Kamis, 25 Desember 2014

Syafruddin dan “Begajul Belanda”

Syafruddin dan “Begajul Belanda”

Syafruddin pernah menyebut Prof. Eggens sebagai begajul Belanda yang bodoh


Een Holandsche Kwajongen, kurang lebih artinya “Begajul Belanda“. Een Holandsche Kwajongen adalah artikel dalam Bahasa Belanda yang ditulis Syafruddin Prawiranegara di Majalah USI (Unitas tudiosorum Indoneesiensis/Perhimpunan Mahasiswa Indonesia). Tokoh yang disebut “begajul” oleh Syafruddin Prawiranegara adalah Profesor Eggens, seorang guru besar bidang Hukum yang baru saja datang dari Belanda.

Pada suatu hari, dalam kuliah Prof. Eggens mengatakan bahwa Bahasa Indonesia tidak mugkin menjadi bahasa Ilmu, karena merupakan bahasa primitif. Ucapan tersebut, rupanya menyinggung perasaan Syafruddin, walaupun ia sendiri lebih banyak berbicara bahasa Belanda dan Sunda daripada Bahasa Indonesia yang saat itu masih umum disebut Bahasa Melayu. Pendapat tersebut menurut Syafruddin tidak layak keluar dari mulut seorang guru besar yang seharusnya lebih santun dan bijaksana.

Apalagi Prof. Eggens baru saja datang dari Belanda dan belum mempelajari Bahasa Indonesia secara mendalam. Padahal menurut Syafruddin, Bahasa Indonesia mempunyai unsur-unsur kemungkinan yang cukup untuk berkembang sebagai bahasa ilmiah. Sebagai balasan, Syafruddin pun memaparkan bahwa dahulunya pun, Bahasa Belanda bukanlah bahasa yang dipakai di perguruan-perguruan tinggi, dalam arti tidak dipakai sebagai bahasa ilmu. Yang dipakai mula-mula adalah Bahasa Latin, kemudian Bahasa Perancis. Baru pada abad kesembilan belas Bahasa Belanda mulai muncul sebagai bahasa ilmu.

Kontan artikel yang ditulis Syafruddin itu menggegerkan, sebab menyebut Prof. Eggens sebagai begajul Belanda yang bodoh. Oleh Senat Fakultas (Dewan Guru Besar) melalui ketuanya, Prof. Zeylemaker, Syafruddin disuruh meminta maaf pada Prof. Eggens. Tetapi Syafruddin menolak dengan keterangan bahwa dia baru meminta maaf, kalau Prof. Eggens meminta maaf terlebih dahulu kepada Bangsa Indonesia umumnya, dan kepada mahasiswa-mahasiswa Indonesia pada khususnya, atas keterangannya yang tidak arif, tidak ilmiah dan merupakan penghinaan bagi akal dan kreatifitas bangsa Indonesia. Senat tidak memberi reaksi lebih lanjut, sehingga dengan demikian soalnya dianggap selesai.

Mewarisi Ketegasan Sang Ayah

Watak tegas Syafruddin dalam menghadapi ketidakbenaran adalah warisan genetik dari ayahnya, Raden Arsjad, seorang pegawai pamong praja berpangkat camat di Kecamatan Anyar Kidul. Saat itu, apabila ada seorang pejabat Belanda datang, maka aturan baku yang diharuskan pamong praja dari kalangan pribumi adalah berbicara dalam Bahasa Sunda halus dalam memberikan laporan, kemudian duduk bersila di lantai, sedangkan pejabat Belanda tersebut duduk di kursi.

Raden Arsjad tidak menyukai kultur tersebut, hingga akhirnya, ketika ada seorang kontrolir Belanda yang melakukan inspeksi ke kantornya, Raden Arsjad yang waktu itu baru saja membeli alat pemotret, memilih duduk di kursi sejajar dengan kontrolir Belanda tersebut.

Ketika sang kontrolir tersebut bertanya pada raden Arsjad dengan Bahasa Sunda pasaran, Raden Arsjad menjawabnya dengan Bahasa Belanda. Kontan Sang Kontrolir mendelik dan mengatakan bahwa Camat Arsjad bertindak tidak sopan. Raden Arsjad balik bertanya, mengapa ia disebut tidak sopan ? Sang kontrolir tersebut menjawab, karena Raden Arsjad memiliki alat pemotret dan tidak menjawab dalam bahasa Sunda tapi menggunakan Bahasa Belanda, disamping cara duduk tentunya. Kontan Raden Arsjad naik pitam.

“Mengapa memiliki alat pemotret yang dibeli sendiri dianggap tidak sopan? Dan mengapa berbicara dalam Bahasa Belanda disebut kurang ajar? Saya di sekolah disuruh mempelajari bahasa itu. Kalau tidak boleh dipergunakan, lantas buat apa harus mempelajarinya bertahun-tahun?,” amarahnya itu disemburkan dalam Bahasa Sunda.

Jawaban tersebut menyebabkan sang kontrolir makin murka, hingga mengeluarkan cercaan dan makian yang tidak pantas dalam Bahasa Belanda.

Bukannya takut, Camat Arsjad malah makin berani, dipegangnya kerah baju sang Kontrolir yang lebih tinggi itu, dan ditariknya dengan keras. Sang Kontrolir sangat terkejut, dan tidak menyangka akan mendapat perlakuan sekasar itu dari seorang pribumi. Belum lagi hilang keterkejutannya, datanglah tinju secara bertubi-tubi dari camat Arsjad kemukanya. Sang kontrolir pun berusaha melepaskan diri dan segera keluar ruangan untuk kembali ke posnya di Anyar.

Akibat peristiwa ini, camat Arsjad pun diturunkan pangkatnya. Dan dalam perjalanan karirnya, Raden Arsjad memang berkali-kali mengalami pemindahan tugas.

Dalam perjalanan karirnya, ketika Raden Arsjad berhasil menduduki jabatan sebagai Jaksa, ia bergabung dengan Sarekat Islam, suatu hal yang tentu saja tidak disukai Pemerintah Belanda. Sebab dalam kedudukannya sebagai Jaksa, ia harus menyeret setiap usaha pemberontakan atau perlawanan terhadap pemerintah, tidaklah patut kalau terlalu dekat bergaul dengan rakyat yang seharusnya dicurigai, apalagi menjadi pengurus organisasi yang dicurigai hendak memberontak.

Raden Arsjad meninggal pada tanggal 3 Maret 1939, ketika sedang berpidato untuk pemilihan anggota Dewan Provinsi Jawa Timur di Kediri, Pidatonya yang berapi-api itu mendapat sambutan dari rakyat banyak, karena banyak diselipi dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Di pertengahan pidato, tiba-tiba saja ia terjatuh dan menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Diplomasi Melalui Radio

Ketika Jogjakarta jatuh ke tangan Belanda, pemerintahan dialihkan dari Sukarno-Hatta kepada Syafruddin Prawiranegara di Sumatrera Barat.

Hubungan timbal balik antara pimpinan PDRI dengan para pemimpin perjuangan di Jawa dilakukan dengan melalui percakapan radio telefoni dan telegram (radio telegrafi). Melalui radio pula sering terjadi “perang” dengan Belanda.

Radio Belanda sering menyiarkan hal-hal yang merugikan Republik Indonesia. Maka radio-radio gerilya PDRI segera menetralisirnya dengan keterangan yang benar. Pada suatu kali Radio Belanda mengejek PDRI sebagai “Pemerintah Dalam Rimba Indonesia”. Maka Syafruddin segera membalas :

”Kami meskipun dalam rimba, masih tetap di wilayah Republik Indonesia, karena itu kami pemerintahan yang sah. Tapi Belanda pada waktu negerinya diduduki Jerman pemerintahnya mengungsi ke Inggris. Padahal Undang-Undang Dasarnya menyatakan bahwa kedudukan pemerintah haruslah di wilayah kekuasaannya. Apakah Inggris menjadi wilayah kekuasaan Belanda? Yang jelas pemerintah Belanda menjadi tidak sah !”

Perang Diplomasi melalui udara ini mempunyai dampak yang luar biasa. Diiringi dengan diplomasi Internasional yang kuat, simpati dari negara lain mulai berdatangan. Dua hari setelah Belanda menyerang Yogyakarta dan menangkap para pemimpin republik Indonesia, Srilanka menutup pelabuhan udaranya buat kapal-kapal terbang Belanda yang akan pergi atau kembali dari Indonesia. Tindakan ini kemudian diikuti India dan Pakistan. Liga Arab di Kairo mengajukan imbauan kepada Dewan Keamanan PBB supaya Belanda segera menghentikan agresi militernya. Dan Amerika pun menghentikan bantuan kepada Hindia Belanda mulai tanggal 22 Desember 1948.

Arif Wibowo, penulis adalah pemerhati sejarah. Disarikan dari buku “Biografi Syafruddin Prawiranegara”, karya Ajip Rosyidi dan “Lebih Takut Pada Allah SWT”, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar