
KH Muhammad Kholil.
Muhammad Kholil menjadi ulama kebanggaan bangsa ini. Selain cerdas dalam ilmu-ilmu agama, terutama dalam bidang fikih, ia juga termasuk salah seorang pejuang.
Ia sangat menentang penjajahan Belanda. Sebab, selain tidak manusiawi, Belanda juga bukan bagian dari Muslim sehingga tak patut memimpin rakyat Indonesia yang sebagian besar Muslim.
Ia lahir pada Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, yang berada di ujung barat Pulau Madura.
Ia berada dalam lingkungan Islami karena lahir dari seorang ulama terkemuka di daerah itu, yaitu Abdul Latif. Jika ditelusuri garis keturunannya lebih lanjut, ia masih punya darah dari Sunan Gunung Jati.
Dengan didikan orang tuanya yang seorang ulama besar, sejak kecil Kholil ditempa dengan ilmu-ilmu agama. Ayahnya punya cita-cita anaknya ini kelak akan menjadi seorang ulama terkemuka bangsa ini.
Kepercayaan ayahnya ini pun terbukti. Kholil kecil sudah memperlihatkan kecerdasannya dalam ilmu agama. Sifat-sifat seorang pemimpin pun telah dimilikinya, misalnya, tegas, berani membela yang benar, jujur, dan tidak sombong.
Kholil kecil pun terlihat selalu haus akan ilmu, terutama ilmu fikih dan nahwu. Dalam usia yang masih hijau, ia sudah bisa menghafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu nahwu). Setelah cukup umur, orang tua Kholil pun kemudian mengirimkannya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.
Kholil muda kemudian berkesempatan untuk belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan, ia kemudian juga menimba ilmu ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan.
Selama menjadi santri, Kholil telah menghafal beberapa matan (tata bahasa Arab), seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik. Ia juga seorang hafiz Alquran. Ia mampu membaca Alquran dalam Qiraat Sab'ah.
Ia juga lama menuntut ilmu di Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok pesantren ini, ia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri yang berjarak tujuh kilometer dari Keboncandi.
Ia sengaja setiap hari menempuh perjalanan jauh hanya demi belajar kepada Kiai Nur Hasan ini. Sebab, ia mengagumi akan ilmu-ilmu dan cara mengajarnya.
Namun, kiai yang menjadi gurunya ini masih punya hubungan saudara dengan keluarganya. Ia memilih untuk tidak tinggal bersama gurunya ini karena tak ingin merepotkan keluarga serta menunjukkan sikapnya yang selalu ingin mandiri.
Ia tidak pernah mengeluh karena menempuh perjalanan jauh setiap hari dengan berjalan kaki. Justru, ia menghabiskan waktu saat menempuh perjalanan jauh ini dengan membaca surat-surat dalam Alquran, terutama surah Yasin.
Di Keboncandi, Kholil menghidupi dirinya dengan menjadi buruh batik. Padahal, sebenarnya keluarga besarnya merupakan keluarga yang terpandang dalam hal ekonomi.
Sikap mandirinya juga ditunjukkan pada usahanya agar bisa menuntut ilmu agama di Makkah. Alih-alih minta ongkos kepada orang tuanya yang kaya, ia justru mengumpulkan uangnya sendiri dari sen ke sen.
Ia menjadi buruh pemetik kelapa, sering melakukan pekerjaan rumah tangga, seperti mencuci baju, mengisi bak mandi, serta masak untuk teman-teman santrinya. Dengan ini, ia bisa makan gratis walaupun seadanya sedangkan upah buruh memetik kelapa sebesar 2,5 sen setiap harinya ditabung untuk biayanya pergi ke Makkah nanti.
Pada 1859, saat usianya mencapai 24 tahun, Kholil akhirnya mampu untuk pergi ke Makkah. Ia belajar dari banyak guru agama di Masjidil Haram. Hingga akhirnya, ia merasa cukup dan pulang kembali ke Tanah Air. Setelah Kholil pulang, ia selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar satu kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.
Di sinilah pendiri NU, KH Hasyim Asyari, menuntut ilmu darinya. Sebenarnya, mereka bertemu dan belajar ilmu agama bersama di Makkah, namun Hasyim Asyari menuakan Kholil dan menganggap ilmunya lebih tinggi sehingga sepulangnya ke Tanah Air, ia pun rela pergi ke Madura untuk belajar ilmu agama lebih dalam lagi.
Masa hidup Kholil selalu berhadapan dengan gejolak perlawanan rakyat pada penjajah. Namun, ia tak terjun langsung mengangkat senjata untuk melakukan perlawanan. Ia menempuh caranya sendiri, yaitu dengan jalur pendidikan.
Ia tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata, tetapi mendidik para kader pemuda di pondok pesantren yang dibenamkan rasa perjuangan dan perlawanan pada penjajah.
Di pesantrennya, ia selalu mendidik para santrinya agar bisa menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh, dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya. Kholil pun tak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.
Selain pendiri NU dan pendiri Pondok Pesantren Tebu Ireng, yaitu KH Hasyim Asyari, murid-murid Kholil lainnya yang menjadi ulama besar, di antaranya, KH Abdul Wahhab Hasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambakberas, Jombang), KH Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar), KH Ma'shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang), KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), KH As'ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo), dan banyak lagi.
Pada usia 106 tahun, tepatnya pada 29 Ramadhan 1341 Hijriyah atau 14 Mei 1923 Masehi, M Kholil berpulang. Meski ia telah tiada, dasar-dasar pendidikan dan pemikirannya telah tertoreh pada sejarah perjuangan bagi bangsa ini.
Rosita Budi Suryaningsih
Redaktur : Chairul Akhmad
Tidak ada komentar:
Posting Komentar