Selasa, 16 Desember 2014

Misteri Mahapatih Majapahit

Siapakah Gajah Mada?
Sambil mengacungkan kerisnya yang bernama Surya Panuluh (Sebelumnya adalah milik Dyah Kertarajasa Jayawardhana, Pendiri Majapahit), Gajah Mada, Mahapatih Majapahit yang sangat terkenal itu mengucapkan “Sumpah Palapa” yang berbunyi :
“Sira Gajah Mada patih Amangkubhumi tan ayun amuktia palapa, sira Gajah Mada, Lamun huwus kalah nusantara isun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seran, Tanjung Pura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana isun amukti palapa”.
1392608038927236001
Sumpah Palapa merupakan pengumuman resmi program politik kerajaan Majapahit yang akan dijalankan oleh Patih Gajah Mada dibawah kepemimpinan Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi.
Sumpah yang diucapkannya kemungkinan dilatarbelakangi oleh adanya ancaman dari utara (Mongol) pasca serangan mendadak yang dilakukan oleh Raden Wijaya untuk mengusir pasukan Mongol yang telah membantunya mengalahkan Jayakatwang, Raja Gelang Gelang, Kediri.
Gajah Mada yakin bahwa tentara Mongol akan kembali membawa pasukannya dan menyerbu Majapahit dengan kekuatan yang lebih besar lagi.
Peristiwa sebelumnya membuktikan, ketika utusan Kubilai Khan yang bernama Meng Khi dipotong telinganya dan digunduli kepalanya, karena meminta Raja Kertanegara untuk mengakui kekuasaan Kubilai Khan dan diwajibkan mengirim upeti ke Mongol setiap tahunnya. Akibat penolakan tersebut, Kubilai Khan pada tahun 1292, mengirim 20.000 tentara yang dipimpin oleh Shi Bi/Shih Pi (Suku Mongol) dibantu Ike Mese/Yikomusu (Suku Uighur) dan Kau Hsing/Gao Xing (Suku Cina) untuk menghukum Kertanegara.
Menurut Gajah Mada, jika tidak ingin tunduk dibawah Dinasti Yuan (Mongol), jalan satu satunya adalah harus bersatu dan memperkuat Majapahit untuk menghadapi serangan pasukan Mongol.
Dalam rangka menyatukan Nusantara dibawah bendera Majapahit, maka kerajaan-kerajaan diseluruh wilayah Nusantara diminta untuk bergabung. Langkah yang umum dilakukan adalah dengan perkawinan politik, yaitu mengawinkan antar pangeran atau putri kerajaan. Bagi yang menolak kalau perlu harus diancam atau terpaksa diserang atau ditaklukkan. Secara politis dan kenegaraan, sah-sah saja, meski terkesan memaksakan kehendak.
Namun, dugaan Gajah Mada memang ada benarnya. Pasukan Mongol dikenal pandai berperang, sangat kejam dan pantang menyerah. Kievan Rus, Rusia ditaklukkan dan pasukan gabungan Eropa yang terdiri dari Hungaria, Polandia, dan Jerman (Kekaisaran Suci Romawi) yang terdiri dari pasukan Teutonik terbantai tak bersisa dalam perang di Leignitz. Khalifah Abbasiyah di Baghdad ditaklukkan termasuk Persia, Kaukasus dan Asia Kecil. Tentara Mongol tercatat menyerbu Korea 3 x, Jepang 2x, Vietnam Utara 3x dan Burma 2x. Pasukan Mongol tidak akan pernah berhenti menyerang tanpa adanya perjanjian damai.
Kekejaman tentara Mongol dalam menyerbu dan menjarah kerajaan-kerajaan yang di kalahkannya telah meninggalkan jejak yang kelam berupa kehancuran moralitas dan kemanusiaan. Serangan Mongol ke Baghdad, berdampak besar pada kemunduran politik dan peradaban Islam.
Namun sayang, figur Gajah Mada yang terkenal tersebut (disebutkan lahir pada tahun 1299 M), masih menjadi misteri hingga saat ini.
Berikut adalah beberapa hipotesa seputar Gajah Mada, yaitu :
  • Gajah Mada berasal dari Sumatera, dengan asumsi bahwa kata Mada itu di Minangkabau berarti bandel, sementara di Jawa tidak ada kata Mada dalam kosa kata bahasanya. Selain itu gelar Gajah juga diambil dari asal nama binatang yang berada di pulau Andalas itu. Asumsi ini diperkuat dengan kedekatan hubungan antara Gajah Mada dan Adityawarman (pendiri kerajaan Pagaruyung), seorang pangeran Majapahit berdarah Sumatera, kemungkinan Adityawarman lah yang membawa Gajah Mada ke Majapahit.

  • Namun sebagian lainnya menyebut Gajah Mada berasal dari Bali. Masyarakat Bali mempercayai cerita turun temurun yang menyebutkan bahwa, ibu Gajah Mada berasal dari Bali.

  • Ada juga yang mengatakan bahwa, Gajah Mada berasal dari suku Dayak Krio di Kalimantan Barat. Hal ini merujuk pada kisah nenek moyang suku Krio yang menceritakan tentang seorang Panglima besar dayak bernama Jaga Mada yang diutus ke Jawa Dwipa untuk menguasai tanah Jawa.

  • Kemudian ada juga yang menyebut bahwa Gajah Mada itu berasal dari Mongol. Gajah Mada disebutkan sebagai utusan Raja Kubilai Khan yang dikastrasi dengan gelar Gajah Mada. Majapahit hanyalah kerajaan yang muncul bersama munculnya patih Gajah Mada. Hilangnya patih Gajah Mada juga bersamaan dengan hilangnya kerajaan Majapahit. Dialah patih yang memperbudak rajanya untuk kekuasaan kerajaan Cina dibawah Kubilai Khan.

  • Namun berdasarkan sumber lain, seperti babad dan prasasti disebutkan bahwa, Ayah Gajah Mada adalah Menak Madang, atau cucu Begawan Sukerti (Gajah Mada -wetboek), kemudian istri Gajah Mada, Ken Bebed dan Ni Luh Ayu Sekarini (Bali), ibunya Aria bebed. (Prasasti Aria Bebed), juga Gajah Mada hubungannya dengan Raja Bali Bedhamuka (Babad Pungakan Timbul; Gajah Mada hubungannya dengan Hyang Kepakisan (Babad Triwangsa).

  • Disamping itu disebutkan bahwa Gajah Mada, di hari tuanya masuk Islam (mualaf). Pada nisan yang “diyakini” masyarakat sekitar adalah makam Gajah Mada di Mojokerto, terdapat tulisan ‘LaIlaha Illallah Muhammad Rasulullah’ yang menunjukkan bahwa Patih yang dikenal masyarakat sebagai Syeikh Mada setelah pengunduran dirinya sebagai Patih Majapatih ini adalah seorang muslim.


Asal usul Gajah Mada

Menurut kronik Cina, Shi Bi dan Ike Mese yang kembali ke Cina pada tahun 1293, konon mendapat hukuman dari Kubilai Khan karena kegagalan yang menimpa pasukannya. Shi Bi dihukum 70 x cambukan dan sepertiga hartanya disita. Ike Mese juga dihukum 17 x cambukan dan sepertiga harta kekayaannya juga disita. Mereka bisa mendapatkan kembali gelar dan harta kekayaannya melalui Kaisar yang baru setelah Kubilai Khan meninggal. Sedangkan Kau Hsing/Gao Xing yang pulang belakangan, justru diberi penghargaan atas jasa-jasanya oleh Kaisar Mongol dan dihadiahi 50 tail emas karena melindungi pasukan dari kehancuran total.

Saat itu Kau Hsing justru memutuskan untuk tidak ikut kembali ke Mongol, melainkan dia membawa beberapa sisa-sisa pasukan berlayar ke arah timur menuju Buton.

Kau Hsing atau lebih dikenal dengan sebutan Dungku Cangia di Buton, ternyata sebelumnya telah menempatkan putri Wa Kaa Kaa didampingi pengawal pribadinya Sri Aden dan beberapa pasukannya di sebuah wilayah yang dikenal bernama Tobe Tobe di daerah Buton.

Kemungkinan Kau Hsing inilah yang diutus oleh Raden Wijaya ke Cina untuk berdamai pada tahun 1297, sehingga dia akhirnya mendapatkan penghargaan dari Kaisar Mongol.

Di Buton, Kau Hsing bertemu dengan Mia Patamia yang terdiri dari Si Panjonga, Si Jawangkati, Si Malui dan Si Tamanajo, adalah pendatang yang berasal dari tanah Melayu, yang telah lebih dulu mendiami wilayah Buton.

Kemudian datanglah rombongan Raden Sibahtera yang diutus oleh Raden Wijaya untuk membuat Bandar di pulau Buton (sejarah Perak Buton, Assajaru Haliqa Darul Bathniy Wa Darul Munajat dan Hikayat Negeri Buton). Raden Sibahtera /Sibatara/Sri Batara adalah seorang Musafir dari Dinasti Fatimiyah di Timur Tengah yang telah menjadi pembesar Kerajaan. Raden Sibahtera akhirnya menikah dengan Wa Kaa Kaa, Ratu pertama kerajaan Buton.

Rombongan dari Jawa berikutnya adalah kakak beradik bernama Raden Jutubun (Bau Besi) disertai adiknya Lailan Manggraini. Si Jawangkati akhirnya menikah dengan Lailan Manggraini. Disebutkan ayah Gajah Mada adalah Menak Madang (Gajah Mada -wetboek). Bisa jadi Si Jawangkati identik dengan Menak Madang. Awal nama Menak/Minak memang ada di kerajaan Melayu khususnya Tulang Bawang, sebuah kerajaan dibawah Sriwijaya. Nama-nama yang dikenal dari kerajaan Tulang Bawang antara lain, Minak Sebala Kuwang, Minak Tabu Gayaw, Minak Kemala Bumi/Minak Pati Pejurit, Minak Kemala Bumi, Minak Sengecang, Minak Sengaji, Minak Indah/Gemol, Menak Makdum dan Menak Melako.

Sepeninggal Si Jawangkati, Lailan Manggraini memutuskan pulang ke Jawa. Kemungkinan saat itu Lailan Manggraini sedang hamil muda. Waktu kepulangannya ke Jawa, diperkirakan ikut rombongan ekspedisi Pamalayu pimpinan Kebo anabrang pada 1293, yang kembali dari Melayu/Sumatra dan diperkirakan singgah dulu di Buton sebelum melanjutkan perjalanan ke Majapahit. Sesampainya di Jawa, Lailan Manggraini memutuskan menjadi pendeta di Lemah surat di sebelah selatan wilwatikta (Majapahit) dan bertemu dengan Ki Sidowayah yang juga berniat menjadi pendeta (sejalan dengan keterangan bahwa Ki Sidowayah yang tidak memiliki istri).

Hal ini sejalan dengan sejarah Babad Bali. Setelah disucikan (diabhiseka menjadi pendeta) oleh Mpu Ragarunting di Lemah Surat, lalu kedua orang dari wilwatikta tersebut diberi nama Curadharmawysa dan Nariratih. Namun karena kandungan Nariratih semakin membesar, sehingga untuk menutup malu ditemani Curadharmawysa pergi meninggalkan Lemah surat, mengembara ke hutan-hutan tanpa tujuan, dengan maksud menunggu waktu hingga Patni Nariratih melahirkan. Pada saat mau melahirkan mereka sudah berada didekat gunung Semeru dan dari sana mereka menuju kearah Barat Daya, lalu sampailah di sebuah desa yang bernama desa Maddha. Pada waktu itu hari sudah menjelang malam dan Patni Nariratih mau melahirkan, lalu diajak ke sebuah “Balai Agung” yang terletak pada kahyangan di desa Maddha tersebut. Di tempat tersebut Nariratih akhirnya melahirkan.

Hal ini juga sejalan dengan Folklore Mada tentang cerita Dewi Andongsari bahwa, pada saat putranya masih kecil Dewi Andong Sari meninggal dan dimakamkan di atas bukit di desa Cancing, Gunung Ratu yang terletak di ketinggian sekitar 700 meter di atas permukaan laut, berada di wilayah Kecamatan Ngimbang, Lamongan. Bayi anak Dewi Andong Sari oleh Ki Sidowayah (yang tidak memiliki istri) lalu dititipkan pada janda (keturunan) Warawuri yang tinggal di desa Mada Lamongan.

Jadi kemungkinan besar Ki Sidowayah identik dengan Curadharmawysa dan Dewi Andong Sari identik dengan Nariratih atau Lailan Manggraini. Ki Sidowayah tidak memiliki istri karena memang dia seorang pendeta.

Mengingat orangtua asuhnya janda (keturunan) Wurawuri adalah beragama Hindu/Budha, maka kemungkinan di masa kecilnya, Gajah Mada menganut agama lama atau sebelum Islam, yaitu Hindu/Budha atau mengikuti agama orang tua asuhnya.

Ketika berumur 14 tahun, Gajah Mada bertemu dengan Eyang Wungkuk Hanuraga/Ki Hanuraga, Sesepuh Generasi ke III yang terkenal dengan sebutan “Seruling Gading”yang saat itu sedang berkelana mengelilingi Nusa Ning Nusa (Nusantara). Hal ini dikaitkan dengan Parampara Paiketan Paguron Suling Dewata, disebutkan Mahayogi Hanuraga menemukan I Dipa/Jaka Mada (Gajah Mada) dipinggiran hutan dalam keadaan pingsan, antara hidup dan mati, akibat makan “Ong Brahma” sebuah jamur berwarna merah sebesar niru. Karena kasihan Mahayogi Hanuraga mengobati dan menyembuhkan luka dalam Gajah Mada. Dari Ki Hanuraga-lah Gajah Mada belajar ilmu silat dan kanuragan serta belajar ilmu ketatanegaraan.

Sedangkan kaitannya dengan Ki Soma Kepakisan (Guru dari Kebo Iwa), Ki Soma adalah saudara seperguruan dari I Dipa (Gajah Mada). Mereka berdua adalah murid dari Ki Hanuraga. Sehingga tidak mengherankan jika Gajah Mada memiliki ilmu kesaktian yang tinggi dan setelah menjadi patih Majapahit dan terjadi kekosongan di Bali (akibat diserang Adityawarman dan Gajah Mada), menunjuk putra - putri keturunan dari saudara seperguruannya yaitu Ki Soma Kepakisan/Ida Kresna Soma Kepakisan (putra bungsu Mpu Tantular), menjadi raja di Bali yang juga bergelar Sri Kresna Kepakisan. Dan menjadi masuk akal, kenapa Kebo Iwa percaya dan mau diajak ke Majapahit, karena notabene Gajah Mada adalah paman gurunya.

Berita Pararaton menyebutkan bahwa pada saat Singasari runtuh diserang Jayakatwang dari Gelang-gelang/ Kediri. Raden Wijaya, menantu Kertanegara disertai dengan pengawal/ teman-teman setianya seperti Lembusora, Nambi, Ranggalawe, Gajah Pagon, Banyak Kapuk, Medang Dangdi dan Lembu Peteng, akhirnya mengungsi ke utara dengan tujuan Madura meminta perlindungan Arya Wiraraja. Dalam perjalanan Raden Wijaya tiba di hutan kawasan Telaga Pager di desa Pandakan dan diterima oleh kepala desa bernama Macan Kuping. Gajah Pagon yang telah bertempur hebat melawan tentara Kediri terkena tombak di pahanya, akhirnya dititipkan kepada Macan Kuping. Setelah penghulu Desa Pandakan itu meninggal, Gajah Pagon memutuskan tidak kembali ke Majapahit dan menggantikan Macan Kuping menjadi penguasa daerah Pandakan, Pasuruan.

Setelah remaja, I Dipa/Jaka Mada diajak oleh Ki Gede Sidowayah ke Songgoriti, Malang (Folklore Mada). Berarti dari sanalah Gajah Mada mulai meniti kariernya sebagai prajurit atau bekel, kemudian menjadi pimpinan pasukan Bhayangkara (pasukan khusus setingkat kompi yang bertugas menjaga keamanan istana), hingga mencapai jabatannya sebagai Mahapatih Majapahit, sebuah jabatan tertinggi dibawah Raja Majapahit.

Lalu dari Songgoriti, Malang ke Majapahit lewat mana dan diterima di Majapahit atas referensi siapa? Ada 2 (dua) kemungkinan yaitu, via Pandakan, Pasuruan dan bertemu dengan Gajah Pagon atau via Daha, Kediri dan bertemu dengan Patih Daha saat itu yaitu Arya Tilam……

Galih R

Tidak ada komentar:

Posting Komentar