Sabtu, 20 Desember 2014

Sumbangan Al-Qur’an untuk Masa Depan Bangsa Indonesia

Islam masuk ke Indonesia disekitar abad 13 M yang telah dibawa oleh pedagang dan gujarat dari India, Arab, Persia, dan lain-lain. Banyak versi mengenai hal ini. Nah, semenjak itu pula, ajaran Islam beserta kitab sucinya, al-Qur’an, mulai diajarkan. Berkembang, meluas.

Mengingat, Islam hadir sudah satu paket dengan kitab suci al-Qur’an, pun juga hadits Nabi Saw. Maka, kaum agamawan yang datang dari berbagai negara pada waktu itu—istilah jawanya mereka melakukan babad alas—juga melakukan gerakan islamisasi. Sehingga menyebarlah ruh Qur’ani kepada masyarakat Indonesia secara luas, dari sabang sampai merauke. Step by step.

Jamak kita tahu, dari banyaknya keragaman budaya dan etnis di nusantara ini, maka, sistem pengajaran, baik model tafsir dan cara baca al-Qur’an, yang terjadi di berbagai daerah sebagaimana yang pernah penulis jumpai, bermacam-macam bacaannya. Orang Banyumas sangat berbeda dengan orang Sunda dalam hal bacaan, contoh kecilnya ketika melafadzkan huruf ‘ain. Di sisi lain, produk penafsiran oleh ulama’ setempat, telah mempunyai corak dan cara pendekatan tersendiri ketika menyampaikan isi dari al-Qur’an. Hal ini menandakan bahwa kitab suci al-Qur’an yang notabene datang dari bangsa Arab, bisa melebur ke berbagai wilayah (lokus-tempus) yang berbeda. Bisa diterima oleh siapapun.

Jika kita membaca buku Khazanah Tafsir Indonesia (Jakarta: Teraju, 2003), karya Islah Gusmian, kita akan menemukan berbagai macam model penafsiran terhadap al-Qur’an. Mulai dari zaman klasik hingga era modern, bahkan mungkin post modern seperti sekarang. Maka, hemat penulis, sumbangsih terhadap kitab suci al-Qur’an begitu besar terhadap khazanah keilmuwan, khsusunya dibidang tafsir.

Studi tafsir (al-Qur’an) telah banyak menginspirasi masyarakat Indonesia. Nyatanya, tidak hanya produk tafsir saja yang muncul di dalam penulisan sebuah buku. Tetapi buku-buku yang bernuansa pop, lebih-lebih yang mengerucut lagi ke tema agama, tak jarang sang penulis mendapatkan inspirasinya itu dari al-Qur’an.

Inilah yang menjadikan al-Qur’an semakin menarik untuk terus dikaji, ditafsirkan ulang oleh siapapun. Jika tidak, maka kitab suci yang sudah turun pada 14 abad silam itu akan berjejer dimuseum dengan penuh debu. Ini merupakan PR kita bersama. Lebih-lebih kepada sarjana atau akademisi yang membidangi kajian penafsiran (hermeneutika).

Sumbangan Terbesar Al-Qur’an

Membincang al-Qur’an dan bangsa Indonesia. Dalam hal ini penulis ingin mengungkapkan, setidaknya ada tiga hal utama mengenai sumbangan besar yang telah diberikan oleh al-Qur’an untuk masa depan bangsa Indonesia. Bahasa lain orang pesantren adalah; “barokah”. Ya, Barokatul Qur’an. Yang pertama, dengan diajarkannya al-Qur’an di bumi nusantara, telah melahirkan munculnya pondok pesantren atau ma’had. Ma’had atau pondok pesantren ini khusus mengajarkan kepada siswa atau santri untuk menekuni kajian al-Qur’an. Baik bacaan, hafalan, maupun penafsiran. Contoh kongkritnya, pesantren Darul Qur’an yang kini dikembangkan oleh ustadz Yusuf Manshur. Telah mempunyai banyak jebolan santri yang mahir dalam membaca dan menghafalkan al-Qur’an (huffadz).

Hal ini mengindikasikan bahwa semangat untuk menjaga al-Qur’an (kalamullah) oleh umat Islam kian menggelembung. Lebih menariknya, bilamana ada mahasiswa atau lembaga survei yang kemudian melakukan penelitian dengan cara mensensus (mendata) ada berapa ribu jumlah huffadz di Indonesia. Fenomena ini menjadikan al-Qur’an memang benar-benar dijaga oleh Allah Swt, akan kemurnian dan otentisitasnya.

Yang kedua, al-Qur’an menuntut seseorang untuk menjadi mufassir. Sehingga banyak bermunculan penafsir al-Qur’an dari berbagai daerah. Mufasir lokal. Apapun itu, usahanya patut kita hargai dan perlu kita teliti lagi. Mengingat dewasa ini banyak penafsiran yang terkadang malah membuat umat berpecah belah. Memunculkan aroma kebringasan dalam penafsiran, yang katanya merujuk dari kitab suci al-Qur’an. Perbedaan itu pun harus kita sikapi dengan kedewasaan.

Maka sangat wajar kalau al-Qur’an itu shalilh likulli zaman wa makan. Yang mana tidak hanya sekedar dibaca, tetapi juga diamalkan, dan tafsiri. Siapapun, boleh untuk menjamah al-Qur’an. Inilah yang menjadikan al-Qur’an rahmat untuk semesata Alam. Tidak hanya orang Islam yang bisa membaca atau fasih bahasa Arab saja yang boleh menyentuh al-Qur’an. Akan tetapi para outsider dari kalangan Non Muslim, dalam hal ini orientalis Barat misalnya, juga boleh melakukan hal serupa. Menafsirkan Qur’an.

Yang ketiga, menstimulus lahirnya laboratorium sarjana dibidang tafsir. Sudah jelas, munculnya program studi Tafsir Hadits atau yang sekarang diganti dengan Studi Ilmu Tafsir, menandakan kalau permintaan masyarakat kepada generasi mufassir al-Qur’an kian urgen dibutuhkan. Karena, perguruan tinggi lah yang sampai sekarang dianggap mampu menjawab kegalauan umat. Yakni dengan penelitian atau risetnya, dan penemuan-penemuannya. Apalagi menghadapi realitas zaman yang terus mendapatkan tantangan dari modernisasi. Berubah-ubah.

Tak pelak lagi kalau kemudian pengembangan wacana terhadap studi ‘ulum al-Qur’an/’ulum al-Tafsir kian diminiati. Fakta ini diperkuat dengan adanya data tiap tahun dari bidang akademik, yang mana calon mahasiswa lebih memilih jurusan Tafsir Hadits/Studi Ilmu Tafsir, dibanding dengan bidang yang lain, pada Fakultas Ushuluddin. Oleh sebab itu, mahasiswa yang tengah menekuni pada jurusan ini harus bisa memaksimalkan sebaik mungkin. Biar tidak menjadi sarjana tafsir yang gagap ketika dihadapkan dengan umat.

Pada akhirnya, ketiga hal utama itulah yang hemat penulis menunjukkan pengaruh besar sumbangsih al-Qur’an untuk masa depan bangsa Indonesia. Walaupun al-Qur’an diturunkan secara faktual dalam dimensi ruang dan waktu yang berbeda, yang mempunyai latar belakang bangsa Arab—di mana hal itu sangat jauh sekali dengan apa yang terjadi di Indonesia, baik ditilik dari segi sosio kulurtal masyarakat setempat—maka tak syak kalau kemudian al-Qur’an merupakan mukjizat Nabi Saw., yang bisa dinikmati hingga kini. Oleh siapapun, tak kenal sekat agama, ras, suku, dan status sosial seseorang. Karena dibawa Nabi Saw., yang rahmatan lil’alamien. Wa maa arsalnaaka illa rahmatan lil ’Alamien…

M. Autad AN

Tidak ada komentar:

Posting Komentar