
Al-Muiz (341-362 H/952-975 M) Khalifah keempat Dinasti Fatimiyah
KITA baru saja memasuki tahun baru 1435 Hijriah. Kini kita berada pada bulan Muharram yang merupakan bulan pertama dari Tahun Baru Islam. Tulisan kali ini akan mengangkat tentang dihapuskannya pemerintahan Dinasti Fatimiyah yang juga terjadi pada bulan Muharram, lebih dari delapan setengah abad yang lalu.
Dinasti Fatimiyah didirikan pada tahun 909 Masehi oleh Ubaydillah al-Mahdi (w. 934). Ia mengaku sebagai keturunan Ismail bin Ja’far al-Shadiq yang nasabnya bersambung pada Ali bin Abi Thalib dan Fatimah ra., walaupun kebanyakan ulama tidak mengakui nasabnya. Ubaydillah dan para pengikutnya menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah dan menjadikan ajaran ini sebagai dasar pemerintahan pada dinasti yang didirikannya. Gerakan dakwah Ismailiyah sendiri telah berjalan secara rahasia sejak masa-masa sebelumnya, oleh para pendahulu Ubaydillah.
Pada awal masa pemerintahannya, wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyah hanya mencakup wilayah Tunisia dan sekitarnya. Namun enam dekade kemudian, yaitu pada tahun 969 M, wilayah kekuasaannya meluas hingga ke Mesir dan dinasti ini menjadikan Kairo sebagai ibu kota pemerintahannya yang baru. Dalam kebijakan luar negerinya, Dinasti Fatimiyah menjadikan pemerintahan Abbasiyah sebagai rival utama pemerintahannya. Para pemimpin Fatimiyah tidak mengakui Kekhalifahan Abbasiyah dan menyebut diri mereka sendiri sebagai Khalifah yang sah. Hal itu mendorong pemerintahan Fatimiyah melakukan ekspansi ke arah Timur, mendekat ke pusat pemerintahan Abbasiyah, bukannya ke Eropa yang berada di bagian utaranya, atau melintasi Sahara Afrika di bagian selatannya.
Sifatpermusuhan ini tergambar pada sebuah kisah yang dituturkan oleh seorang dai Syiah Ismailiyah pada masa itu, yaitu al-Muayyad fil Din al-Shirazi (w. 1078). Kisahtersebut sebenarnya ditujukan untuk menyindir seorang tokoh Syiah Zaidiyah yang berpihak pada kalangan Ahlu Sunnah, tapi pada saat yang sama juga memperlihatkan hakikat dan sasaran permusuhan kaum yang mengklaim kecintaan terhadap Ahlul Bait ini.
Al-Mu’ayyad bercerita bahwa pada suatu masa ada satu orang Syiah yang menyertai sekumpulan Sunni berjihad melawan Byzantium. Mereka kemudian tertangkap dan dipenjarakan. Belakangan, satu persatu rekannya dibebaskan hingga tinggal orang Syiah ini yang masih tersisa. Ia kemudian dihadapkan ke depan Kaisar Byzantium dan ditanya, “Siapa orang ini?” Ia menjawab bahwa ia merupakan seorang Syiah.
Kaisar kemudian bertanya lagi, “Apa maknanya ini – Syiah?”
“Saya adalah pengikut Ali bin Abi Thalib,” jawabnya.
“Dan siapakah Ali bin Abi Thalib?”
“Keluarga Muhammad, Utusan Tuhan, dan yang merupakan wakil (penerima wasiat) yang sah darinya.”
“Apa yang terjadi pada Ali selepas wafatnya Muhammad?”
“Ia dibunuh.”
“Apakah kami yang membunuhnya?” tanya Kaisar Byzantium.
“Tidak,” jawabnya.
“Kalau begitu siapa?”
“Kaum Muslimin.”
“Apakah ia memiliki anak-anak dan keturunan?”
“Ya, dan yang tertinggi di antara mereka adalah al-Hasan dan al-Husain, putera-putera dari puteri Rasulullah, semoga keberkahan dan kedamaian selalu terlimpah atasnya.”
“Apa yang terjadi pada mereka?”
“Al-Hasan diracun dan al-Husain dibunuh, dan keluarganya ditawan.”
“Apakah kami yang melakukan hal itu terhadap mereka?”
“Tidak.”
“Kalau begitu siapa?”
“Kaum Muslimin.”
“Jadi musuh-musuh kamu adalah dari kalangan Muslim, dan bapak serta orang-orangmu membunuh mereka (tokoh-tokoh yang dijadikan imam oleh kalangan Syiah), dan kamu datang ke sini untuk memerangi Byzantium yang tidak melakukan kejahatan apa-apa terhadapmu? Mengapa?”
Melalui kisah ini, secara tidak langsung al-Mu’ayyad menjelaskan bahwa musuh mereka yang sesungguhnya adalah dari kalangan Muslim sendiri, dalam hal ini Ahlu Sunnah. Hal ini menjelaskan mengapa Fatimiyah melakukan ekspansi ke arah pusat pemerintahan Abbasiyah dan bukannya ke negeri-negeri non-Muslim.
Wilayah kekuasaan Dinasti Fatimiyah mencapai puncaknya pada paruh pertama abad ke-11, yang mencakup Afrika Utara, Mesir, Suriah, Hijaz (Makkah-Madinah), dan Yaman. Ekspansi secara militer bukan satu-satunya metode yang digunakan oleh Fatimiyah. Selain cara-cara militer, dinasti ini juga mengembangkan pendekatan dakwah untuk mengajak masyarakat kepada ajaran Ismailiyah. Para juru dakwah Ismailiyah bergerak secara terorganisasi dan dikendalikan oleh semacam kementerian khusus yang dipimpin oleh seorang pimpinan tertinggi juru dakwah (da’i al-du’at) di Kairo. Para dai Ismailiyah menyusup ke berbagai wilayah Sunni ataupun non-Ismailiyah lainnyauntuk mengajak masyarakat kepada ajaran Syiah Ismailiyah. Mereka merahasiakan keyakinan dan dakwah mereka di wilayah yang mayoritasnya menganut Sunni sehingga yang terakhir ini menyebut kalangan Syiah Ismailiyah sebagai kaum Batiniyah. Kombinasi dakwah dan militer ini membawa pemerintahan Fatimiyah ke puncak kekuatannya dan menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagi pemerintahan Abbasiyah.
Pada akhir tahun 1050-an, Dinasti Fatimiyah menjadi pendukung utama – dengan memberikan dana dan persenjataan – bagi pemberontakan yang dilakukan oleh Abul Harith al-Basasiri di Baghdad. Misi untuk menguasai Baghdad melalui peranan al-Basasiri (w. 1059) dan beberapa pihak lainnya dipimpin oleh seorang petinggi pemerintahan Fatimiyah ketika itu, yaitu al-Muayyad al-Shirazi. Ia nantinya diangkat menjadi kepala dai (da’i al-du’at) Ismailiyah setelah kembali dari menjalankan tugas tersebut. Pemberontakan al-Basasiri berhasil dan selama satu tahun lamanya, yaitu pada tahun 1058-1059, nama Khalifah Fatimiyah disebut sebagai pengganti Khalifah Abbasiyah dalam khutbah-khutbah Jum’at di pusat pemerintahan Sunni itu. Al-Muayyad menyambut berita itu dengan syair: “(Itu adalah) sebuah hari yang muram bagi putera Abbas, yang di dalamnya ia menyaksikan kematian pada tubuhnya di depan matanya. Ia menghabiskan malamnya tersandung pada ekor-ekor kehinaan, menukar ruang pertemuannya yang besar dengan kurungan penjara yang sempit.”Bagaimanapun, pemberontakan ini pada akhirnya dapat ditumpas oleh Dinasti Turki Saljuk yang masuk ke pusat pemerintahan di Baghdad dan Kekhalifahan Abbasiyah bangkit kembali setelah itu.
Selepas kejadian di atas, terjadi titik balik di kedua pemerintahan. Dinasti Abbasiyah mengalami penguatan bersama dengan masuknya Dinasti Saljuk ke Baghdad dan dengan terjadinya kebangkitan Ahlu Sunnah di pemerintahan tersebut. Sementara itu, Dinasti Fatimiyah mulai mengalami kemunduran secara gradual. Wilayah Suriah, Hijaz, dan Yaman kembali menjadi bagian dari Kekhalifahan Abbasiyah, dan Fatimiyah terdesak ke Mesir dan Afrika Utara. Walaupun Dinasti Saljuk mengalami perpecahan pada akhir abad ke-11 dan diikuti dengan terjadinya perang salib di wilayah Suriah, tren kebangkitan Ahlu Sunnah dan kemunduran Syiah Ismailiyah sendiri tidak mengalami perubahan.*/
Era Shalahuddin al-Ayyubi dan Kemunduran Syiah
Pada pertengahan abad ke-12, masyarakat Sunni di Suriah semakin kuat dan bersatu di bawah pemerintahan Nuruddin Mahmud bin Zanki (w. 1174), sementara Dinasti Fatimiyah terus mengalami kemerosotan. Politik Fatimiyah sangat tidak stabil, para wazir naik dan turun silih berganti dalam waktu cepat, dan proses suksesi selalu diikuti tindak kekerasan dan pertumpahan darah. Ketika pada tahun 1160-an orang-orang Frank (tentara salib) berambisi untuk menguasai Mesir, Nuruddin terpaksa mengambil langkah yang sama. Bagaimanapun, tentara Nuruddin masuk ke wilayah Mesir beberapa kali atas permintaan pemimpin Mesir sendiri, termasuk Khalifah Fatimiyah yang terakhir, al-Adid (w. 1171). Kompetisi memperebutkan Mesir ini akhirnya dimenangkan oleh Nuruddin yang pasukannya ketika itu dipimpin oleh Asaduddin Shirkuh (w. 1169) dan keponakannya, Shalahuddin al-Ayyubi (w. 1193). Shirkuh meninggal dunia tak lama setelah menguasai Mesir dan kedudukannya segera digantikan oleh Shalahuddin yang umurnya baru sekitar 32 tahun.
Shalahuddin diangkat sebagai wazir Mesir oleh Khalifah Fatimiyah, walaupun pada saat yang sama ia juga merupakan salah seorang anak buah Nuruddin. Shalahuddin berhasil menghadapi pemberontakan dari sisa-sisa kekuatan politik Fatimiyah dan secara bertahap melakukan pergantian birokrasi pemerintahan dari kalangan Syiah kepada kalangan Sunni. Proses ini berjalan selama dua tahun, antara tahun 1169 dan 1171, dan pemerintahan Fatimiyah yang sudah terlalu mundur itu secara perlahan tapi pasti berkembang menjadi pemerintahan yang lebih kuat dan stabil. Walaupun demikian, Kekhalifahan Fatimiyah sendiri tidak serta merta dihapuskan, karena Shalahuddin khawatir masih ada banyak orang di Mesir yang secara diam-diam mendukung Kekhalifahan Fatimiyah. Khalifah Abbasiyah di Baghdad dan Nuruddin di Damaskus beberapa kali mendesak Shalahuddin agar segera menghapus Dinasti Fatimiyah dan membacakan doa secara resmi untuk Khalifah Abbasiyah pada waktu shalat Jum’at.
Shalahuddin masih merasa bimbang dan mencari waktu terbaik untuk menjalankan hal itu ketika sebuah jalan terbuka baginya. Al-Adid, Khalifah Fatimiyah, mengalami sakit keras. Shalahuddin mengumpulkan para emirnya dan meminta pendapat mereka tentang rencana penghapusan Dinasti Fatimiyah. Sebagianemir bawahan Shalahuddinternyata masih merasa khawatir terhadap kemungkinan perlawanan rakyat Mesir jika hal itu dilaksanakan, walaupun mereka juga merasa tidak mampu menolak perintah Nuruddin.
Saat Shalahuddin dan para emirnya sedang menimbang-nimbang, seorang ulama Persia yang sedang berada di Mesir mengambil sebuah tindakan. Ia melakukan inisiatif pribadi untuk memberikan doasecara terbuka bagi Khalifah Abbasiyah. Hal ini ia lakukan pada hari Jum’at pertama di bulan Muharram 567 H, yang bertepatan dengan 3 September 1171 M. Sebelum khatib menaiki mimbar, ulama ini berdiri di mimbar dan membacakan doa bagi al-Mustadi’ bi Amr Allah, Khalifah Abbasiyah ketika itu. Ternyata tidak ada satu pun orang yang memprotes perbuatannya tersebut.
Maka pada hari Jum’at kedua di bulan Muharram(10 September 1171), Shalahuddin memerintahkan para khatib Jum’at di Kairo Lama dan Kairo Baru untuk tidak lagi membacakan doa bagi al-Adid dan menggantinya menjadi doa bagi Khalifah Abbasiyah. Para khatib melaksanakan hal ini dan tidak ada seorang pun yang memprotesnya, apalagi sampai melakukan pemberontakan. Pada hari-hari Jum’at berikutnya, pergantian doa khutbah ini dijalankan ke seluruh negeri Mesir. Hal ini menandai berakhirnya secara resmi Kekhalifahan Fatimiyah yang telah berlangsung selama lebih dari satu setengah abad. Al-Adid yang sedang sakit parah tidak mengetahui bahwa kekhalifahannya telah dihapus.
Anggota keluarga al-Adid memutuskan untuk tidak memberitahunya tentang hal itu. “Jika ia sembuh, maka ia akan tahu dengan sendirinya,” kata mereka, “Tapi jika ia akan meninggal dunia, maka tidak tepat untuk membebaninya dengan perubahan keadaan ini sebelum kematiannya.” Al-Adid ternyata memang meninggal dunia pada minggu kedua di bulan Muharram itu juga, tepatnya pada tanggal 13 September 1171 M, yang bertepatan dengan hari Asyura (10 Muharram). Ia meninggal dunia tanpa mengetahui apa yang telah terjadi pada kekhalifahan dan tanpa adanya penerus kekuasaannya. Tanggal-tanggal di atas adalah menurut penuturan Ibn al-Athir dalam al-Kamil fil Ta’rikh. Adapun menurut Ibn Khallikan dalam Wafayat al-A’yan, al-Adid wafat pada hari Senin tanggal 12 Muharram.
Saat mendengar wafatnya al-Adid, Shalahuddin berkata, “Kalau kami mengetahui bahwa ia akan meninggal dunia pada waktu ini, kami tidak akan menyedihkannya dengan menghapuskan namanya pada khutbah Jum’at.” Shalahuddin memang seorang yang berjiwa lembut, bahkan terhadap lawan-lawannya sekalipun. Namun kata-katanya ini dibantah oleh al-Qadi al-Fadil, seorang sekretaris di pemerintahan Fatimiyah yang kemudian menjadi sekretaris dan penasihat utama Shalahuddin. “Tapi kalau ia mengetahui bahwa Anda tidak jadi menghilangkan namanya dalam khutbah Jum’at, mungkin ia tidak jadi meninggal dunia,” kata al-Qadi al-Fadil.
Setelah wafatnya al-Adid, keluarganya dipindahkan oleh Shalahuddin ke sebuah tempat di istana dan keperluan mereka diurus oleh beberapa penjaga. Sementara istana Fatimiyah diambil alih oleh Shalahuddin. Seluruh kekayaan yang ada di istana itu dikumpulkanyang jumlahnya sangat banyak. Di antara harta yang ada di Istana itu, sebagaimana disaksikan sendiri oleh Ibn al-Athir,adalah sebuah batu ruby yang beratnya sama dengan 17 keping dirham. Semua benda-benda berharga itu dijual. Budak-budak istana, laki-laki dan perempuan, sebagian diberikan kepada orang-orang, sebagian dibebaskan, dan sebagian lainnya dijual. Shalahuddin tidak mengambilnya sedikit pun dari harta benda di istana itu untuk dirinya sendiri. Semua masuk dalam kas negara dan digunakan sesuai dengan yang dibenarkan oleh syariah.
Dinasti Fatimiyah berakhir bukan melalui aksi kekerasan atau kedzaliman oleh Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi disebabkan kemundurannya sendiri yang telah berlaku sejak beberapa dekade sebelumnya. Masyarakat Mesir sendiri tidak memprotes penghapusan Dinasti Fatimiyah dan memberikan dukungan kepada Shalahuddin disebabkan pemerintahan Shalahuddin yang baik dan karena kemampuannya dalam menjaga wilayah Mesir dari ancaman orang-orang Frank. Mereka juga menyintai Shalahuddin karena sifat zuhud dan sifat dermawan yang dimilikinya. Ia menghapus berbagai bentuk pajak di negeri itu dan banyak membagi-bagikan harta kepada masyarakat.
Hampir dua dekade kemudian, yaitu pada tahun 1189 M ketika Shalahuddin sedang menghadapi Perang Salib III di Suriah, ada dua belas orang Syiah di Mesir yang berusaha melakukan pemberontakan. Mereka memanfaatkan ketiadaan Shalahuddin dan minimnya pasukan di Mesir untuk memprovokasi masyarakat agar memberontak. Pada suatu malam, mereka melalui lorong-lorong kota Kairo dan berseru, “Wahai keluarga Ali, wahai keluarga Ali.” Namun, setelah mereka melakukannya selama beberapa saat, tak ada satu orang pun yang keluar untuk mendukung mereka. Mereka akhirnya ketakutan sendiri karena rencana mereka gagal total dan lari menyembunyikan diri. Namun, tak berapa lama kemudian mereka berhasil ditangkap.
Ketika berita ini sampai di telinga Shalahuddin, ia sempat merasa khawatir terhadap keadaan di Mesir. Namun al-Qadi al-Fadil menenangkannya. “Anda seharusnya merasa gembira karena hal ini, bukannya sedih atau khawatir, karena (sekarang) Anda telah mengetahui bahwa rakyat Anda menyintai Anda di dalam hatinya dan setia (pada Anda) serta meninggalkan segala kecenderungan terhadap musuh Anda,” kata al-Qadi al-Fadil. Apa yang dikatakan oleh al-Qadi al-Fadil memang benar. Masyarakat Mesir menghargai apa yang telah dilakukan oleh Shalah al-Din serta pemerintahannya yang baik. Pemerintahan Fatimiyah atau yang semisal dengannya tidak pernah muncul lagi di Mesir sejak keruntuhannya pada tahun 1171 M.*/Jakarta, 1 Muharram 1435/ 5 November 2013
Daftar Pustaka
Ibn al-Athir. The Chronicle of Ibn al-Athir for the Crusading Period from al-Kamil fi-l-Ta’rikh, part 2, The Years 541-589/ 1146-1193: The Age of Nur al-Din and Saladin. Farnham: Ashgate. 2010.
Ibn Khallikan. Ibn Khallikan’s Biographical Dictionary, vol. I (diterjemahkan dari Wafayat al-A’yan oleh B Mac Guckin de Slane). Paris: Oriental Translation Fund of Great Britain and Ireland. 1843.
Klemm, Verena. Memoirs of a Mission: The Isma’ili Scholar, Statesman and Poet al-Mu’ayyad fi’l-Din al-Shirazi. London: I.B. Tauris. 2003.
Qutbuddin Tahera.Al-Mu’ayyad al-Shirazi and Fatimid Da’wa Poetry. Leiden: Brill. 2005.
Rep: -
Editor: Cholis Akbar
Alwi Alatas
Penulis adalah penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib” kolumnis , kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar