
Sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang panjang, dimulai dari sebuah negeri kepulauan yang terdiri dari kerajaan-kerajaan, hingga terbentuk menjadi sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 oleh Soekarno – Hatta.
Namun mungkin belum terlalu banyak yang tahu bahwa dalam perjalanan sejarahnya, Indonesia sebenarnya tak hanya telah dijajah Belanda selama 350 tahun dan oleh Jepang selama 3,5 tahun, namun juga oleh “sebuah kekuatan besar” yang bekerja secara diam-diam, namun teramat sangat efektif. “Kekuatan besar” inilah yang ikut bertanggung jawab atas hilangnya jiwa nasionalis di kalangan pejabat dan pemimpin negara kita, sehingga korupsi demikian marak, dan bahkan tak sedikit anak bangsa yang rela menjadi kaki tangan asing, khususnya sekutu kekuatan besar tersebut, yakni Amerika, sehingga meski kebijakan yang dibuatnya didengung-dengungkan demi kesejahteraan rakyat, namun sesungguhnya kebijakan itu lebih berpihak kepada negara asing kepada siapa dia “mengabdi”.
“Kekuatan besar” itu saat ini lebih dikenal dengan sebutan kaum kapitalis atau pemilik modal, sebuah istilah yang merujuk kepada para pengusaha Yahudi. Kaum ini memiliki sebuah organisasi rahasia yang keberadaannya diproklamirkannya di Inggris pada 24 Juni 1717, yakni Freemasonry. Di Belanda, nama organisasi ini adalah Vrijmetselarij.


Dan untuk diketahui, sejak awal eksistensinya, Freemason selalu berusaha agar tidak banyak orang yang tahu tentang keberadaannya. Tak heran jika ketika mereka memasuki Indonesia, mereka menggunakan nama Vrijmetselarij.
Berdasarkan laporan tentang sejarah para Masonik di Indonesia yang diterbitkan Paul van der Veur pada 1976 dan diberi judul ‘Freemasonry in Indonesia from Radermacher to Soekanto 1762-1962’, diketahui kalau gerakan Freemasonry di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dirintis oleh J.C.M. Radermacher. Dia jugalah yang memprakarsai pembangunan lodge pertama di Batavia yang diberi nama ‘La Choisie’ atau ‘Yang Terpilih’ pada 1762. Bahkan nama Radermacher digunakan sebagai nama sebuah organisasi yang disebut Perhimpunan Batavia untuk Kesenian dan Ilmu Pengetahuan atau Batavian Society of Arts and Science.


Pada awal-awal Freemasonry merambah Indonesia, para pengikutnya adalah orang-orang Belanda yang berdarah Yahudi dan orang Eropa non Yahudi dengan beragam profesi, terutama pedagang. Namun dalam perkembangan selanjutnya, banyak penduduk pribumi, khususnya penduduk Pulau Jawa, yang menjadi anggota organisasi ini. Bahkan Van Niel, sejarawan Amerika, menyebut, bahwa pendidikan yang disumbangkan kaum Masonik turut berperan dalam melahirkan kaum elit modern di Indonesia, karena sejak mulai berkiprah, para Masonik membangun sekolah-sekolah dan memberikan pendidikan kepada kaum miskin, serta memberikan kesempatan kepada kaum muda Jawa yang berbakat untuk melanjutkan pendidikan di Eropa. Seluruh biaya ditanggung oleh para Vrijmetselarij. Maka tak heran jika gerakan para Mason di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, begitu cepat berkembang, bahkan berhasil menarik sejumlah orang penting ke dalam organisasinya.


Adik Pangeran Ario Notodirodjo, Pangeran Koesoemo Yoedho, putra Paku Alam V, berkali-kali menjadi pengurus di Lodge Mataram sejak dilantik menjadi anggota Vrijmetselarij pada 1909. Bahkan pada 1930, dia menjadi pengurus pusat dan merupakan orang Jawa pertama yang mempelajari indologi di Leiden, Belanda, dan lulus ujian besar, ujian yang biasanya hanya diperuntukkan bagi orang Belanda saja.
Tokoh lain yang menjadi anggota Vrijmetselarij adalah Dr. Radjiman Wediodipoera, tokoh penting dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan yang menjadi ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersama mantan Presiden Soekarno. Juga Raden Saleh (1810-1880), pelukis terkenal.


Ketika Jepang menjajah Indonesia, para Mason sempat kocar-kacir sehingga untuk sementara gerakan organisasi Yahudi ini terhambat. Namun setelah Jepang menyerah karena dua kotanya,

Di Indonesia, lodge yang merupakan markas para Masonik untuk melakukan berbagai kegiatan untuk kepentingan organisasinya, disebut loji. Ada kisah menarik di balik pembangunan loji di Pekalongan, karena ketika pembangunan gedung ini nyaris rampung, masyarakat setempat menolak keberadaannya karena menilai acara-acara ritual yang dilakukan para Mason di loji itu, sesat. Dan saat ini, Loji tersebut dikenal dengan nama Gedong Setan. Mengapa demikian?

Anda mungkin bertanya-tanya mengapa begitu banyak tokoh Boedi Oetomo yang menjadi Mason, atau bahkan mungkin tak percaya? Untuk mencapai tujuannya, Yahudi melakukan berbagai cara, termasuk menyusupi bidang pendidikan, kebudayaan, dan kesenian demi membentuk intelektual-intelektual yang dapat disusupi ke berbagai bidang pemerintahan dari suatu negara yang ingin dikuasainya, sehingga dengan demikian organisasi ini memiliki kekuatan pendukung dan pelindung yang kuat, yang memungkinkan gerakan mereka terus tumbuh dan berkembang tanpa dapat dibendung.

Salah satu tokoh Boedi Oetomo yang bersikap keras terhadap Islam di antaranya Dr. Soetomo yang kemudian membentuk Surabaya Studie Club dan berdebat sengit dengan Sarekat Islam tentang banyak hal terkait dengan masalah-masalah ke-Islam-an, termasuk dalam hal berbangsa dan bernegara.
Dalam kongres yang diselenggarakan pada 1952, Boedi Oetomo mengukuhkan kebudayaan Jawa sebagai dasar pendidikan mereka.

Annie juga menyatakan, bahwa fanatisme agama adalah penyebab perseteruan dan konflik sosial di masyarakat. “Meskipun agama bukan satu-satunya faktor, namun jelas sekali bahwa pertimbangan keagamaan dalam konflik-konflik itu dan dalam eskalasinya sangat banyak memainkan peran”.
Tulisan ini jelas sekali menunjukkan doktrin antiagama dan sekuler, dua dari begitu banyak doktrin yang diusung Freemasonry untuk mencapai tujuannya menguasai dunia (soal Freemasonry, lebih detil bisa diklik DARI SINI). Doktrin inilah yang antara lain diduga kuat dicekoki kepada para tokoh Boedi Oetomo sehingga mereka ‘memusuhi’ Islam. Doktrin ini dicekoki melalui berbagai cara, termasuk melalui gerakan Theosofi, sebuah gerakan yang dilembagakan dengan nama Perkumpulan Theosofi dan didirikan Freemasonry di New York, Amerika Serikat, pada 17 November 1875. Perkumpulan berbentuk badan internasional ini memiliki tiga tujuan utama, yakni mengadakan inti persaudaraan antara sesama manusia tanpa memandang bangsa, kepercayaan, kelamin, kaum atau warna kulit; memajukan pelajaran dengan mencari persamaan dalam agama-agama, filsafat dan ilmu pengetahuan; dan menyelidiki hukum-hukum alam yang belum dapat diterangkan dan kekuatan-kekuatan dalam manusia yang masih terpendam.


Tak lama setelah mengeluarkan pernyataan ini, Agus Salim keluar dari Perkumpulan Theosofische Vereeninging, Perkumpulan Theosofi di Indonesia.
Tokoh nasional yang lain yang pernah tercatat sebagai tokoh Perkumpulan Theosofi, menurut Herry Nurdi dalam buku ‘Jejak Freemason dan Zionis di Indonesia’, adalah ketua BPUPKI Dr. Radjiman Wedyodiningrat, dan Achmad Subardjo, salah seorang menteri dalam kabinet pertama yang dibentuk Presiden Soekarno. Dr. Radjiman adalah propagandis terkemuka yang menyebarkan ajaran-ajaran Theosofi melalui cerita-cerita wayang.
Bukti bahwa Boedi Oetomo dibina oleh Vrijmetselarij di antaranya adalah, Kongres I organisasi ini pada 1926 terlaksana berkat inisiatif Theosofische Vereeninging dan diselenggarakan di Loji Broederkarten, sehingga sempat menimbulkan gelombang protes di kalangan pemuda dalam anggota organisasi itu, dan Kongres II diselenggarakan di Loji Mataram dan dihadiri Bupati Karanganyar Raden Adipati Tirto Koesomo yang merupakan tokoh Vritmetselarij dan tercatat sebagai anggota Loji Mataram sejak 1895.


Tentang hal ini, penulis buku ‘Jejak Freemason & Zionis di Indonesia’ ini merujuk pada penjelasan tentang lambang negara yang tercantum dalam lembaran negara Peraturan Pemerintah (PP) No. 66/1951 tanggal 17 Oktober 1951 tentang Lambang Negara. Pasal 3 PP ini menjelaskan, “Burung Garuda yang digantungi perisai itu ialah lambang tenaga pembangun (creative vermogen) seperti dikenal pada peradaban Indonesia. Burung Garuda dari mythology menurut perasaan Indonesia berdekatan dengan burung Elang Rajawali. Burung itu dilukiskan di Candi Dieng, Prambanan, dan Panataran. Ada kalanya dengan memakai lukisan berupa manusia dengan berparuh burung dan bersayap (Dieng); di Candi Prambanan dan di Candi di Jawa Timur rupanya seperti burung, dengan berparuh panjang berambut raksasa dan bercakar. Lihatlah lukisan garuda di Candi Mendut, Prambanan, dan Candi-candi Sukuh, Kendal di Jawa Timur”.
Kalimat-kalimat yang di-bold dan digarisbawahi memiliki penggambaran yang sama persis dengan sekripsi wujud Dewa Horus, yakni berupa manusia berparuh burung dan bersayap, berambut, dan bercakar.
Awal-awal kemerdekaan RI merupakan awal-awal yang menegangkan bagi para pelaku sejarah, terutama yang beragama Islam, karena pada saat itulah mereka harus ‘berhadap-hadapan’ dengan wakil para Freemasonry yang ingin ‘menggenggam’ Indonesia sebagaimana organisasinya telah menguasai Amerika dan menjadikannya sebagai kuda Troya demi mengusai dunia. Mengapa organisasi persaudaraan rahasia Yahudi itu sangat menginginkan Indonesia? Jawabannya mudah.
Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil bumi seperti rempah-rempah, minyak, emas, perak, batu bara, dan sebagainya, dan merupakan negara yang amat luas dengan jumlah penduduk yang sangat banyak. Untuk dapat menguasai dunia, Yahudi membutuhkan sumber dana yang tak terbatas, maka strategi Adam Weishaupt, salah seorang tokoh Freemason, diberlakukan di sini, yakni penghapusan dan penguasaan seluruh lahan pribadi dan kekayaan keturunan.

Padahal, cadangan tembaga di Tembagapura itu disebut-sebut sebagai ketiga terbesar di dunia, sedang cadangan emasnya merupakan yang terbesar di dunia. Per tahun, dari lahan ini PT. Freeport Indonesia mengeduk pemasukan sedikitnya US$ 2,3 miliar.

Dengan strategi penghapusan dan penguasaan seluruh lahan pribadi, sejak awal kebangkitan Indonesia pasca kemerdekaan, terutama selama era Orde Baru, Freemasonry melalui para Mason-nya di Indonesia, mempropagandakan ide-ide yang menyatakan bahwa produk luar negeri lebih bermutu dibanding produk dalam negeri, dan orang akan merasa lebih bergengsi bila dapat mengonsumsi atau mengoleksi barang-barang buatan luar negeri, sehingga apa pun yang diproduksi di luar negeri, terutama Amerika Serikat, laris dibeli oleh orang Indonesia. Maka tak heran jika pemerintah harus berjuang habis-habisan agar bangsa Indonesia lebih mencintai produknya sendiri. Hingga kini, karena ide-ide itu telah tertanam kuat di benak sebagian bangsa Indonesia, terutama di kalangan atas, upaya pemerintah tidak sepenuhnya berhasil. Maka jangan heran jika produk KFC, McDonald dan sebagainya, sangat laris, sementara produk sejenis (ayam goreng atau fried chicken) yang dijual di restoran Indonesia dan warteg, hanya menjadi konsumsi masyarakat kalangan bawah, serta sebagian kalangan menengah. Jadi, tanpa kita sadari, sejak awal Soekarno terguling pada 1967, Yahudi melalui Freemasonry tak hanya menjadikan Indonesia sebagai ‘lumbung uang’ yang dapat dikeruk setiap hari, tapi juga menjadikan negara ini sebagai pangsa pasar produk-produk yang juga mereka hasilkan.

Puncak ketegangan para pejuang non Masonik dengan para Masonik pada awal-awal kemerdekaan Indonesia, menurut Herry Nurdi dalam buku “Jejak Freemason & Zionis di Indonesia” adalah hilangnya tujuh kata dalam Piagam Jakarta atau The Jakarta Charter yang menjadi pembukaan UUD 1945. Ketujuh kata dimaksud adalah “ … dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Piagam Jakarta dirumuskan oleh tim sembilan yang terdiri dari Soekarno, Muhammad Hatta, AA Maramis, Abikoesno, Tjokrosoejoso, Prof. Abdul Kahar Muzakir, Haji Agus Salim, Achmad Soebardjo, Abdul Wachid Hasyim, dan Muhammad Yamin, dan ditetapkan pada 22 Juni 1945. Ketujuh kata itu hilang pada 18 Agustus 1945 atau sehari setelah teks Proklamasi dibacakan. Salah seorang yang berperan atas hilangnya kata itu adalah Muhammad Hatta.


Namun dalam pengantar buku “Piagam Jakarta 22 Jumi 1945” yang ditulis H. Endang Saifuddin Anshari, Roem mempertanyakan begini ; “Apakah opsir Jepang tersebut wakil dari Kaigun? Darimana Kigun mengambil wewenang untuk menjadi penyambung lidah golongan Protestan dan Katolik? Apakah ada resolusi yang diambil oleh golongan Protestan dan Katolik, bahwa mereka lebih baik di luar Republik Indonesia kalau ketujuh kata itu ada dalam preambule UUD 1945? Bukankah dalam panitia sembilan yang merumuskan dan menandatangani Piagam Jakarta 22 Juni 1945 itu antara lain duduk Mr. AA Maramis yang dapat dipandang mewakili golongan Kristen? Bukankah dalam pleno BPUPKI yang menerima bulat Piagam Jakarta tanggal 11 dan 16 Juli 1945 itu terdapat pula orang-orang Kristen lainnya, antara lain Mr. Latuharhari, seorang pemimpin terkemuka?”
Jadi, jelas ada yang bermain di balik hilangnya ketujuh kata tersebut, dan diduga kuat para Mason lah pemain tersebut, karena Yahudi tak menyukai agama, termasuk Islam, dan Yahudi tak ingin Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, menjadi negara yang berlandaskan Islam. Mereka ingin Indonesia menjadi negara sekuler, negara yang tidak membaurkan agama dengan pemerintahan. Apalagi karena seperti telah diulas sebelumnya, Haji Agus Salim dan Achmad Soebardjo merupakan anggota Perkumpulan Theosofi, sehingga dapat dianggap termasuk kaum Masonik.


Jenjang pendidikan Sultan Hamid II adalah sekolah dasar Belanda, bahkan termasuk salah seorang Indonesia yang disekolahkan di sekolah militer Belanda di Breda. Pada masa kemerdekaan, Sultan Hamid II diangkat Soekarno menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio. Ketika Soekarno membentuk Panitia Lencana Negara pada 10 Januari 1950, dia ditunjuk sebagai kordinatornya. Lambang negara hasil buatan panitia ini, lambang garuda, diperkenalkan Soekarno kepada seluruh masyarakat Indonesia pada 15 Februari 1950.

Patut untuk mencurigai, bahwa Indonesia sebenarnya mengalami nasib yang tak jauh berbeda dengan Amerika Serikat (AS), yakni sudah dicengkeram dengan erat oleh Yahudi melalui Freemasonry dan gerakan Zionis Yahudi Internasionalnya. Hanya saja, jika Amerika Serikat dijadikan sebagai basis pergerakannya untuk menguasai dunia, sehingga negara itu dijadikan yang terhebat, bahkan sangat berpengaruh, Indonesia sebaliknya.
Karena Indonesia hanya satu dari begitu banyak negara di dunia yang mungkin saja hanya dijadikan sebagai lumbung untuk mendapatkan income sebanyak-banyaknya, maka seperti inilah yang kita alami sekarang; tidak maju-maju, bahkan terpuruk akibat berbagai persoalan yang datang silih berganti, seperti tak ada habisnya, namun tak mampu diselesaikan hingga tuntas oleh pemerintah.
Kasus Freeport merupakan salah satu kasus yang memilukan, karena meski cadangan tembaga yang terkandung di bumi Tembagapura merupakan ketiga terbesar di dunia, dan cadangan emasnya merupakan yang terbesar di dunia, kita nyaris tidak menikmatinya sama sekali, mengingat saham pemerintah hanya 9,32%!

Sayangnya, Herry tidak mendapatkan sumber pasti tentang silsilah Soekarno, namun berhasil mendapatkan data kalau ayahanda Soekarno merupakan seorang anggota Perkumpulan Theosofi di Surabaya. Karena status ayahandanya inilah Soekarno dapat dengan bebas memasuki perpustakaan Perhimpunan Theosofi di Surabaya, dan membaca koleksi buku-buku di situ. Tentang hal ini, Soekarno pernah berkata ; “Kami mempunyai sebuah perpustakaan yang besar di kota ini (Surabaya) yang diselenggarakan oleh perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena itu aku boleh memasuki peti harta ini, dimana tidak ada batasnya buat seorang yang miskin. Aku menyelam lama sekali di dalam dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah fikiran mereka menjadi buah fikiranku. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku …”


Seorang ilmuwan lulusan Madina University, Abdullah Pattani, pernah secara khusus menelaah lima dasar yang dicetuskan Soekarno, dan menuliskannya menjadi sebuah artikel berjudul ‘Freemasonry di Asia Tenggara’ yang dipublikasikan oleh Madinah Al-Munawarah. Dalam artikel tersebut dinyatakan, bahwa ada kemiripan antara lima dasar tersebut dengan dasar-dasar yang digunakan Zionis sebagai ladasan gerakannya, dan konsep Sun Yat Sen, karena dasar-dasar gerakan Yahudi adalah internasionalisme, nasionalisme, sosialisme, monotheisme cultural, dan demokrasi. Sedang konsep Sun Yat Sen adalah mintsu (nasionalisme), min chuan (demokrasi), dan min sheng (sosialisme). Soekarno sendiri pernah memeras kelima dasar yang dicetuskannya hingga menjadi tiga dasar yang dikenal dengan istilah trisila, yakni sosio nasionalisme atau kebangsaan dan prikemanusiaan, sosio demokrasi yang mencakup demokrasi dan kesejahteraan nasional, dan ketuhanan. Bahkan trisila tersebut pernah diperas lagi hingga hanya menjadi satu sila, yakni gotong royong.
“Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan gotong royong. Negara yang kita dirikan haruslah negara gotong royong! Alangkah hebatnya! Negara gotong royong!” ujar Soekarno.
Namun apa pun dan bagaimana pun sepak terjang Freemasonry di Indonesia, pada akhirnya membuat Soekarno gerah. Pada 27 Februari 1961. presiden pertama RI itu mengeluarkan peraturan yang dicatat dalam Lembaran Negara nomor 18 Tahun 1961 tentang pelarangan aktifitas tiga buah organisasi yang terkait dengan organisasi persaudaraan rahasia Yahudi itu, yakni Vrijmentselaren-Loge (Loge Agung Indonesia) atau Freemasonry Indonesia, Moral Rearmemant Movement, dan Ancient Mystical Organization of Sucen Cruiser (Amorc). Soekarno maupun Sekretariat Negara tidak menjelaskan secara detil apa dasar pelarangan tersebut, selain penjelasan bahwa ketiga organisasi itu dilarang karena merupakan organisasi yang memiliki dasar dan sumber dari luar Indonesia yang tidak sesuai dengan kepribadian nasional. Peraturan ini dikuatkan oleh Keppres Nomor 264 Tahun 1962 tentang Pembubaran dan Pelarangan Vrijmetselarij atau Freemasonry.

Dalam Film G-30 S/PKI yang dibuat pemerintah Orde Baru, juga dalam buku sejarah yang diterbitkan oleh rezim Soeharto tersebut, digambarkan kalau peristiwa yang menewaskan enam jenderal dan berujung pada terguling Soekarno dari kursi kepresidenan itu, dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun belakangan banyak kalangan yang meragukan versi tersebut karena apa yang dipaparkan Orde Baru dalam film dan buku sejarah, terlalu banyak yang janggal dan aneh, seolah ada missing link dalam paparan tersebut.

Peristiwa G-30S/PKI, menurut Sembodo dalam buku tersebut, bukan sekedar tragedi politik semata, namun ada tujuan lain di baliknya. Dan anak bangsa yang terlibat di dalam tragedi itu hanyalah pion-pion yang dimanfaatkan dan dikorbankan demi tercapainya tujuan tersebut, yakni melanggengkan penjajahan atas Indonesia agar kekayaan sumber daya alamnya dapat dikuras, dan demi penyebaran agama Katolik. Lantas siapakah Pater Beek?
Beek lahir di Amsterdam, Belanda, pada 12 Maret 1917 dengan nama lengkap Josephus Beek. Ia seorang penganut agama Katolik yang taat dan merupakan anggota Ordo Jesuit, sebuah sekte dalam agama Kristen yang didirikan Ignatius Loyola, Fransiscus Xaverius dan lima rekannya di Kapel Montmatre, Perancis, pada 15 Agustus 1534. Seperti halnya kebayakan pemuda Belanda kala itu, cerita tentang sebuah negara kaya raya dengan mayoritas penduduk beragam Islam, namun sedang dikuasai oleh negaranya, ikut menarik minat Beek remaja untuk dapat ‘bertualang’ di negara yang kala itu masih bernama Hindia Belanda tersebut. Kesempatan datang kala Beek berusia 22 tahun. Diduga kuat berkat rekomendasi ordonya, ia dikirim ke Indonesia dengan mengemban dua misi, yakni menyebarkan agama Kristen dan melakukan kajian tentang pola hidup masyarakat di Pulau Jawa. Tujuan dari misi yang kedua ini jelas, agar masyarakat Pulau Jawa dapat dikuasai dan penjajahan negaranya terhadap Indonesia, dapat dilanggengkan.
Beek bekerja dengan sangat baik karena ia mencatat apa pun yang berhasil ia amati setiap hari dari kehidupan masyarakat Pulau Jawa. Menurut Sembodo dalam buku ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, dari pengamatan itu Beek bahkan akhirnya berkesimpulan bahwa yang paling membahayakan eksistensi penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di Pulau Jawa, adalah agama yang dipeluk mayoritas masyarakatnya, yakni Islam. Itu sebabnya kelompok-kelompok perlawanan masyarakat terhadap Belanda dimotori oleh para pemuka agama yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ini. Contohnya Pangeran Diponegoro. Beek bahkan menyimpulkan, jika penjajahan yang dilakukan Belanda terhadap Indonesia ingin langgeng, maka Islam harus dilumpuhkan. Dengan cara ini Belanda bahkan mendapat keuntungan lain, yakni penduduk Pulau Jawa dapat dikristenkan dengan lebih mudah.
Selesai melaksanakan tugas, Beek kembali ke Belanda. Namun keinginannya untuk kembali ke Indonesia sangat besar. Apalagi karena hasil kajiannya membuat ia terobsesi untuk juga melakukan seperti apa yang diusulkan kepada pemerintahnya; menghancurkan Islam dan mengkristenkan pemeluknya demi melanggengkan penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Ia pun berupaya agar dapat menjadi pastur, dan ditugaskan lagi ke Indonesia.
Pada 1948, Beek ditahbiskan menjadi pastur, namun baru kembali ke Indonesia pada 1956 atau setahun setelah pemilu pertama dilaksanakan di Indonesia. Selama kurun waktu delapan tahun sejak ditahbiskan hingga ditugaskan kembali di Indonesia, ia mengasah diri dengan mempelajari banyak hal, terutama mempelajari metode-metode efektif untuk menghancurkan Islam. Diduga kuat, sejak ia kembali ke Belanda dan menjelang kembali lagi ke Indonesia, ia didekati dua organisasi yang hingga kini pun sangat berpengaruh di dunia, yakni Freemasonry dan CIA. Tak heran jika Sembodo dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’ menyebut, ketika Beek menjejakkan kaki kembali di Bumi Pertiwi, statusnya bukan hanya seorang misionaris Kristen Katolik, tapi juga anggota CIA dan Freemasonry atau Vrijmetselarij.
Anda mungkin meragukan hal ini, karena menurut Anda, bagaimana mungkin seseorang menjadi agen dua organisasi sekaligus? Kalau begitu, mari kita mundur jauh ke belakang, ke abad 13.
Pada abad 13, Amsterdam hanyalah sebuah kota nelayan. Legenda orang Belanda menyebutkan, kota itu ditemukan oleh dua orang nelayan dari Frisian. Bersama anjing peliharaannya, kedua orang itu mendarat di pesisir Amstel. Karena kawasan di pesisir pantai ini kemudian tumbuh dan berkembang menjadi kota nelayan, maka namanya berubah menjadi Amsterdam yang berarti empang dalam bendungan Amstel.
Seiring berjalannya waktu, Amsterdam tumbuh menjadi kota perdagangan. Pesisir pantainya berubah menjadi pelabuhan-pelabuhan yang selalu ramai oleh para pedagang yang datang dan pergi. Letaknya yang strategis, membuat kota ini tak lepas dari pengamatan dua negara tetangga Belanda yang sedang berebut tanah jajahan, yakni Spanyol dan Portugis. Spanyol lah yang akhirnya berhasil menguasai kota ini, dan penduduk Amsterdam memberontak.
Namun, pemberontakan dapat diredam. Spanyol bahkan dapat memperluas tanah jajahannya hingga ke seluruh penjuru Belanda, sehingga pecah perang antara Belanda dengan Spanyol yang dikenal dengan sebutan ‘Perang 80 Tahun’.
Sejak awal pertumbuhannya, Amsterdam sangat terbuka bagi agama Kristen dan Yahudi. Bahkan jika di kota-kota lain di seluruh Eropa orang Yahudi dikucilkan, di Amsterdam justru mendapatkan jaminan keselamatan. Maka tak heran jika di antara seluruh kota di Belanda, hanya Amsterdam lah yang memiliki penduduk berkebangsaan Yahudi dalam jumlah yang paling banyak.
Abad ke-17 merupakan puncak kejayaan Amsterdam, karena saat itu 17 pengusaha kaya Belanda mendirikan sebuah perusahaan bernama VOC, perusahaan yang kemudian menguras hasil bumi Indonesia, dan membuat Amsterdam semakin makmur. Bahkan akhirnya menjelma menjadi pusat perdagangan di Eropa.
Dari sejarah ini jelas bahwa sejak kecil, Beek telah hidup bersama orang-orang Yahudi, dan kehidupan sosialnya bersinggungan dengan mereka. Apalagi karena seperti telah disinggung di bagian awal tulisan ini, lambang VOC diduga merupakan kamuflase dari lambang Bintang David, lambang kaum Yahudi dengan organisasi Freemasonry-nya yang di Belanda bernama Vrijmetselarij.

Sembodo menyebut, Freemason “memanfaatkan” Beek karena seperti halnya Belanda, mereka juga ingin tetap eksis di Indonesia demi meraup kekayaan hasil bumi rakyat Indonesia. Apalagi karena ketika Jepang berkuasa di Indonesia, mereka terpaksa lari terbirit-birit karena pemerintah Negara Matahari Terbit itu tidak menyukai mereka.
Lantas, mengapa Beek direkrut CIA? Jawabannya mudah.
Amerika Serikat (AS) adalah basis utama pergerakan Freemason. Bahkan negara ini dikuasai sepenuhnya oleh organisasi itu dan underbow-underbow-nya. Ketika Beek kembali ke Indonesia, Bumi Pertiwi telah merdeka dari Jepang yang menggantikan Belanda sebagai penjajah negara ini.
Setahun sebelum Beek kembali ke Indonesia, atau pada 1955, Indonesia menggelar pemilu pertama yang hasilnya sangat mencemaskan negara-negara blok Barat, khususnya AS yang merupakan negara boneka Freemason, dan Belanda yang juga ditunggangi organisasi persaudaraan kaum elit Yahudi itu. Sebab, hasil pemilu menempatkan Masyumi dan Nahdatul Ulama (NU) dalam empat besar partai politik di Indonesia. Terlebih karena orientasi politik Presiden Soekarno kala itu memperlihatkan kecenderungan mengarah pada blok Timur yang terdiri dari China dan Uni Soviet yang beraliran Komunis. Soekarno bahkan tak hanya membentuk Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), tapi juga tak pernah sungkan menghantam AS dan antek-anteknya setiap kali berpidato di forum-forum lokal maupun internasional.
Bagi Freemason yang berada di belakang Amerika dan Belanda, Soekarno jelas menjadi batu sandungan. Apalagi karena pada 1961, Soekarno melarang keberadaan Vrijmetselarij dan underbow-undebow-nya. Maka orang-orang terbaik mereka dikerahkan untuk menggulingkan the founding father ini. Di antaranya CIA dan Beek.

“Menurut cerita dari sejumlah pastur yang mengenalnya lebih lama, (Pater) Beek adalah pastur radikal antikomunis yang bekerja sama dengan seorang pastur dan pengamat China bernama Pater Ladania di Hongkong (sudah meninggal beberapa tahun silam di Hongkong). Pos China watcher (pengamat China) pada umumnya dibiayai CIA. Maka tidak untuk sulit dimengerti jika Beek mempunyai kontak yang amat bagus dengan CIA. Sebagian pastur mencurigai Beek sebagai agen Black Pope di Indonesia. Black Pope adalah seorang Kardinal yang mengepalai operasi politik Katolik di seluruh dunia”.
Fakta yang diungkap George itu didukung Mujiburrahman dalam desertasi berjudul ‘Feeling Threatened Muslim-Cristian Relations in Indonesia’s New Orde’.
Bagi Beek, menggulingkan Soekarno bukanlah sesuatu yang layak untuk ditentang, karena meski berorientasi ke Soviet dan China, dan cenderung sekuler, Soekarno seorang muslim yang sangat memperhatikan perkembangan intelektualisme umat Islam. Soekarno bahkan mendirikan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di beberapa wilayah di Indonesia untuk mencetak intelektual-intelektual Islam yang tak hanya mumpuni dalam hal keagamaan, namun juga berwawasan modern.
Pendirian IAIN ini membahayakan misi Beek, karena jika di Indonesia bermunculan orang Islam-orang Islam yang berpendidikan dan cerdas, maka misinya mengkatolikkan penduduk Pulau Jawa akan mengalami kendala besar. Bahkan eksistensi Katolik di Indonesia bisa saja terancam. Terlebih karena kala itu Soekarno juga sedang berupaya membebaskan Irian Barat yang masih dijajah Belanda, karena selain Pulau Jawa, pulau berbentuk kepala burung itu juga merupakan salah satu pusat pengkatolikkan di Indonesia.
Dalam buku berjudul ‘Pater Beek, Freemason, dan CIA’, M Sembodo menulis, dalam menjalankan misi-misinya di Indonesia, Pater Beek tidak sendirian. Sedikitnya ada dua pastur yang membantunya, yaitu Pastur Melchers dan Djikstra. Tentang hal ini, dalam salah satu tulisannya, peneliti asal Australia, Richard Tanter, menyatakan begini;
“(Pater) Beek mengawali proyeknya di tahun 1950-an, bersama dengan sejumlah kecil (anggota Ordo) Jesuit lainnya, termasuk Pastur Melchers dan Djikstra; kesemuanya ini memiliki pengaruh cukup besar dalam percaturan politik di Indonesia. Di mana masing-masing menata jaringan yang serupa dengan ‘kerajaan’ personal, tetapi dalam wilayah yang berbeda dan tetap saling berkoordinasi”.
Tentang adanya Pastur Djikstra di Indonesia, dibenarkan Mujiburrahman dalam desertasinya. Tapi, menurut dia, cara kerja Pater Beek dan Pastur Djikstra berbeda. Meski mengemban misi dan tujuan yang sama. Jika Pater Beek lebih mengedepankan aspek politik, dimana Katolik harus dapat mengontrol Indonesia agar kristenisasi dapat berjalan dengan lancar. Sedang Pastur Djikstra lebih mengedepankan aspek ekonomi, sehingga Katolik dapat menjadi penguasa, sekaligus pengendali jalannya perekonomian negara dan hasil-hasilnya.
Meski dibantu pastur-pastur dari Ordo Jesuit, Beek tetap menggunakan banyak orang untuk membentuk sebuah jaringan yang amat kuat. Jaringan itu adalah orang-orang yang berada di sekitarnya, yang note bene orang Indonesia, dan di antaranya bahkan beragama Islam. Orang-orang ini ia atur dan ia kendalikan sedemikian rupa, sehingga bekerja sesuai dengan apa yang ia inginkan.
Siapa sajakah pion-pion ini?

Selain kedua hal tersebut, TNI AD juga merupakan kesatuan yang memiliki struktur hingga ke daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia, dari tingkat pusat hingga kecamatan, sehingga TNI AD tak ubahnya bagai negara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Namun, tongkat komando tetap berada di pusat (sentralistik). Struktur ini sama dengan struktur dalam agama Katolik, karena meski gereja Katolik tersebar di seluruh dunia, namun pusat segala kebijakan yang terkait dengan agama itu tetap berada di Vatikan.
Kesamaan struktur dan arah politik TNI AD ini menarik perhatian Beek maupun CIA. Dengan dalih kerjasama dalam bidang pelatihan intelijen dan bantuan persenjataan, kedua oknum ini menyusup dan mulai menjalankan rencananya untuk menghancurkan Islam dan ‘menjajah’ Indonesia dengan cara yang berbeda dengan yang dilakukan Belanda atau Jepang, namun akibatnya akan sangat terasa hingga kapan pun, termasuk pada 2014 ini.

Dalam buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’, M Sembodo menulis, bantuan senjata dikirimkan melalui Yan Walandouw, bawahan Mayor Jenderal Soeharto, bukan melalui pembantu Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal AH Nasution maupun Ahmad Yani yang kala itu merupakan pimpinan-pimpinan tertinggi di AD. Mengapa demikian?
Selama kerja sama dijalankan, Pater Beek secara intens bergaul dengan para perwira AD untuk mencari pion-pion yang dapat dikendalikan. Ia dengan mudah diterima karena menurut Richard Tanter, Beek merupakan pribadi yang powerfull dan mudah bergaul. Dalam setiap obrolan maupun pertemuan-pertemuan, ia sanggup menghasilkan visi kuat yang mampu menarik perhatian dan kepercayaan orang-orang di sekitarnya. Ia juga memiliki gaya bicara yang lugas dan meyakinkan, sehingga setiap kata yang keluar dari mulutnya bagaikan magnet bagi para lawan bicaranya. Dengan kelebihan seperti ini, mendekati para perwira AD dan mencari informasi tentang mereka bukan lah hal sulit bagi Beek. Maka dalam waktu singkat, tiga orang telah terbidik, yakni Soeharto, Yoga Sugama dan Ali Murtopo. Mengapa mereka?
Bagi Pater Beek, Soeharto merupakan orang yang paling tepat untuk dimanfaatkan demi misi-misi dan kepentingannya, karena selain bukan Muslim yang taat, Menurut Sembodo dalam buku 'Pater Beek, Freemason dan CIA', Soeharto juga seorang pembohong, licik, dan korup. Tak jauh berbeda dengan karakter Beek sendiri. Waktu kemudian membuktikan bahwa pilihan Beek menjadikan Soeharto sebagai pion utama, sama sekali tidak salah, karena melalui tangan Soeharto lah misi-misi dan tujuannya tercapai.
Nama Soeharto mulai melejit setelah peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Dalam serangan itu Soeharto disebut-sebut sebagai pemimpin serangan. Namun berpuluh-puluh tahun kemudian, ketika Soeharto mengkhianati Latief, sahabatnya, terbongkar kalau ketika serangan terjadi, Soeharto justru sedang lahap menyantap soto babat.
Sebelum menjadi anggota TNI AD, Soeharto menjadi bagian dari tentara kolonial Belanda (KNIL). Setelah Belanda dikalahkan Jepang, Soeharto menjadi bagian dari tentara Jepang (PETA).
Menurut Sembodo, karir Soeharto di TNI lebih banyak karena keberuntungan dibanding karena prestasi. Selepas dari Yogyakarta, Soeharto diangkat menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Jawa Tengah, namun melakukan korupsi dan dicopot dari jabatannya. Karir Soeharto nyaris tamat, namun Presiden Soekarno meminta KASAD Jenderal AH Nasution untuk menariknya ke Jakarta dengan terlebih dulu disekolahkan di SSKAD agar mental korupsinya dapat dibersihkan.
Menurut John Helmi Mempi dan Umar Abduh dalam artikel berjudul 'Orde Baru, Freemason dan Pater Beek 35 Tahun Sejarah Latar Belakang Politik dan Intelijen Indonesia di Bawah Soeharto, Beek mendekati Soeharto melalui istrinya, Siti Hartinah atau yang akrab dipanggil Ibu Tin Soeharto, yang lebih dulu dikatolikkan dan ditahbiskan menjadi anggota Ordo Jesuit. Diduga kuat Beek mengetahui sosok Soeharto dari Liem Sioe Liong yang menurut John maupun Umar Abduh, merupakan salah satu agen Freemason di Indonesia. Soeharto mengenal Liem ketika masih menjadi Panglima Divisi Diponegoro. Mereka bahkan berhubungan baik.
Yoga Sugama dan Ali Murtopo direkrut Beek karena dinilai memiliki kriteria sesuai yang ia butuhkan. Apalagi karena kedua orang ini lah yang mendukung Soeharto menjadi Panglima Divisi Diponegoro, saat Soeharto masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta.
Yoga Sugama lahir di Tegal, Jawa Tengah, pada 12 Mei 1925. Kala Perang Dunia II meletus, ia mendapat pendidikan militer di Tokyo, Jepang, hingga perang usai. Ketika perang kalah, ia alih profesi menjadi penerjemah di Markas Jenderal Mac Arthur dan kembali ke Indonesia ketika perang kemerdekaan berkecamuk. Ia bergabung dengan dinas intelijen yang dikenal dengan nama Bagian V.
Setelah Bagian V dibubarkan, ia tetap tinggal di Jawa Tengah. Di tempat itulah ia bertemu Soeharto yang kala itu masih menjabat sebagai Komandan Resimen Yogyakarta, dan menjalin hubungan yang sangat baik. Ketika Mabes Angkatan Darat berniat mengangkat Bambang Supeno menjadi Panglima Divisi Diponegoro, Soeharto yang berambisi menduduki jabatan itu, mengajak Yoga mengadakan rapat rahasia di Kopeng. Hasilnya, dibuat suatu isu rekayasa bahwa jika Mabes mengangkat Bambang, maka beberapa perwira akan membangkang. Sabotase sukses, dan Soeharto mendapatkan jabatan yang seharusnya diemban Bambang. Atas jasanya, Yoga diangkat menjadi perwira intelijen.
Karir Yoga seluruhnya dihabiskan di dunia yang sepak terjangnya selalu dilakukan secara diam-diam dan sulit dilacak itu. Selain di Jepang, ia pernah mendapat pendidikan intelijen di Inggris pada 1951. Kehebatannya dalam dunia yang satu ini, juga sifatnya yang cenderung machiavelis (menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan), sesuai yang dibutuhkan Pater Beek. Apalagi karena untuk dapat menyukseskan misi-misinya, Beek memang harus melakukan gerakan seperti layaknya seorang intel. Meski ia seorang pastur, predikat itu hanya alat untuk mencapai misi-misinya. Itu sebabnya dalam lembaran sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi-perguruan tinggi, nama ini tidak pernah sekali pun muncul karena ia memang tak pernah memunculkan dirinya secara terang-terang dalam beragam peristiwa di Indonesia, termasuk dalam peristiwa G-30S/PKI maupun peristiwa-peristiwa besar lainnya.
Pula, Orde Baru pun sengaja menyembunyikan sosok ini rapat-rapat agar apa yang sebenarnya terjadi di balik peristiwa-peristiwa itu, tidak terungkap kebenarannya, sehingga sejarah yang dicatatkan dalam buku-buku dan dicekokkan kepada para siswa di sekolah-sekolah maupun kepada para mahasiswa di perguruan tinggi-perguruan tinggi, cenderung tidak akurat, berbau rekayasa dan bahkan ada yang menyesatkan. Contohnya adalah peritiwa meletusnya G-20S/PKI.
Beek mengenal sosok Yoga Sugama dari Per himpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), salah satu organisasi yang menjadi tunggangannya dalam menyukseskan misi-misinya. Organisasi ini bahkan ikut berperan dalam penggulingan Soekarno.
belantaranews
Tidak ada komentar:
Posting Komentar