Senin, 22 Desember 2014

Teungku Cik di Tiro, Kobarkan Semangat Keislaman di Serambi Makkah

Teungku Cik Di Tiro.
Teungku Cik Di Tiro.

Ia menanamkan motivasi keagamaan kepada pasukan perang gerilya.
Membicarakan perjuangan rakyat Aceh melawan penjajah Belanda rasanya tak afdol jika melawatkan sosok Teungku Cik di Tiro.

Namun sesungguhnya, Cik di Tiro tak hanya hadir dalam perlawanan bersenjata untuk membebaskan tanah kelahirannya dari penjajah. Ia juga memainkan peran cukup besar dalam menegakkan Islam di bumi Serambi Makkah.

Teungku Cik di Tiro memiliki nama asli Muhammad Saman. Ia dilahirkan di Dayah Jrueng Kenegerian Cumbok Lamlo, Tiro, Aceh, pada 1836 Masehi atau bertepatan dengan 1251 Hijriah. Nama Teungku Cik di Tiro ini mengandung makna bahwa ia adalah seorang imam atau ulama dari daerah Tiro.

Saman berasal dari keluarga yang taat beragama. Ayahnya bernama Syekh Abdullah—dalam catatan lain ditulis sebagai Syekh Ubaidillah. Sang ayah dikenal sebagai guru agama di Garot, tak jauh dari Sigli. Ibundanya bernama Siti Aisyah. Sang ibu adalah adik dari Teungku Cik Dayah Cut, salah satu ulama terkenal di Tiro.

Saman menghabiskan masa kecilnya dalam lingkungan beragama. Dari ayahnya dan sang paman, Teungku Cik Dayah Cut, Saman memperoleh bekal ilmu agama sejak dini. Sementara, ibunya turut berperan dalam mengajarkan bahasa Arab kepada putranya.

Sejumlah sumber menyebut, Saman tak menjalani pendidikan formal. Namun, ia menimba ilmu agama dengan mendatangi ulama-ulama terkenal di daerahnya. Di antara ulama yang pernah disambanginya adalah Teungku Cik di Yan di Ie Lebeu, Teungku Abdullah Dayah Meunasah Biang, Teungku Cik di Tanjung Bungong, hingga Teungku Cik di Lamkrak.

Selama menyelami agama, Saman muda justru lebih menyukai ilmu-ilmu tasawuf. Salah satu karya tasawuf yang disukainya adalah karangan Imam Ghazali.

Selepas berkeliling mencari ilmu, Saman kembali ke Tiro. Di tempat ini ia membantu sang paman mengajar agama. Teungku Cik Dayah Cut sangat sayang kepada keponakannya itu. Sang paman pun menaruh harapan agar Saman bisa menjadi penerusnya dalam mengajarkan agama.

Untuk melengkapi keilmuannya, Saman muda disarankan pergi ke Tanah Suci. Tekadnya pun bulat. Seperti ritual kaum masa lalu, sebelum pergi haji Saman mengunjungi para gurunya. Namun, setibanya di Lamkrak, keinginannya untuk menunaikan ibadah haji sempat luruh.

Sebab, ketika ia tiba di Lamkrak, guru yang telah mengajarkan ilmu agama kepadanya telah wafat. Di tempat itu ia juga melihat fenomena baru. Para santri ternyata tak hanya mendalami ilmu agama. Setelah belajar di siang hari, pada malam harinya mereka ikut perang gerilya melawan Belanda.

Dari sinilah tekadnya untuk berperang mengusir penjajah Belanda mulai berkobar. Maka, Saman muda sempat ambil bagian dalam perang gerilya. Namun, pamannya di Tiro mengingatkan Saman untuk pergi haji. Akhirnya, Saman pun pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan rukun Islam kelima ini.


Saat menunaikan haji, Saman mendapat banyak pengetahuan. Ia bertemu banyak pemikir Islam dan bergelut dengan kesibukan membaca buku.

Kala itu, ia suka sekali membaca buku-buku mengenai perkembangan dan perjuangan dunia Islam.

Sekembali dari Tanah Suci, Saman tetap mengajar di pesantren. Namun, hati dan pemikirannya terus bergelora untuk mengusir penjajah Belanda dari tanah kelahirannya. Semangat itu pun muncul di saat perlawanan rakyat Aceh mengendur.

Suatu kali, Saman didatangi oleh utusan dari Gunung Biram — sebuah lokasi yang menjadi markas pergerakan gerilya. Para utusan itu meminta agar tokoh agama di Tiro turut mengobarkan semangat berperang melawan Belanda.

Gayung pun bersambut. Kebetulan pula tokoh agama di Tiro adalah Teungku Cik Dayah Cut. Mengingat sang paman sudah tua, akhirnya Saman menyatakan kesediaan untuk ikut angkat senjata.

Pimpin perang gerilya
Ketika mengikrarkan diri menjadi bagian gerilyawan, usia Saman telah menginjak 44 tahun. Pada awalnya, banyak pihak meragukan kemampuan dirinya. Maklum, saat itu mata Saman sudah mulai rabun dan tubuhnya juga semakin tambun. Setelah mendapatkan restu, Saman pun berangkat ke Gunung Biram dan bergabung dengan pasukan gerilya.

Sebagai orang yang ditunjuk sebagai pemimpin, Saman melakukan sejumlah langkah sistematis dalam membangun kekuatan. Selain mengumpulkan orang, ia juga menghubungi sejumlah tokoh ulama di berbagai tempat. Ia ingin perjuangan yang dilakukannya bisa disokong para alim ulama yang akhirnya bisa merekrut lebih banyak orang untuk berjuang.

Salah satu tokoh yang berhasil ia hubungi adalah Panglima Polim. Tokoh ini sudah lama mengasingkan diri dan sulit sekali menerima orang tak dikenal. Namun, Saman berhasil menghubungi Panglima Polim berkat bantuan keluarga Sultan Aceh, Tuanku Mahmud. Bentuk kongkret bantuan Panglima Polim adalah mengirimkan para hulubalang untuk membantu perjuangan Saman.

Setelah kekuatan terkumpul, Saman kemudian membentuk sebuah angkatan perang bernama Angkatan Perang Sabil. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia III disebutkan, Saman menanamkan motivasi keagamaan kepada para personel Angkatan Perang Sabil. Lawan mereka, yakni penjajah Belanda, distempel sebagai kaum kafir.

Inilah cikal bakal yang membuat Belanda mengalami kesulitan. Perlawanan rakyat Aceh bangkit kembali secara sistematis lewat dogma agama yang disemaikan Saman. Dalam laman Wikipedia diuraikan, betapa hebatnya perang yang dikobarkan oleh Saman.

Semasa memimpin perang pada rentang 1881-1891, Belanda harus melakukan empat kali
pergantian gubernur di Aceh.

Mulai dari Abraham Pruijs van der Hoeven hingga Henri Karel Frederik van Teijn. Semasa memimpin perang, Saman dikenal sebagai seorang pemimpin yang tak pernah mau berkompromi dengan pihak Belanda.

Sementara itu, gelar resmi sebagai Teungku Cik di Tiro mulai disandang oleh Saman pada 1887 M. Ia menyandang gelar tersebut setelah sang paman, Teungku Cik Dayah Cut yang tinggal di Tiro, wafat.

Semua ikhtiar dan perjuangan Teungku Cik di Tiro dalam menegakkan Islam di Serambi Makkah berakhir pada Januari 1891 M. Ia wafat setelah makanannya dibubuhi racun oleh seorang wanita suruhan penguasa lokal yang menjadi kaki tangan Belanda.

Teungku Cik di Tiro boleh wafat, namun gelora untuk menegakkan syariat Islam di bumi Aceh tak pernah surut. Bahkan, semangat itu terus bergelora hingga abad berikutnya.

Terinspirasi hikayat Perang Sabil
Tak hanya keteguhan hati dan keberanian yang membuat Teungku Cik di Tiro berhasil melawan penjajah.  Faktor penunjang lainnya adalah inspirasi dari Hikayat Perang Sabil atau Hikayat Prang Sabi.

Hikayat ini berbentuk karya sastra. Pengarangnya adalah Teuku Chik Pante Kulu.  Ia merupakan kawan akrab Teungku Cik di Tiro. Semasa remaja, keduanya pernah sama-sama belajar ilmu agama di Dayah Tiro, yang dipimpin oleh Teungku Cik Muhammad Amin Dayah Cut.

Dalam buku Kebudayaan Aceh dalam Sejarah tertulis bahwa Teuku Cik Pante Kulu ini sangat menggemari karya sastra, terutama dari zaman Nabi Muhammad. Di antara sastrawan yang menjadi rujukannya adalah Hasan bin Sabit, Abdullah bin Malik, dan Kaab bin Zubair. Pemikirannya juga banyak dipengaruhi oleh para pemimpin gerakan pembaru Islam, seperti Muhammad Abdul Wahab dan Said Jamaluddin al Afgani.

Dari referensi pemikiran dan karya sastra di masa Nabi itulah kemudian lahir sebuah karya sastra yang sangat fenomenal pada masa itu, yakni Hikayat Perang Sabil. Hikayat ini, seperti tertulis di dalam buku berjudul Aceh, telah memantapkan langkah para pemuda Aceh dalam berperang melawan Belanda.

Zentgraft, mantan serdadu Belanda yang beralih profesi menjadi wartawan, mengatakan, Hikayat Perang Sabil telah menjadi momok yang sangat ditakuti Belanda. Menurutnya, belum pernah ada karya sastra di dunia yang mampu membakar sisi emosional manusia untuk rela berperang dan siap mati, kecuali Hikayat Perang Sabil.

“Kalaupun ada karya sastrawan Prancis, La Marseillaise, di masa Revolusi Perancis, dan Common Sense di masa perang kemerdekaan Amerika, namun kedua karya sastra itu tidak sebesar pengaruh Hikayat Perang Sabil yang dihasilkan Muhammad Pante Kulu,” tulis Zentgraft sebagaimana dilansir situs www.ikhwanesia.com.


Mohammad Akbar
Redaktur : Chairul Akhmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar