Senin, 22 Desember 2014

Kalah, Tertantang, dan Kemudian Menang

Kalah, Tertantang, dan Kemudian Menang Kekalahan kaum Muslimin dalam Perang Salib terus berjatuhan ke tangan lawan hingga Granada, kerajaan Muslim yang terakhir di Andalusia, jatuh pada tahun 1492
KALAH dan menang merupakan hal yang biasa terjadi dalam perjalanan sebuah ummat. Tak selamanya suatu ummat mengalami kemenangan dalam perjalanan sejarahnya, dan tak selamanya juga ia mengalami kekalahan. Jika suatu bangsa atau ummat terus menerus menang, maka kita tidak akan pernah menyaksikan terjadinya pergantian kepemimpinan bangsa-bangsa di dalam sejarah. Dan kalau sebuah ummat atau bangsa terus menerus kalah, maka sudah tentu ia tidak akan mampu muncul sebagai sebuah ummat, karena ia telah kalah dan hancur sejak awal kelahirannya. Terjadinya pergantian menang dan kalah ini telah diisyaratkan di dalam al-Qur’an:
إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ الْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُ وَتِلْكَ الأيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ وَلِيَعْلَمَ اللّهُ الَّذِينَ آمَنُواْ وَيَتَّخِذَ مِنكُمْ شُهَدَاء وَاللّهُ لاَ يُحِبُّ الظَّالِمِينَ
“Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran). dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada’ . Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim. “ (QS ali Imron (3): 140)
Silih bergantinya menang dan kalah semestinya menjadi pelajaran berharga bagi suatu ummat atau bangsa. Kemenangan tidak semestinya menjadikan mereka sombong, lupa diri, dan hilang kewaspadaan. Walaupun kemenangan itu menggembirakan, tidak tertutup kemungkinan suatu saat ia akan berbalik menjadi kekalahan.
Demikian juga, kekalahan tidak semestinya menjadikan suatu ummat lemah atau kehilangan optimisme. Karena boleh jadi, kekalahan itu suatu saat akan berganti menjadi kemenangan. Yang penting adalah bagaimana menjadikan kekalahan itu sebagai tantangan untuk bangkit kembali dan akhirnya menang.
Andalusia: kemenangan yang berganti menjadi kekalahan
Kemenangan yang cepat dan spektakuler, ternyata bisa juga berubah menjadi kekalahan, walaupun kekalahan itu merayap secara perlahan-lahan sebelum akhirnya menjadikan si pemenang takluk sepenuhnya. Ini yang pernah terjadi pada peradaban Islam di Andalusia. Kita mengetahui bahwa kaum Muslimin menang dengan cepat dalam proses penaklukkan Spanyol. Tariq bin Ziyad menyeberang Selat Gibraltar pada tahun 92 H yang bertepatan dengan tahun 711 Masehi. Proses penaklukkannya berlangsung cepat, karena Kerajaan Visigoth di Spanyol pada masa itu sudah mengalami banyak kemunduran. Sebagian penduduk Spanyol justru melihat kedatangan pasukan Tariq sebagai pembebas, bukan sebagai penjajah. Hanya dalam waktu dua atau tiga tahun, hampir seluruh wilayah Spanyol jatuh ke tangan kaum Muslimin. Spanyol kemudian dikenal sebagai Andalusia oleh kaum Muslimin dan pada wilayah ini berkembang peradaban Islam yang cukup penting untuk waktu yang panjang, yaitu selama hampir delapan abad.
Kemenangan Tariq bin Ziyad, yang didukung juga oleh atasannya Musa bin Nusayr, merupakan sebuah kemenangan yang cepat dan gemilang. Walaupun pada awalnya keadaan tidak stabil, tetapi sekitar setengah abad kemudian berkembang peradaban Islam yang sangat penting di wilayah ini. Perkembangan pesat ini terutama berlaku setelah terbentuknya kerajaan Bani Umayyah dengan masuknya Abdurrahman al-Dakhil ke Andalusia, setelah Dinasti Umayyah di Damaskus runtuh dan digantikan oleh Dinasti Abbasiyah.
Saat melihat kemenangan dan kejayaan Andalusia, mungkin tidak ada yang pernah berpikir tentang kemungkinan terjadinya kekalahan. Karena peradaban Andalusia sangat kuat, maju, dan indah. Ilmu pengetahuan berkembang dengan sangat pesat. Tetapi kenyataan menunjukkan hal yang berbeda. Mereka pada akhirnya berada di pihak yang kalah oleh kerajaan-kerajaan Kristen di Spanyol utara yang tumbuh membesar secara perlahan dan belakangan mampu menaklukkan wilayah Muslim sedikit demi sedikit hingga yang terakhir ini semakin terdesak ke selatan.
Bagaimana kaum Muslimin yang menang gemilang pada akhirnya justru mengalami kekalahan dan penaklukkan kembali (reconquista) oleh lawannya? Ternyata hal ini memiliki sejarah yang panjang, bahkan sejak awal kemenangan kaum Muslimin sendiri. Ketika kaum Muslimin menaklukkan Andalusia pada tahun 711-714 Masehi, ada sekelompok kecil sisa-sisa pasukan Visigoth yang melarikan diri ke sebuah dataran tinggi di bagian utara Andalusia, dipimpin oleh seorang bernama Pelayo. Mereka bersembunyi di dataran tinggi, sementara pasukan Muslim berjaga-jaga di bawah. Mereka bertahan tanpa makanan dan minuman, hanya sekedar dari apa yang bisa mereka dapatkan dari lingkungan di sekitar mereka. Mereka kelaparan dan jumlah yang mampu bertahan menjadi tinggal tiga puluh hingga empat puluh orang saja.
Pasukan Muslim yang berjaga di bawah akhirnya memutuskan untuk meninggalkan mereka, karena orang-orang ini dianggap sudah tidak lagi mempunyai kekuatan. Tetapi Pelayo dan pasukannya yang kecil dan lemah ini ternyata perlahan-lahan mampu bangkit dan nantinya mendirikan Kerajaan Asturias di utara Andalusia. Beberapa abad kemudian, orang-orang Kristen di Utara semakin kuat, dapat membentuk beberapa kerajaan, dan perlahan-lahan mulai merebut kembali wilayah-wilayah Muslim di Selatan. Pada tahun 1085, kerajaan Kristen di utara berhasil merebut kota Toledo. Pada tahun 1236, giliran kota Cordova yang jatuh ke tangan pasukan Kristen, padahal dulunya Cordova merupakan pusat pemerintahan Islam di Andalusia. Tentang jatuhnya wilayah-wilayah Muslim ini, al-Maqqari (1984), seorang sejarawan, mengutip perkataan seorang ulama Andalusia:
Situasi di mana kaum Muslimin pada hari itu mengepung gunung serta beberapa manusia terpojok yang melarikan diri ke atasnya, terbukti di belakang hari sebagai sebab utama dari sejumlah penaklukkan di mana generasi keturunan Pelayo berhasil melakukan penaklukkan atas wilayah-wilayah Muslim yang keadaannya semakin meningkat pada tahun-tahun belakangan ini, yaitu bahwa musuh Allah tersebut telah mereduksi banyak kota yang ramai penduduknya; dan, pada saat saya menulis sekarang ini, kota Cordova yang agung … telah jatuh ke tangan orang-orang kafir itu. Semoga Allah menundukkan mereka!
Sebenarnya, Pelayo bukanlah satu-satunya faktor yang mengantarkan pada kekalahan Muslim di Andalusia. Masalahnya ada di kaum Muslimin sendiri yang belakangan mengalami perpecahan dan sibuk dengan kekayaan duniawi. Kalaupun Pelayo dan pasukannya ketika itu berhasil dikalahkan, mungkin akan tetap ada ’Pelayo-Pelayo’ lain yang mengancam keberadaan mereka.
Kekalahan kaum Muslimin masih belum berakhir sampai di situ. Wilayah mereka terus berjatuhan ke tangan lawan hingga Granada, kerajaan Muslim yang terakhir di Andalusia, jatuh pada tahun 1492. Bersama dengan dikuasainya negeri tempat keberadaan istana Alhambra itu, kemenangan dan kejayaan gemilang kaum Muslimin Andalusia menjadi hilang tak berbekas. Kemenangan berbalik menjadi kekalahan. Dan hal itu disebabkan karena mereka mengingkari nikmat-nikmat yang telah mereka terima sebelumnya. Hal ini seperti yang disebutkan al-Qur’an:
وَضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً قَرْيَةً كَانَتْ آمِنَةً مُّطْمَئِنَّةً يَأْتِيهَا رِزْقُهَا رَغَداً مِّن كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِأَنْعُمِ اللّهِ فَأَذَاقَهَا اللّهُ لِبَاسَ الْجُوعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُواْ يَصْنَعُونَ
”Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari ni’mat-ni’mat Allah. karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS an Nahl (16): 112).*

Kekalahan yang diikuti dengan kemenangan pada peristiwa Perang Salib

Bagaimanapun, bukan hanya kemenangan yang bisa berakhir dengan kekalahan. Kekalahan juga bisa disikapi dan dikelola dengan baik sehingga akhirnya berbalik menjadi kemenangan. Hal ini bisa kita lihat pada peristiwa Perang Salib.

Perang Salib I dimulai dengan seruan Paus Urbanus II pada sidang gereja di Clermont, Prancis. Seruan ini pada asalnya merupakan tanggapan positif gereja Katholik atas permintaan bantuan dari Byzantium untuk menghadapi pasukan-pasukan Turki Saljuk yang mengganggu wilayahnya. Namun isu ini kemudian dikembangkan dan diarahkan oleh Paus untuk merebut kota al-Quds atau Yerusalem. Paus tentu mempunyai pertimbangan pribadi saat menyampaikan seruannya. Gereja Katholik ketika itu sedang banyak masalah: perselisihan gereja dengan kaisar Jerman (Holy Roman Empire), adanya paus tandingan (anti-pope), perpecahan Katholik dengan Kristen Orthodoks yang berpusat di Byzantium, ditambah lagi dengan berbagai masalah sosial di Prancis dan beberapa negara Eropa Barat lainnya. Penguasaan Yerusalem, yang mereka yakini sebagai tempat disalibnya Yesus tentu akan menjadi prestasi yang menonjol dan meningkatkan pengaruh gereja Katholik di Eropa (Paine, 2005: 32).

Orang-orang yang hadir menyambut seruan Paus itu dengan penuh semangat. Sepanjang khutbah Paus Urbanus II mereka berseru, ”Deus Vult! Deus Vult! (Tuhan menghendakinya! Tuhan menghendakinya!) (Cole, 1991: 1-2). Setelah itu, beberapa pendeta mengkhususkan diri untuk menyebarluaskan seruan Paus kepada masyarakat. Manusia kemudian berbondong-bondong datang untuk menyertai Perang Salib yang pertama (1095-1099). Kata Edward Gibbon, seorang Sejarawan Inggris abad ke-18, khutbah Paus itu telah ”menyentuh syaraf perasaan (Eropa) yang paling halus” dan mendorong mereka untuk menyambutnya dengan penuh semangat.

Terjadinya pasukan Salib I bertepatan dengan keadaan kekhalifahan Abbasiyah yang sedang mengalami perpecahan. Pemerintahan di kekhalifahan Abbasiyah ketika itu dipimpin oleh orang-orang Turki Saljuk. Ketika pemimpin tertingginya meninggal dunia pada tahun 1092, keadaan menjadi tidak stabil dan para emir saling memperebutkan wilayah dan memperjuangkan kepentingannya sendiri-sendiri. Perpecahan ini membuka jalan bagi pasukan Salib untuk masuk ke wilayah Muslim di Asia Minor, Suriah dan Palestina dan menguasai beberapa kota. Kota Nicaea (Iznik) jatuh pada tahun 1097, Antioch (Antakya) pada tahun 1098, dan Yerusalem (al-Quds) pada tahun 1099. Beberapa kota Muslim lainnya juga jatuh ke tangan pasukan Salib pada tahun-tahun tersebut. Selama puluhan tahun berikutnya, tidak ada satu pun kekuatan di dunia Islam yang mampu membebaskan kota-kota tersebut dan menghadapi pasukan Salib secara efektif.

Kaum Muslimin mengalami kekalahan yang telak. Kekalahan itu bukan disebabkan oleh musuh yang sangat hebat, tetapi lebih disebabkan oleh kelemahan yang menimpa kaum Muslimin. Mereka terkena penyakit cinta dunia dan jatuh dalam perpecahan dan permusuhan di antara sesama mereka. ”Para penguasa semuanya dalam keadaan berselisih …,” kata Ibn al-Athir (2006: 22), ”dan demikianlah orang-orang Frank menaklukkan negeri-negeri (Muslim).” Dr. Majid Irsan al-Kilani (2007: 49) memberikan gambaran yang lebih lengkap tentang kemunduran dan kelemahan kaum Muslimin pada masa itu, termasuk para ulamanya:

“Mereka menjalani rutinitas harian tanpa arahan yang benar, standar nilai Islam lenyap dari panggung kehidupan nyata, sedangkan nafsu dan syahwat merajalela. Pengaruh-pengaruh negatif terasa begitu kental dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan kemiliteran. Bidang-bidang tersebut hancur, fundamen internal masyarakat rapuh dan daya tahannya lemah serta rentan terhadap segala macam krisis dan keterpurukan.”

Keadaan ini menyebabkan mereka kalah, walaupun sebenarnya jumlah mereka lebih banyak dibandingkan musuh dan peradaban mereka jauh lebih maju. Untungnya keadaan ini tidak berlangsung terus menerus. Belakangan ada beberapa ulama yang berupaya sungguh-sungguh untuk memperbaiki keadaan ummat. Mereka memahami bahwa semua kekalahan itu adalah disebabkan oleh masalah internal kaum Muslimin. Maka mereka pun berusaha memperbaiki kondisi internal kaum Muslimin, khususnya memperbaiki barisan ulamanya agar menjadi ulama yang lurus dan mampu menerangi ummat (Al-Kilani, 2007).

Kemudian muncul juga seorang peminpin yang shaleh di Suriah, yaitu Nuruddin Zanki, sehingga semakin menyempurnakan perjuangan kaum Muslimin dalam menghadapi pasukan Salib. Nuruddin Zanki menjadi sultan menggantikan ayahnya pada tahun 1146, hampir bersamaan dengan terjadinya Perang Salib II (1147-1148). Pada Perang Salib II inilah mulai terlihat perubahan signifikan di dunia Islam, dan juga di kalangan orang-orang Frank (Prancis) dan Kristen pada umumnya. Dalam menghadapi gelombang kedatangan pasukan Salib yang baru ini, para pemimpin Muslim di Suriah mulai berupaya untuk menjalin kerja sama. Ketika pasukan Salib menjadikan Damaskus sebagai target serangan, emir Damaskus mengirim surat permintaan bantuan kepada Nuruddin Zanki di Aleppo dan kakaknya yang memerintah di Mosul. Keduanya segera menyambut permintaan bantuan itu.

Sebaliknya, orang-orang Kristen justru mulai mengalami perpecahan. Kaisar Byzantium mengijinkan pasukan Prancis dan Jerman melewati wilayahnya dan memfasilitasi mereka untuk menyeberang ke Asia Minor, tetapi tampaknya diam-diam memberikan informasi kepada orang-orang Turki Saljuk di wilayah itu untuk menghadang pasukan dari Prancis dan Jerman ini. Orang-orang Eropa yang baru datang itu juga belakangan mengalami perselisihan dengan orang-orang Frank yang telah lama berada di Palestina. Semua itu menyebabkan pasukan Salib mengalami kekalahan dan pasukan Salib II itu terpaksa kembali ke negerinya masing-masing dengan tangan hampa (Alatas, 2012: 286-292). Steven Runciman (1987: 288), seorang sejarawan yang menulis tentang sejarah Perang Salib mengomentari Perang Salib II dengan kata-kata berikut:

”Tidak ada usaha (enterprise) abad pertengahan yang dimulai dengan harapan yang begitu baiknya. Direncanakan oleh Paus, dikhotbahkan dan diinspirasikan oleh Santo Bernard, dan dipimpin oleh dua raja utama Eropa Barat, ia menjanjikan begitu banyak kejayaan dan keselamatan bagi dunia Kristen. Namun ketika ia sampai pada akhir yang begitu memalukan berupa penarikan pasukan dari Damaskus, semua yang berhasil dicapainya adalah memperburuk hubungan antara orang-orang Kristen di (Eropa) Barat dan orang-orang Byzantium hingga ke titik yang paling serius, menaburkan kecurigaan di antara tentara-tentara Salib yang baru datang dengan orang-orang Frank yang menetap di Suriah, memisahkan para bangsawan Frank di antara sesama mereka, menarik kaum Muslimin untuk saling mendekat dan bersatu, dan menghancurkan reputasi orang-orang Frank dalam hal kecakapan militer.”

Pada perang-perang Salib berikutnya kaum Muslimin juga mampu menahan serangan pasukan Salib. Menjelang Perang Salib III, Shalahuddin yang menggantikan Nuruddin Zanki yang meninggal dunia pada tahun 1174 berhasil membebaskan al-Quds. Pasukan Salib tidak pernah lagi mampu merebut kota al-Quds sejak saat itu.

Kaum Muslimin memang kalah pada Perang Salib I. Tetapi para ulama dan pemimpinnya dapat merespon kekalahan itu dengan baik dan berjuang untuk mengubah keadaan internal kaum Muslimin sehingga mereka akhirnya mampu menghadapi lawan dan membebaskan kembali kota-kota di Palestina dan Suriah.

Kaum Muslimin pada hari ini juga sedang mengalami kekalahan. Mereka telah dikalahkan sejak lama. Mampukah para ulama dan pemimpinnya untuk bangkit memperbaiki ummat sehingga suatu saat nanti mereka dapat mengubah kekalahan menjadi kemenangan? Semoga saja.*/Jakarta, 3 Safar 1434/ 17 Desember 2012

Daftar Pustaka

Alatas, Alwi. Nuruddin Zanki dan Perang Salib. Jakarta: Zikrul Hakim. 2012.

Ibn al-Athir. The Chronicle of Ibn al-Athīr for the Crusading Period from al-Kāmil fi’l-ta’rīkh, part 1, The

Years 491-541/ 1097-1146, The Coming of the Franks and the Muslim Response (terjemahan oleh D.S. Richards). Aldershot: Ashgate. 2006.

Gibbon, Edward. History of the Decline And Fall of the Roman Empire, vol. 5. e-text edition by David Reed.

Al-Kilani, Dr. Majid ‘Irsan. Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib (terjemahan dari Hakadza Zhahara Jil Salah al-Din wa Hakadza ‘Adat al-Quds). Bekasi: Kalam Aulia Mediatama. 2007.

Al-Maqqari, Ahmed ibn Muhammed. 1984. The History of the Mohammedan Dynasties in Spain, extracted from the Nafhu-t-Tib min Ghosni-l-Andalusi-r-Rattib wa Tarikh Lisanu-d-din Ibni-l-Khattib, vol. I & II, translated and ilustrated with critical notes by Pascual de Gayangos. Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delhi.

Paine, Michael. The Crusades. Harpenden: Pocket Essentials. 2005.

Runciman, Steven. A History of the Crusades, 2: The Kingdom of Jerusalem. Cambridge: Cambridge University Press. 1987.
* Alwi Alatas Penulis adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM yang juga penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar