetie” (Venesia dari Hindia) dan “De Stad des Vredes” (Kota Damai)—Palembang Darussalam.
(Mahandis Y. Thamrin/NGI)