“ Jika dahulu gelora ‘ruhul jihad’ itu adalah melawan para penjajah Jepang dengan bambu runcing secara zahir, maka saat ini kita menerjemahkan bambu runcing itu dengan suatu lembaga pendidikan yang melawan penjajahan sistem “ (K.H. A. Rustam Hazimi, cucu K.H. Zainal Musthafa).
Pesantren dalam kaitannya dengan pahlawan nasional K.H. Zainal Musthafa (yang selanjutnya disebut K.H.Z. Musthafa) dapat dipahami tidak hanya sebagai lembaga pendidikan agama Islam dan kajian kitab kuning semata, melainkan juga sebagai media perjuangan dan pergerakan. Pada faktanya pesantren dalam hal ini merupakan pioner dalam pergerakan nasional dan perjuangan kemerdekaan R.I. dari belenggu kolonialisme.
Pada tahun 1927 M., K.H.Z. Musthafa mendirikan Pondok Pesantren Sukamanah di Singaparna, Tasikmalaya, di atas tanah wakaf dari seorang dermawan, Hj. Juariyah, setelah sekitar 17 tahun melanglang buana menuntut ilmu sampai ke tanah suci Makkah. Lima tahun sebelumnya, tahun 1922 M. juga telah berdiri pesantren Sukahideng yang dirintis oleh adik beliau K.H. Zainal Muhsin. Kiprah K.H.Z. Musthafa dalam dunia pergerakan diawali dari pesantren. Dengan demikian, apapun julukan, gelar, peran dan jasa, semuanya tidak terlepas dari identitasnya sebagai seorang kyai pesantren. Di pesantren Sukamanah beliau memulai lembaran pergerakannya dalam kancah perjuangan nasional.
Menyadari pentingnya revolusi konseptual yang sistemik, di pesantren asuhannya itu, beliau melakukan pembaharuan sistem pembelajaran dan kurikulum. Sistem pembelajaran di pesantren menerapkan sistem kelas dan pembatasan jenjang belajar maksimal 6 tahun. Sistem kelas menyerupai sistem sekolah yang berjenjang berdasarkan kelas, dari tingkat satu sampai tingkat 6. Hal ini menjadi bagian dari modernisasi pendidikan pesantren ditinjau dari sistem pendidikan Islam di masa itu.
Dalam kurikulum pesantren, K.H.Z. Musthafa mengintegrasikan ilmu agama dan ilmu umum yang mengarah pada kontekstualisasi pendidikan pada masa itu. Beliau menambahkan materi pelajaran sejarah dan bahasa asing (bahasa Belanda) ke dalam kurikulum pesantren sebagai materi wajib. Untuk ukuran zamannya, terobosan beliau ini bisa dibilang sebagai salah satu pembaharuan revolusioner di internal pesantren tradisional. Materi sejarah ditujukan untuk menanamkan pengetahuan sejarah perjuangan dan pergerakan bangsa kepada para santri, di samping untuk menumbuhkan doktrin anti kolonialisme. Sementara pelajaran bahasa asing (Belanda) ditujukan agar santri mampu memahami dan berkomunikasi dalam bahasa kolonial yang memang pada saat itu menjadi salah satu bahasa induk (lingua franca). Hal ini tentunya semata-mata terlahir dari kesadaran kontekstualisasi yang meniscayakan revolusi tradisi menuju arah pergerakan. Selain itu, ilmu bela diri juga menjadi bagian dari pendidikan jasmaniah yang diajarkan di pesantren. Untuk pengasahan spiritual, di pesantren ini juga diajarkan riyadhah batin, berupa Tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah setiap Selasa Malam yang dipimpin oleh Ajengan Umar dari Banjar, Ciamis.
Di lain pihak, penindasan tentara Jepang semakin hari semakin menyengsarakan rakyat. Kebijakan pemerintah Jepang ketika itu yang menerapkan politik beras membuat warga kian menderita dan teraniaya. Selain itu juga banyak perampuan yang dijadikan jugun ianfu (wanita penghibur) tentara Jepang di daerah pertempuran seperti Birma dan Malaysia. Bahkan suatu ketika, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua dipaksa untuk melakukan seikeirei yaitu memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menunduk ke arah Tokyo. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan hal tersebut, hanya K.H.Z. Musthafa yang tetap membangkang.
Akhirnya K.H.Z Musthafa menyerukan suara jihad kepada seluruh santrinya. Beliau memutuskan untuk melakukan perlawanan terbuka terhadap kekejaman tentara Jepang. Bersama para santrinya, ia merencanakan suatu gerakan yang dilakukan pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Rabi’ul Awal 1363 H).
Singkat cerita, sebuah peristiwa heroik terjadi pada hari jum’at sore tanggal 25 Februari 1944, ratusan santri yang bersenjatakan bambu runcing dan golok bambu terlibat dalam pertempuran jarak dekat dengan pasukan Jepang dengan persenjataan serba canggih. Namun, karena persenjataan yang tidak seimbang, dalam waktu satu setengah jam saja, pertempuran pun segera berakhir dengan tragis. Menjelang maghrib, pasukan Sukamanah dapat dipukul mundur tentara Jepang. Sebanyak 86 santri sukamanah gugur sebagai syuhada di medan pertempuran. K.H.Z. Musthafa dan para pengikutnya ditangkap tentara Jepang untuk dipenjarakan.
Semenjak peristiwa tersebut, aktivitas pesantren Sukamanah menjadi lumpuh total selama beberapa tahun. Akhirnya, pada dekade 1950-an, K.H. Fuad Muhsin, keponakan K.H.Z. Musthafa kembali menghidupkan pesantren ini dengan pengajian bulanan masyarakat sekitar dan santri dari kalangan pemuda kampung Sukamanah dengan menggunakan bangunan Mesjid dan asrama yang diperbaiki secara gotong royong. Seiring waktu, santri yang berasal dari luar daerah mulai berdatangan, sehingga pada tahun 1959 berdirilah Yayasan Perguruan K.H. Zainal Musthafa yang menaungi pesantren Sukamanah dan Sukahideng dan bertujuan untuk melanjutkan perjuangan K.H.Z. Musthafa dalam rangka memartabatkan Kalimat Allah (Li I’lai Kalimatillah) dalam bentuk pendidikan dan pengajaran.
Dari masa ke masa yayasan ini terus mempertegas eksistensinya dengan terus memperkaya lembaga pendidikan formal. Hingga saat ini, yayasan tersebut telah memiliki beberapa lembaga pendidikan formal dan memiliki sekitar 2500 santri. Mulai dari TKA/TPA, Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), Sekolah Menegah Atas (SMA) dan Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Ruhul Jihad yang dahulu menjadi kekuatan pesantren Sukamanah, saat ini diterjemahkan menjadi lembaga-lembaga pendidikan tersebut.
Dahulu dan sekarang, Ruhul Jihad itu masih menjadi motto seluruh santri yang belajar di pesantren K.H.Z Musthafa. “Jika dahulu gelora ‘ruhul jihad’ itu adalah melawan para penjajah Belanda-Jepang dengan bambu runcing secara zahir, maka saat ini kita menerjemahkan bambu runcing itu dengan suatu lembaga pendidikan yang melawan penjajahan sistem”, tegas K.H. A. Rustam Hazimi, salah satu cucu K.H.Z. Musthafa.
Terkait isu-isu terorisme dan lunturnya nilai-nilai ke-bhineka-an yang beberapa saat terakhir sempat dihubungkan dengan pesantren di headline media informasi, beliau menghimbau untuk tidak terjebak generalisasi yang tergesa - gesa. Menurut beliau terorisme bukanlah kepribadian pesantren dan sama sekali bukan ajaran Islam. Ketika pesanten diidentifikasi sebagai sarang teroris kita harus menunggu untuk berkata iya. Pesantren memang memiliki potensi ke arah sana, hal tersebut disebabkan karena minimnya wawasan kebangsaan di pesantren. Namun sejatinya jargon hubbul wathan minal iman tetap menjadi bagian pengajaran pesantren, tambahnya.
Paradigma terorisme di suatu negara bangsa secara prinsipil berasal dari ideologi teologis radikal yang anti-kebangsaan. Ketua dewan santri Yayasan Perguruan K.H.Z. Musthafa tersebut juga mengamini hal ini. Bahkan menurutnya, di samping memang muncul dari internal NKRI, satu hal yang juga tidak boleh luput dari perhatian kita adalah adanya doktrinisasi dari luar, entah itu ada hubungannya dengan situasi politik internasional, politik musuh Islam atau yang lainnya, mengingat terorisme bukanlah kepribadian Islam Indonesia.
Terkait peran santri dalam menjawab krisis NKRI, beliau menegaskan krisis kejujuran sebagai pangkal krisis bangsa Indonesia. Dan pesantren sendiri memiliki kliniknya. Akhirnya, dalam setiap gerak sejarah, pesantren memang senantiasa memainkan salah satu peran utama dalam dinamika peradaban bangsa. Sekarang dan selanjutnya, spirit bambu runcing itu akan senantiasa menjadi elan vital bagi pergerakan pesantren K.H. Zainal Musthafa sebagai partisipan yang kontributif bagi bangsa Indonesia.
Asep N
Tidak ada komentar:
Posting Komentar