Minggu, 21 Desember 2014

Rihlah Ibn Jubair

Rihlah Ibn Jubair

Ibn Jubair tidak sekadar melakukan perjalanan haji dan pelancongan ke beberapa tempat. Tetapi ia mengamati dengan baik tempat-tempat yang dikunjunginya dan menuangkan pengamatan reflektifnya dalam sebuah tulisan yang manfaatnya melampaui zamannya



BANYAK orang yang suka melakukan perjalanan.Mereka mengunjungi tempat-tempat yang menarik untuk tujuan wisata, untuk menambah pengetahuan, untuk berpetualang, atau untuk beribadah.Terlebih pada masa sekarang ini ketika alat transportasi semakin banyak dan semakin murah, sehingga semakin banyak pula yang melakukan perjalanan.Namun sayangnya, tak banyak yang mau bersusah payah membuat sebuah jurnal perjalanan, jurnal yang menuangkan pengalaman dan pengamatan mereka selama melakukan perjalanan tersebut.Padahal jurnal atau catatan semacam itu mungkin bisa menjadi rujukan sejarahpada suatu masa nanti.

Pada masa-masa terdahulu, kita menemukan adanya orang-orang yang melakukan perjalanan (rihlah) dan mencatat berbagai hal yang dialaminya dalam sebuah jurnal.Beberapa dari jurnal perjalanan ini memberi manfaat bagi para sejarawan di masa-masa berikutnya. Karena di dalamnya mereka menemukan banyak informasi yang berguna, baik informasi yang tidak dijumpai pada sumber-sumber lainnya, maupun informasi yang mengonfirmasi ataupun mengkritisi fakta yang diberikan oleh sumber sejarah lain.

Di antara jurnal perjalanan yang cukup dikenal luas dan banyak dirujuk oleh para sejarawan Muslim abad pertengahan, bahkan hingga sekarang ini, adalah catatan perjalanan Ibnu Jubair (w. 1217). Catatan perjalanan ini dikenal dengan nama Rihlah Ibn Jubair.

Sebenarnya tempat yang dikunjungi oleh Ibn Jubair bukanlah sesuatu yang sangat unik jika dibandingkan dengan perjalanan Ibn Fadlan ke Kazan, Tatarstan, di tepian Sungai Volga (kini wilayah Rusia)sekitar dua abad sebelumnya atau perjalanan Ibn Battutah (w. 1368) hingga ke China lebih dari satu abad setelahnya.

Ibn Jubair hanya melakukan perjalanan haji ke Baitullah melalui Mesir. Kemudian setelah haji ia mengunjungi Mesopotamia dan Suriah, sebelum kembali ke negerinya di Andalusia. Tapi sesuatu yang kelihatannya biasa pun bisa menjadi istimewa, tergantung bagaimana seseorang melihat dan menggambarkannya.

Pada masa itu sebenarnya ada banyak orang yang melakukan perjalanan haji atau mengunjungi tempat-tempat yang didatangi oleh Ibn Jubair.Namun catatan perjalanan yang dibuat oleh Ibn Jubair sangat bermanfaat karena ia mencatat berbagai hal yang dilihat dan didengarnya secara detail dan informatif, tanpa mengecilkan atau melebih-lebihkan. Maka catatan perjalanan itu pun menjadi sebuah sumber yang berharga hingga sekarang ini.

Ibn Jubair berasal dari kota Valencia di Andalusia. Menurut Nafis Ahmad dalam bukunya Muslim Contribution to Geography, Ibn Jubair adalah seorang penyair yang cukup masyhur di negerinya. Tetapi belakangan ia dikenal sangat luas karena jurnal perjalanannya saat melakukan ibadah haji yang kemudian ia bukukan itu.

Ibn Jubair melakukan perjalanan sejak awal tahun 1183 hingga tahun 1185 (578-581 H).Waktu yang dilaluinya itu bertepatan dengan masa pemerintahan Shalahuddin al-Ayyubi serta masa-masa menjelang perang Salib III.Hal ini membuat catatan perjalanan Ibn Jubair menjadi sangat menarik bagi para peneliti Perang Salib.

Dalam masa dua tahun perjalanannya, ia mengunjungi beberapa kota di Andalusia, mengarungi Laut Mediterrania, melintasi Mesir mulai dari Aleksandria hingga Aydzab, lalu menyeberangi Laut Merah dan menuju Makkah. Ia menetap agak lama di Makkah, karena tujuan utama perjalanannya adalah untuk melaksanakan haji di kota itu. Setelah itu ia mengunjungi Madinah, lalu meneruskan perjalanan ke Utara hingga menyeberangi sungai Eufrat, mengunjungi Baghdad, Tikrit, Mosul, dan wilayah-wilayah di sekitarnya. Selanjutnya ia masuk ke wilayah Suriah, yaitu Aleppo, Hamah, Homs, hingga ke Damaskus. Akhirnya ia meninggalkan Suriah melalui pelabuhan Acre, menyeberangi Laut Mediterrania, mampir di Sisilia, sebelum pulang ke Andalusia.

Melalui catatan perjalanan Ibn Jubair ini kita mendapatkan banyak informasi yang berharga, seperti sistem imigrasi bagi para pelancong pada masa itu yang kadang kurang adil dan kurang ramah terhadap para pelancong, walaupun sama-sama Muslim. Di Aleksandria, barang-barang para pelancong diperiksa dan dilemparkan dalam satu tumpukan sehingga sulit dicari kembali dan banyak yang hilang.

“Tak ada keraguan bahwa hal ini tersembunyi dari sang Sultan yang agung yang dikenal sebagai Shalahuddin,” tulis Ibn Jubair saat menceritakan kejadian itu. “Jika ia mendengarnya, berdasarkan apa yang telah diketahui berkenaan dengan keadilan dan kecenderungannya pada kesolehan, ia tentu akan mengakhirinya.”

Shalahuddin memang lebih banyak berada di luar Mesir selama masa kepemimpinannya, sehingga banyak hal yang terpaksa ia percayakan pada orang-orang di bawahnya. Bagaimanapun, Ibn Jubair menyatakan bahwa selain apa yang telah disebutkannya itu, tidak ada hal buruk lainnyayang terjadi di wilayahpemerintahan Shalahuddin – kalaupun ada, tidak signifikan untuk disebutkan. Sebaliknya, Ia menceritakan banyaknya keutamaan Shalahuddin serta wakaf-wakafdan dana bantuan yang disediakan olehnya untuk keperluan masjid, madrasah, rumah-rumah penginapan serta bantuan makanan bagi para pelancong (Ibnu Sabil).



Shalahuddin juga memberikan pembayaran kepada gubernur Makkah agar para peziarah haji diizinkan masuk ke Tanah Haram tanpa diganggu dan dikenai pajak. Pada masa-masa sebelumnya, para peziarah haji yang tak mampu membayar pajak untuk masuk ke kota suci akan ditahan dan tak diperkenankan melakukan ibadah haji. Tapi sejak adanya subsidi dari Shalahuddin, para peziarah haji tidak lagi mengalami hal-hal yang mengganggu ibadah mereka.

Pada masa-masa terdahulu, pajak semacam ini juga dikenakan oleh Dinasti Fatimiyah yang mengharuskan setiap peziarah haji untuk membayar tujuh setengah dinar Mesir saat hendak menyeberangi pelabuhan Aydzab menuju ke Jeddah. “Mereka yang tidak dapat membayar,” tulis Ibn Jubair, “akan menderita siksaan yang paling keras di Aydzab, kota yang seperti namanya (tetapi) tanpa huruf ‘y’.” Yang dimaksudkan oleh Ibn Jubair adalah jika huruf ‘y’ dihilangkan dari kata Aydzab, maka yang tersisa adalah ‘adzab’ (hukuman). Namun, Dinasti Fatimiyah telah dihapuskan oleh Shalahuddin pada tahun 1171 dan sejak saat itu para peziarah dari Barat (Maroko-Andalusia) banyak mendapatkan kemudahan dan kenyamanan dalam perjalanan haji mereka.

Ibn Jubair banyak menyebutkan tempat-tempat penting yang biasa diziarahi di wilayah-wilayah yang ia datangi, termasuk para ulama yang menonjol pada masa itu. Ia juga menggambarkan karakteristik setiap daerah yang ia kunjungi, termasuk antara lain keadaan ekonomi dan mata uang yang digunakan. Walaupun begitu, tulisan Ibn Jubair tidak hanya bersifat deskriptif yang kering dan kurang menarik untuk dibaca. Karena ia seorang sastrawan, sekaligus seorang yang menjaga agamanya, ia melukiskan banyak hal dengan bahasa satra, sambil terkadang menyisipkan syair-syair dan ayat-ayat al-Qur’an untuk memberikan cita rasa keindahan pada deskripsinya.

Saat berada di Damaskus, misalnya, ia menggambarkan kota itu dengan kata-kata berikut:

Bulan baru muncul pada hari Rabu (1 Rabiul Akhir 580/ 12 Juli 1184) ketika kami berada di Damaskus, menginap di Darul Hadits di sebelah barat Masjid Jamik yang agung…. Damaskus dimuliakan saat Allah Yang Maha Tinggi memberikan suaka di tempat itu kepada sang Mesiah dan bundanya – semoga Allah memberkati dan memelihara mereka – ‘di suatu tanah tinggi yang datar yang banyak terdapat padang-padang rumput dan sumber-sumber air bersih yang mengalir’ (QS 23: 50) dengan naungan yang teduh dan air yang lezat. Anak-anak sungainya memutar seperti ular melewati berbagai jalur, dan angin sepoi-sepoi yang meniupkan wewangian bunga dari taman-taman menghembuskan kehidupan ke dalam jiwa. Bagi mereka yang merenunginya, ia menampilkan dirinya dengan gaun pengantinnya memanggil mereka: ‘Datanglah ke tempat perhentian yang indah, dan nikmatilah keheningan tengah hari.’

Ibn Jubair tidak sekadar melakukan perjalanan haji dan pelancongan ke beberapa tempat. Tetapi ia mengamati dengan baik tempat-tempat yang dikunjunginya dan menuangkan pengamatan reflektifnya dalam sebuah tulisan yang manfaatnya melampaui zamannya. Itu juga merupakan sebuah perjalanan dan penulisan imani, tanpa kehilangan daya kritisnya, yang keluar dari pandangan hidup yang jernih dari seorang pelancong Muslim.Hasilnya adalah sebuah karya yang cukup monumental. Meminjam ungkapan sang pelancong saat memuji Ibn al-Jauzi yang ia hadiri majelisnya di Baghdad, Ibn Jubair sendiri adalah ‘seorang lelaki yang bukan ‘Amr atau Zaid’ (bukan orang biasa). Karya tulisnya telah menjadi saksi atas hal itu.

Bagaimana dengan kebanyakan kita, khususnya yang biasa melakukan perjalanan ke berbagai tempat?Adakah kita berkeinginan untuk membuat sebuah jurnal perjalanan, yang mungkin suatu saat nanti bisa menjadi sumber bacaan atau rujukan yang bermanfaat bagi generasi setelah kita? Atau kita akan meneruskan tradisi lama kita yang minim dalam hal tulis menulis, yang membuat banyak sejarawan pening saat hendak mencari rujukan sejarah bangsa ini, atau terpaksa meminjamnya dari catatan bangsa lain?Semoga saja tidak.Karena bangsa ini juga memerlukan orang-orang ‘yang bukan ‘Amr atau Zaid’.Wallahu a’lam.*/Kuala Lumpur, 7 Rabiul Akhir 1435/ 7 Februari 2014

Alwi Alatas Penulis adalah penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” kolumnis

Rep: Administrator

Editor: Cholis Akbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar