
WIKI
para ulama Jabal Amil, berperan besar dalam menjadikan pemahaman Syiah di Iran pada masa ini
Nasrallah Falsafi (w. 1981), seorang sejarawan Iran, dalam bukunya “Zindagani-yi Shah Abbas” menyebutkan jika orang tidak menjawab kutukan terhadap Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra, maka mereka boleh dibunuh di tempat
Pendahuluan
TULISAN ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya tentang Dinasti Safawi dan Konversi Syiah di Iran. Sejarah berkaitan dengan Dinasti Safawi sebenarnya telah banyak ditulis. Sumber-sumber awal sejarah kerajaan ini banyak yang ditulis dalam bahasa Persia dan Turki-Azerbaijan. Walaupun demikian, cukup banyak akademisi yang mengkaji sumber-sumber ini secara mendalam.Konversi Syiah di Iran yang dilakukan oleh Dinasti Safawi,termasuk dengan digunakannya cara-cara kekerasan dan pemaksaan, terutama pada periode awal pemerintahan Safawi, telah banyak disebutkan dalam buku-buku sejarah yang membahas sejarah Dinasti Safawi.Iran menjadi negeri yang dominan dengan penganut Syiah dapat dikatakan bermula dengan berdirinya Kerajaan Safawi pada abad ke-16.Gerakan Safawi merupakan, meminjam kata-kata Abbas Amanat (2009: 1), “the genesis of today’s Shi’i Iran.”
Sikap keberagamaan pemerintah Safawi sendiri secara perlahan bergeser, dari sikap yang ekstrim dan cenderung kepada pemahaman Syiah ghulat kepada pemahaman yang lebih sejalan dengan para teolog itsna Asy’ari.Seiring dengan ini, pola konversi pun bergeser juga, dari pendekatan kekerasan kepada peningkatan peranan ulama Syiah.
Tentang sikap ekstrim Shah Ismail I(w. 1524), pendiri kerajaan Safawi, misalnya, terlihat jelas dalam kumpulan puisi yang dibuat oleh Ismail dan dikenal dengan nama “Khata’i’s Divan”. Puisi yang ditulis dalam bahasa Turki-Azerbaijan ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikaji oleh V. Minorsky (1942), seorang peneliti Rusia, dan diterbitkan dalam Bulletin SOAS. Walaupun menggunakan nama pena khata’i yang secara bahasa bermakna ‘si pendosa’, puisi-puisi Ismail berisi penuhanan terhadap Ali bin Abi Thalib serta penuhanan terhadap diri Ismail sendiri.
Dalam salah satu bagian puisinya ia menulis: “Nama saya Shah Isma’il. Saya adalah misteri Tuhan …. Ibu saya Fatimah, ayah saya Ali; dan saya adalah murid Imam dua belas. Saya memulihkan darah ayah saya dari Yazid.”Pada bagian lainnya ia menyeru para pengikutnya: “Datanglah pada saya, bersujudlah (sijda) kalian. Saya adalah keyakinannya sang Shah.” Ia juga mengatakan, “Misteri Ana’l-Haqq tersembunyi di dalam hati saya. Saya adalah Kebenaran yang Absolut itu (Tuhan) dan apa yang saya katakan adalah Kebenaran.”
Tentang Ali, dalam salah satu bagian pusinya Ismail berkata: “Mereka yang tidak mengakui Ali sebagai Kebenaran (Tuhan) merupakan orang-orang kafir mutlak. Mereka tidak memiliki syahadat, tidak memiliki iman, dan bukan Muslim.” Pada bagian lain ia menulis, “Jangan sebut seorang manusia dia yang membuka bagi dunia pintu Islam, kenali dia sebagai Tuhan …. Dia adalah Tuhan (Haqq) dan turun dari langit ke bumi, untuk menunjukkan dirinya pada orang-orang…. Namanya ada seribu, sifatnya ada sejuta, siang dan malam berotasi atas perintahnya.Salah satu namanya adalah Ali,tapi ia adalah pencipta dunia.”
Ekstrimitas pandangan keagamaan Ismail bertemu dengan fanatisme para pengikutnya dari kalangan qizilbash yang memujanya seperti Tuhan.Sikap Ismail yang tegas untuk menjadikan Syiah sebagai agama resmi kerajaannya berujung pada berbagai upaya untuk mengubah keyakinan masyarakat Iran yang mayoritasnya dapat dikatakan masih menganut Ahlu Sunah menjadi berpaham Syiah.Sikap ini kemudian diikuti oleh para penguasa selepas Ismail.
Cara-cara dalam konversi syiah
Ada beberapa langkah atau cara yang dilakukan oleh para penguasa Safawi untuk mengubah masyarakatnya menjadi penganut syiah. Berikut ini merupakan beberapa cara yang cukup menonjol yang digunakan oleh Dinasti Safawi:
Pertama, pemaksaan dan penindasan
Cara-cara ini berlaku terutama pada awal pembentukan kerajaan Safawi oleh Shah Ismail I. Muda dan berpandangan ekstrim, Shah Ismail tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi lawan dan pihak-pihak yang tidak disukainya. Pada tahun 1505 misalnya, ia memerintahkan agar para pemimpin pemberontak yang tertangkap, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup, dibakar di depan umum di kota Isfahan di hadapan duta-duta Turki Utsmani yang kebetulan sedang berada di sana (Sarwar, 1939: 50-1). Ini berlaku sebelum terjadinya konflik dan peperangan antara Turki Utsmani dan Dinasti Safawi.Shah Ismail juga dikatakan menjadikan tengkorak Shaybani Khan, pemimpin orang-orang Uzbek yang berhasil dikalahkannya dalam Pertempuran Marw pada tahun 1510, sebagai wadah untuk minum minuman keras (Sarwar, 1939: 63).
Seperti telah disebutkan pada tulisan sebelumnya, setelah menaklukkan kota Tabriz dan diangkat sebagai raja pertama Dinasti Safawi, Ismail I yang ketika itu baru berumur sekitar empat belas tahun itu menetapkan Syiah itsna asyari sebagai keyakinan resmi negara. Saat khutbah Jum’at pertama sejak pelantikannya, nama dua belas imam Syiah dibacakan dari atas mimbar dan pada masa-masa berikutnya koin dicetak dengan kalimat la ilaha illallah Muhammad Rasulullah wa Ali waliyullah (sarwar, 1939: 39).Ismail mengabaikan kekhawatiran orang-orang di sekitarnya terkait kondisi demografi pada masa itu yang masih didominasi oleh Ahlu Sunnah. “… jika orang-orang mengutarakan satu kata saja untuk memprotes, saya akan mengayunkan pedang dan tidak membiarkan seorang pun dari mereka yang hidup” (Savory, 1980: 29; Stanfield-Johnson, 2004: 47).
Sejak masa itu, tiga khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib ra., yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra., serta pihak-pihak yang dianggap sebagai musuh para Imam Syiah dikutuk secara terbuka dan orang-orang mesti membenarkan kutukan itu dengan perkataan, “Semoga ditambah dan tidak dikurangi (kutukannya, pen.)”. Mengutip tulisan Nasrallah Falsafi (w. 1981), seorang sejarawan Iran, dalam bukunya Zindagani-yi Shah Abbas, Roger Savory (1980: 28) menyebutkan bahwa jika orang-orang tidak menjawab kutukan dengan kata-kata di atas, maka mereka boleh dibunuh di tempat.Orang-orang pada umumnya tidak berani melawan ancaman ini. Adapun para ulama Ahlu Sunnah yang menentangnya, maka sebagian dari mereka dibunuh.Sebagian lainnya memutuskan untuk keluar dari wilayah Safawi dan pindah ke kerajaan yang masih berpegang ajaran Ahlu Sunnah (Savory, 1980: 29).
Ketika Ismail berhasil menguasai kota Herat dan Baghdad, para ulama Sunni di kedua kota ini dieksekusi tanpa belas kasihan karena mereka menolak untuk mengubah keyakinan menjadi Syiah (Jackson et.al., 1986: 218). Pada tahun 1507/8 ketika Shah Ismail menguasai Baghdad, selain terjadi pembunuhan terhadap beberapa tokoh Sunni, beberapa makam ulama Sunni, seperti makam Imam Hanafi dan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani juga mengalami perusakan. Makam-makam ini baru dirapikan kembali setelah Turki Utsmani berhasil mengambil alih kota Baghdad dari tangan Safawi (Gibb at.al., 1986: 903).
Kedua, pembentukan korps tabarra’iyyin
Ini masih ada kaitan dengan poin pertama.Pada masa raja Safawi yang kedua, yaitu Tahmasp (w. 1576), dibentuk sebuah lembaga yang terdiri dari orang-orang yang tugasnya mengutuk atau melaknat para khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib ra.Para juru laknat ini dikenal sebagai tabarra’iyyin.Istilah ini berasal dari bahasa Arab tabarru’ yang bermakna ‘berlepas diri’ atau ‘mengingkari’.Lawan katanya adalah tawalla’ yang bermakna ‘menyatakan kesetiaan’ dan dalam konteks Syiah ditujukan kepada para imam yang dua belas.Pelaknatan semacam ini telah berjalan sejak masa pemerintahan Ismail, dan juga pada masa-masa sebelum era Safawisecara lebih terbatas, tapi menjadi lebih terorganisir pada masa pemerintahan Tahmasp.
Kajian tentang hal ini telah ditulis oleh Rosemary Stanfield-Johnson dalam artikelnya yang berjudul “The Tabarra’iyyan and the Early Safavids” (2004) dan juga “Sunni Survival in Safavid Iran” (1994). Dalam penelitiannya ini, ia antara lain merujuk pada tulisan-tulisan sejarawan era Safawi, seperti Hasan Bik Rumlu yang menulis Ahsan al-Tawarikh, Bizan dengan tulisannya ‘Alam ara-yi Safawi, dan juga Mirza Makhdum Sarifi, penulis Al-Nawaqid li-bunyan al-rawafid. Yang terakhir ini merupakan seorang ulama Sunni yang selama beberapa waktu bertahan di pemerintahann Safawi, tapi pada akhirnya terpaksa berhijrah ke luar wilayah kekuasaan Safawi.
Para juru laknat (tabarra’iyyin) ini memiliki dua peranan.Peran pertama adalah memata-matai masyarakat serta melaporkan orang-orang yang menjalankan praktek-praktek ibadah Ahlu Sunnah.Praktek ibadah yang dimata-matai antara lain pelaksanaan shalat Jum’at yang pada awal masa pemerintahan Safawi tidak diamalkan oleh komunitas Syiah. Penganut Sunni yang khawatir dieksekusi oleh pemerintah kadang terpaksa menyogok para juru laknat agar mereka tidak dilaporkan.
Peran kedua adalah menjalankan dan mengawasi dilaksanakannya ritual kutukan di tengah publik. Dalam hal ini, mereka akan menyerukan laknat terhadap para khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib dan orang-orang mesti menyambutnya dengan perkataan, “Semoga ditambah dan tidak dikurangi (bish bad u kam mabad)”.Praktek ini dilakukan sebagai ekspresi hegemoni Syiah sekaligus penghinaan terhadap komunitas Sunni di wilayah kekuasaan Dinasti Safawi.Ritual pelaknatan ini, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Shah Tahmasp kepada Sultan Turki Utsmani yang menjadi musuhnya, dilakukan “di pasar-pasar, di kawasan-kawasan perumahan, di masjid-masjid, di kampus-kampus, dan dari atas mimbar-mimbar.”
Laknat secara terbuka ini didukung juga olehsebagian ulama Syiah, antara lain oleh Ali al-Karaki (w. 1534), ulama itsna asyari yang menjadi pejabat tinggi agama di pemerintahan Shah Ismail. Namun hal ini dikritik oleh sebagian ulama Syiah lainnya, khususnya yang tinggal di luar Iran, karena khawatir hal itu akan membahayakan komunitas minoritas Syiah. Setelah masa pemerintahan Shah Tahmasp, dapat dikatakan tidak ada lagi institusi resmi yang melakukan laknat di bawah dukungan pemerintah, tetapi praktek laknat ini masih berjalan pada masa-masa berikutnya secara perorangan (Stanfield-Johnson, 2004)
para ulama syiah dari luar Iran
Walaupun keyakinan awal pemimpin Safawi bersifat ghuluw dan cenderung menuhankan Ali, pada perkembangannya kebijakan keagamaan kerajaan ini diarahkan pada tradisi keagamaan yang lebih sejalan dengan teologi yang dianut oleh para ulama Syiah Itsna Asyari.
Ketika Kerajaan Safawi berdiri pada awal abad ke-16, Iran tidak memiliki ulama dan teolog Syiah yang representatif. Bahkan ketika Shah Ismail menguasai kota Tabriz dan menjadikannya sebagai ibukota pemerintahannya, ia hanya dapat menemukan sebuah manuskrip saja yang berkenaan dengan dasar-dasar ajaran Syiah Itsna Asyari (Keddie, 2003: 10). Demikian pula di kota Kashan yang terkenal sebagai tempat pendukung kuat Syiah, selama lebih dari sepuluh tahun pemerintahan Shah Ismail tidak ditemukan seorang ulama Syiah yang kompeten (Turner, 2000: 50).Kota Kashan diyakini oleh masyarakat Syiah setempat sebagai tempat pelarian orang yang telah membunuh Umar bin Khattab ra, yaitu Abu Lu’lu’ah (Fairuz Nahavandi), yang menurut sumber-sumber Sunni mati bunuh diri di tempat kejadian setelah membunuh Umar. Sebuah bangunan besar didirikan di tempat yang dipercayai sebagai makam Abu Lu’lu’ah di Kashan. Pemujaan dan penokohan Abu Lu’lu’ah antara lain dilakukan oleh Dinasti Safawi yang menyebutnya dengan nama Baba Shuja’ al-Din yang kurang lebih bermakna ‘seorang pemberani di jalan agama’ (http://www.cais-soas.com/News/2007/June2007/28-06.htm).
Ketiadaan ulama di Iran ditutupi dengan mengundang para ulama Syiah dari luar Iran, terutama dari wilayah Jabal Amil di Lebanon, yang pada masa itu berkembang sebagai salah satu pusat madrasah Itsna Asyari terpenting dan paling berpengaruh. Para ulama yang menguasai teologi Syiah dan Sunni ini digunakan oleh pemerintahan Safawi untuk mengokohkan Syiah sebagai keyakinan resmi negara (Voll, 1994: 80).Para ulama ini, khususnya para ulama Jabal Amil, berperan besar dalam menjadikan pemahaman Syiah di Iran pada masa ini lebih sejalan dengan ortodoksi teologi yang dipahami oleh para ulama Itsna Asyari. Pada saat yang sama, mereka juga ikut berperan dalam proses perubahan gradual masyarakat di wilayah itu dari mayoritas Sunni menjadi Syiah (Nasr, 1974: 274-6; Arjomand, 1985). Rula Jurdi Abisaab (2004) secara khusus menulis dalam bukunya, Converting Persia, tentang peranan para ulama dari Jabal Amil yang datang ke Iran dalam proses perubahan keagamaan masyarakat di wilayah itu. Bagaimanapun, semakin besarnya peranan ulama tidak bermakna unsur-unsur kekerasan dalam proses konversi Syiah di Kerajaan Safawi pada masa-masa yang belakangan sudah tidak ada lagi. Sebagian ulama Syiah di pemerintahan Safawi, seperti Muhammad Baqir Majlisi (w. 1699), ikut berperan aktif dalam penindasan masyarakat Sunni di beberapa tempat (Abisaab, 2004: 128).
Faktor ulama tampaknya merupakan faktor terpenting dalam proses konversi ini. Pada masa ini, tradisi keulamaan Syiah sedang berkembang, dan bertambah pesat dengan adanya pemerintahan Safawi.Tradisi keulamaan Syiah masih terus berkembang hingga ke abad-abad berikutnya.Sementara itu, tradisi keulamaan Sunni justru sedang mengalami kelesuan, walaupun ketika itu kesultanan Turki Utsmani sedang berada di puncak kejayaannya.Sejak masa ini, kita tidak mendengar lagi adanya ulama-ulama Ahlu Sunnah dengan kompetensi yang menyamai para ulama besar dari generasi-generasi sebelumnya.Jadi faktor internal di dunia Sunni sendiri ikut mempengaruhi terjadinya dinamika keagamaan yang terjadi pada kurun ini dan setelahnya.
Bersamaan dengan menguatnya peranan para ulama Syiah di Iran pada masa-masa ini, kita juga melihat sebuah fenomena lain yang menarik, yaitu proses marjinalisasi sufisme di Iran. Sebagaimana telah dibahas dalam artikel sebelumnya, Iran menjelang kemunculan Kerajaan Safawi merupakan tempat yang subur bagi kelompok-kelompok tasawuf. Gerakan Safawi sendiri pada awalnya merupakan sebuah tarekat sufi bermadzhab Syafi’i. Namun, seiring dengan menguatnya ortodoksi Syiah di pemerintahan Safawi, sufisme mulai dimusuhi. Sebenarnya, upaya penyatuan ide-ide tasawuf, filsafat, dan teologi Syiah oleh beberapa ilmuwan Syiah, seperti Sadr al-Din Shirazi atau lebih dikenal sebagai Mulla Sadra (w. 1640), justru mencapai puncaknya pada masa-masa ini.Namun pada perkembangannya, para ulama Syiah orthodoks yang tidak menyukai ide-ide ini mengeliminir perkembangan pemikiran ini di tengah masyarakat.
Tarekat-tarekat Sufi yang ada di Iran pada masa itu, seperti tarekat Nurbakhsi, Zahabi, Qadiri, Baktashi, dan Nikmatullahi, walaupun pada awal masa pemerintahan Safawi masih berkembang, tapi pada masa-masa berikutnya mulai mengalami kesulitan. Tarekat-tarekat sufi ini mengalami proses marjinalisasi dan banyak yang menghilang dari wilayah Iran pada akhir masa pemerintahan Dinasti Safawi. Mereka yang bertahan atau dapat kembali ke kantong-kantong keilmuwan Syiah pada masa berikutnya terpaksa menggunakan nama-nama lain yang lebih dapat diterima oleh para ulama Syiah di wilayah ini.Walaupun pada masa pra-Safawi ada klaim “sufisme syiah sebagai sufi sejati”, sebagaimana yang diucapkan oleh seorang ulama Syiah, Sayyid Haydar al-Amuli, pada kenyataannya marjinalisasi terhadap sufisme tetap terjadi di Iran(Nasr, 1974: 277-80).
Gerakan untuk mereduksi pengaruh sufisme oleh para ulama orthodoks syiah ini terutama berlaku pada paruh kedua abad ke-17 dan setelahnya ketika pengaruh orthodoksi Syiah semakin kuat di pemerintahan Safawi.Permusuhan terhadap tasawuf antara lain dilakukan oleh Mullah Muhammad Taqi Qumi, Muhammad Baqir Majlisi (w. 1699), Syaikh Muhammad al-Amili (w. 1691/2), serta al-Hurr al-Amili, Syaikh al-Islam untuk wilayah Mashhad, yang mengemukakan 1000 hadits yang menentang tasawuf (Arjomand, 1985: 207). Gerakan ini menyebabkanperkataan sufi menjadi sebuah ungkapan yang buruk di Iran pada akhir masa Dinasti Safawi dan tarekat dianggap sebagai musuh negara (Keddie, 2003: 11).
Sementara pada saat yang sama, berbagai ciri khas kaum sufi, seperti kemampuan supranatural (karamah) dan kesempurnaan spiritual, diambil alih dan diklaim sebagai milik para ulama Syiah orthodoks (Abisaab, 2004: 5). Kalaupun pada sistem administrasi kerajaan Safawi masih digunakan kata Sufi, seperti yang disebutkan oleh Minorsky (1980: 33-4) dalam kata pengantarnya terhadap terjemahan kitab Tadhkirat al-Muluk yang berisi sistem administrasi pemerintahan Safawi, maka maknanya sama sekali berbeda dengan pengertian umum yang diwakili oleh kata ini, walaupun asal-usulnya mungkin dapat dilacak pada masa-masa perkembangan dinasti Safawi sebagai sebuah tarekat sebelum berdirinya Kerajaan Safawi. Sufi yang terdapat di dalam administrasi pemerintahan Safawi ini adalah pengawal khusus Shah (Raja) yang jumlahnya 200 orang, dengan menggunakan peci khusus dan dipersenjatai sebilah pedang, belati, dan kapak, serta dikenali dengan kumisnya yang khas, dan bukannya kumpulan orang yang sibuk dengan ibadah serta menjauhkan diri dari dunia.
Sebagai penutup, fenomena marjinalisasi tasawuf pada akhir masa pemerintahan Safawi digambarkan dengan baik oleh Hossein Nasr (1974: 278-9) dengan kata-kata berikut:
“Menjadi ciri-ciri dari kehidupan keagamaan Safawi Persia bahwa sebuah dinasti yang bermula dari sebuah tarekat sufi bergerak begitu jauh ke arah esoterisisme dalam hal mana Mulla Muhammad Baqir Majlisi, ulama paling berpengaruh yang telah menulis al-Anwar (Bihar al-Anwar), meninggalkan Sufisme (yang dianut) ayahnya sendiri Mulla Muhammad Taqi dan memaksa seorang hakim (teosofer atau pakar metafisika, pen.) terakhir yang besar pada masa Safawi di Isfahan, Mulla Sadiq-i Ardistani yang suci, pergi ke pengasingan. Sufisme dan hikmat-i ilahi, yang keduanya memiliki karakter esoteris, pada akhirnya dipaksa menjalani bentuk eksistensi yang marjinal pada akhir masa pemerintahan sebuah dinasti yang memiliki akar kesufian.”*/Jakarta, 30 Shawwal 1434 H/ 6 September 2013
Penulis adalah kolumnis , kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Daftar Pustaka
Abisaab, Rula Jurdi. Converting Persia: Religion and Power in the Safavid Empire. London: I.B. Tauris. 2004.
Amanat, Abbas. Apocalyptic Islam and Iranian Shi’ism. London: IB Tauris. 2009.
Arjomand, Said Amir. “The Clerical Estate and the Emergence of a Shi’ite Hierocracy in Safavid Iran: A Study in Historical Sociology” dalam Jurnal of the Economic and Social History of the Orient, vol. 28, No. 2. 1985. Hlm. 169-219.
Gibb, H.A.R. et.al.The Encyclopaedia of Islam, vol. 1. Leiden: Brill. 1986.
Jackson, Peter dan Laurence Lockhart.The Cambridge History of Iran, vol. 6, The Timurid and Safavid Period. London: Cambridge University Press. 1986.
Johnson, Rosemary Stanfield. “Sunni Survival in Safavid Iran: Anti-Sunni Activities during the Reign of Tahmasp I” dalam Iranian Studies, vol. 27, No. 1/4, Religion and Society in Islamic Iran during the Pre-Modern Era. 1994. Hlm. 123- 133.
Keddie, Nikki R. Modern Iran: Roots and Results of Revolution. New Haven: Yale University Press. 2003.
Minorsky, V. & Shah Ismail I. “The Poetry of Shah Ismail I” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies (SOAS).University of London.Vol. 10.No. 4.1942, hlm.1006a-1053a.
Nasr, Hossein. “Religion in Safavid Persia” dalam Iranian Studies, vol. 7, No. 1/2, Studies on Isfahan: Proceedings of the Isfahan Coloquium, part I. 1974. Hlm. 271-286.
Sarwar, Ghulam. History of Shah Ismail Safawi. Aligarh: Muslim University. 1939.
Savory, Roger. Iran under the Safavids. Cambridge: Cambridge University Press. 1980.
Stanfield -Johnson, Rosemary.“The Tabarra’iyyan and the Early Safavids” dalam Iranian Studies, vol. 37, No. 1. 2004. Hlm. 47-71.
Tadhkirat al-Muluk: A Manual of Safavid Administration (diterjemahkan oleh V. Minorsky). Cambridge: B.J.W. Gibb Memorial. 1980.
Turner, Colin. Islam without Allah?The Rise of Religious Externalism in Safavid Iran. Richmond: Curzon. 2000.
Voll, John O. Islam: Continuity and Change in the Modern World. Syracuse University Press. 1994.
Rep: -
Editor: Cholis Akbar
Nasrallah Falsafi (w. 1981), seorang sejarawan Iran, dalam bukunya “Zindagani-yi Shah Abbas” menyebutkan jika orang tidak menjawab kutukan terhadap Khalifah Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra, maka mereka boleh dibunuh di tempat
Pendahuluan
TULISAN ini merupakan kelanjutan dari tulisan sebelumnya tentang Dinasti Safawi dan Konversi Syiah di Iran. Sejarah berkaitan dengan Dinasti Safawi sebenarnya telah banyak ditulis. Sumber-sumber awal sejarah kerajaan ini banyak yang ditulis dalam bahasa Persia dan Turki-Azerbaijan. Walaupun demikian, cukup banyak akademisi yang mengkaji sumber-sumber ini secara mendalam.Konversi Syiah di Iran yang dilakukan oleh Dinasti Safawi,termasuk dengan digunakannya cara-cara kekerasan dan pemaksaan, terutama pada periode awal pemerintahan Safawi, telah banyak disebutkan dalam buku-buku sejarah yang membahas sejarah Dinasti Safawi.Iran menjadi negeri yang dominan dengan penganut Syiah dapat dikatakan bermula dengan berdirinya Kerajaan Safawi pada abad ke-16.Gerakan Safawi merupakan, meminjam kata-kata Abbas Amanat (2009: 1), “the genesis of today’s Shi’i Iran.”
Sikap keberagamaan pemerintah Safawi sendiri secara perlahan bergeser, dari sikap yang ekstrim dan cenderung kepada pemahaman Syiah ghulat kepada pemahaman yang lebih sejalan dengan para teolog itsna Asy’ari.Seiring dengan ini, pola konversi pun bergeser juga, dari pendekatan kekerasan kepada peningkatan peranan ulama Syiah.
Tentang sikap ekstrim Shah Ismail I(w. 1524), pendiri kerajaan Safawi, misalnya, terlihat jelas dalam kumpulan puisi yang dibuat oleh Ismail dan dikenal dengan nama “Khata’i’s Divan”. Puisi yang ditulis dalam bahasa Turki-Azerbaijan ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dikaji oleh V. Minorsky (1942), seorang peneliti Rusia, dan diterbitkan dalam Bulletin SOAS. Walaupun menggunakan nama pena khata’i yang secara bahasa bermakna ‘si pendosa’, puisi-puisi Ismail berisi penuhanan terhadap Ali bin Abi Thalib serta penuhanan terhadap diri Ismail sendiri.
Dalam salah satu bagian puisinya ia menulis: “Nama saya Shah Isma’il. Saya adalah misteri Tuhan …. Ibu saya Fatimah, ayah saya Ali; dan saya adalah murid Imam dua belas. Saya memulihkan darah ayah saya dari Yazid.”Pada bagian lainnya ia menyeru para pengikutnya: “Datanglah pada saya, bersujudlah (sijda) kalian. Saya adalah keyakinannya sang Shah.” Ia juga mengatakan, “Misteri Ana’l-Haqq tersembunyi di dalam hati saya. Saya adalah Kebenaran yang Absolut itu (Tuhan) dan apa yang saya katakan adalah Kebenaran.”
Tentang Ali, dalam salah satu bagian pusinya Ismail berkata: “Mereka yang tidak mengakui Ali sebagai Kebenaran (Tuhan) merupakan orang-orang kafir mutlak. Mereka tidak memiliki syahadat, tidak memiliki iman, dan bukan Muslim.” Pada bagian lain ia menulis, “Jangan sebut seorang manusia dia yang membuka bagi dunia pintu Islam, kenali dia sebagai Tuhan …. Dia adalah Tuhan (Haqq) dan turun dari langit ke bumi, untuk menunjukkan dirinya pada orang-orang…. Namanya ada seribu, sifatnya ada sejuta, siang dan malam berotasi atas perintahnya.Salah satu namanya adalah Ali,tapi ia adalah pencipta dunia.”
Ekstrimitas pandangan keagamaan Ismail bertemu dengan fanatisme para pengikutnya dari kalangan qizilbash yang memujanya seperti Tuhan.Sikap Ismail yang tegas untuk menjadikan Syiah sebagai agama resmi kerajaannya berujung pada berbagai upaya untuk mengubah keyakinan masyarakat Iran yang mayoritasnya dapat dikatakan masih menganut Ahlu Sunah menjadi berpaham Syiah.Sikap ini kemudian diikuti oleh para penguasa selepas Ismail.
Cara-cara dalam konversi syiah
Ada beberapa langkah atau cara yang dilakukan oleh para penguasa Safawi untuk mengubah masyarakatnya menjadi penganut syiah. Berikut ini merupakan beberapa cara yang cukup menonjol yang digunakan oleh Dinasti Safawi:
Pertama, pemaksaan dan penindasan
Cara-cara ini berlaku terutama pada awal pembentukan kerajaan Safawi oleh Shah Ismail I. Muda dan berpandangan ekstrim, Shah Ismail tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi lawan dan pihak-pihak yang tidak disukainya. Pada tahun 1505 misalnya, ia memerintahkan agar para pemimpin pemberontak yang tertangkap, baik yang sudah mati maupun yang masih hidup, dibakar di depan umum di kota Isfahan di hadapan duta-duta Turki Utsmani yang kebetulan sedang berada di sana (Sarwar, 1939: 50-1). Ini berlaku sebelum terjadinya konflik dan peperangan antara Turki Utsmani dan Dinasti Safawi.Shah Ismail juga dikatakan menjadikan tengkorak Shaybani Khan, pemimpin orang-orang Uzbek yang berhasil dikalahkannya dalam Pertempuran Marw pada tahun 1510, sebagai wadah untuk minum minuman keras (Sarwar, 1939: 63).
Seperti telah disebutkan pada tulisan sebelumnya, setelah menaklukkan kota Tabriz dan diangkat sebagai raja pertama Dinasti Safawi, Ismail I yang ketika itu baru berumur sekitar empat belas tahun itu menetapkan Syiah itsna asyari sebagai keyakinan resmi negara. Saat khutbah Jum’at pertama sejak pelantikannya, nama dua belas imam Syiah dibacakan dari atas mimbar dan pada masa-masa berikutnya koin dicetak dengan kalimat la ilaha illallah Muhammad Rasulullah wa Ali waliyullah (sarwar, 1939: 39).Ismail mengabaikan kekhawatiran orang-orang di sekitarnya terkait kondisi demografi pada masa itu yang masih didominasi oleh Ahlu Sunnah. “… jika orang-orang mengutarakan satu kata saja untuk memprotes, saya akan mengayunkan pedang dan tidak membiarkan seorang pun dari mereka yang hidup” (Savory, 1980: 29; Stanfield-Johnson, 2004: 47).
Sejak masa itu, tiga khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib ra., yaitu Abu Bakar, Umar, dan Utsman ra., serta pihak-pihak yang dianggap sebagai musuh para Imam Syiah dikutuk secara terbuka dan orang-orang mesti membenarkan kutukan itu dengan perkataan, “Semoga ditambah dan tidak dikurangi (kutukannya, pen.)”. Mengutip tulisan Nasrallah Falsafi (w. 1981), seorang sejarawan Iran, dalam bukunya Zindagani-yi Shah Abbas, Roger Savory (1980: 28) menyebutkan bahwa jika orang-orang tidak menjawab kutukan dengan kata-kata di atas, maka mereka boleh dibunuh di tempat.Orang-orang pada umumnya tidak berani melawan ancaman ini. Adapun para ulama Ahlu Sunnah yang menentangnya, maka sebagian dari mereka dibunuh.Sebagian lainnya memutuskan untuk keluar dari wilayah Safawi dan pindah ke kerajaan yang masih berpegang ajaran Ahlu Sunnah (Savory, 1980: 29).
Ketika Ismail berhasil menguasai kota Herat dan Baghdad, para ulama Sunni di kedua kota ini dieksekusi tanpa belas kasihan karena mereka menolak untuk mengubah keyakinan menjadi Syiah (Jackson et.al., 1986: 218). Pada tahun 1507/8 ketika Shah Ismail menguasai Baghdad, selain terjadi pembunuhan terhadap beberapa tokoh Sunni, beberapa makam ulama Sunni, seperti makam Imam Hanafi dan Syaikh Abdul Qadir al-Jilani juga mengalami perusakan. Makam-makam ini baru dirapikan kembali setelah Turki Utsmani berhasil mengambil alih kota Baghdad dari tangan Safawi (Gibb at.al., 1986: 903).
Kedua, pembentukan korps tabarra’iyyin
Ini masih ada kaitan dengan poin pertama.Pada masa raja Safawi yang kedua, yaitu Tahmasp (w. 1576), dibentuk sebuah lembaga yang terdiri dari orang-orang yang tugasnya mengutuk atau melaknat para khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib ra.Para juru laknat ini dikenal sebagai tabarra’iyyin.Istilah ini berasal dari bahasa Arab tabarru’ yang bermakna ‘berlepas diri’ atau ‘mengingkari’.Lawan katanya adalah tawalla’ yang bermakna ‘menyatakan kesetiaan’ dan dalam konteks Syiah ditujukan kepada para imam yang dua belas.Pelaknatan semacam ini telah berjalan sejak masa pemerintahan Ismail, dan juga pada masa-masa sebelum era Safawisecara lebih terbatas, tapi menjadi lebih terorganisir pada masa pemerintahan Tahmasp.
Kajian tentang hal ini telah ditulis oleh Rosemary Stanfield-Johnson dalam artikelnya yang berjudul “The Tabarra’iyyan and the Early Safavids” (2004) dan juga “Sunni Survival in Safavid Iran” (1994). Dalam penelitiannya ini, ia antara lain merujuk pada tulisan-tulisan sejarawan era Safawi, seperti Hasan Bik Rumlu yang menulis Ahsan al-Tawarikh, Bizan dengan tulisannya ‘Alam ara-yi Safawi, dan juga Mirza Makhdum Sarifi, penulis Al-Nawaqid li-bunyan al-rawafid. Yang terakhir ini merupakan seorang ulama Sunni yang selama beberapa waktu bertahan di pemerintahann Safawi, tapi pada akhirnya terpaksa berhijrah ke luar wilayah kekuasaan Safawi.
Para juru laknat (tabarra’iyyin) ini memiliki dua peranan.Peran pertama adalah memata-matai masyarakat serta melaporkan orang-orang yang menjalankan praktek-praktek ibadah Ahlu Sunnah.Praktek ibadah yang dimata-matai antara lain pelaksanaan shalat Jum’at yang pada awal masa pemerintahan Safawi tidak diamalkan oleh komunitas Syiah. Penganut Sunni yang khawatir dieksekusi oleh pemerintah kadang terpaksa menyogok para juru laknat agar mereka tidak dilaporkan.
Peran kedua adalah menjalankan dan mengawasi dilaksanakannya ritual kutukan di tengah publik. Dalam hal ini, mereka akan menyerukan laknat terhadap para khalifah sebelum Ali bin Abi Thalib dan orang-orang mesti menyambutnya dengan perkataan, “Semoga ditambah dan tidak dikurangi (bish bad u kam mabad)”.Praktek ini dilakukan sebagai ekspresi hegemoni Syiah sekaligus penghinaan terhadap komunitas Sunni di wilayah kekuasaan Dinasti Safawi.Ritual pelaknatan ini, sebagaimana dinyatakan sendiri oleh Shah Tahmasp kepada Sultan Turki Utsmani yang menjadi musuhnya, dilakukan “di pasar-pasar, di kawasan-kawasan perumahan, di masjid-masjid, di kampus-kampus, dan dari atas mimbar-mimbar.”
Laknat secara terbuka ini didukung juga olehsebagian ulama Syiah, antara lain oleh Ali al-Karaki (w. 1534), ulama itsna asyari yang menjadi pejabat tinggi agama di pemerintahan Shah Ismail. Namun hal ini dikritik oleh sebagian ulama Syiah lainnya, khususnya yang tinggal di luar Iran, karena khawatir hal itu akan membahayakan komunitas minoritas Syiah. Setelah masa pemerintahan Shah Tahmasp, dapat dikatakan tidak ada lagi institusi resmi yang melakukan laknat di bawah dukungan pemerintah, tetapi praktek laknat ini masih berjalan pada masa-masa berikutnya secara perorangan (Stanfield-Johnson, 2004)
para ulama syiah dari luar Iran
Walaupun keyakinan awal pemimpin Safawi bersifat ghuluw dan cenderung menuhankan Ali, pada perkembangannya kebijakan keagamaan kerajaan ini diarahkan pada tradisi keagamaan yang lebih sejalan dengan teologi yang dianut oleh para ulama Syiah Itsna Asyari.
Ketika Kerajaan Safawi berdiri pada awal abad ke-16, Iran tidak memiliki ulama dan teolog Syiah yang representatif. Bahkan ketika Shah Ismail menguasai kota Tabriz dan menjadikannya sebagai ibukota pemerintahannya, ia hanya dapat menemukan sebuah manuskrip saja yang berkenaan dengan dasar-dasar ajaran Syiah Itsna Asyari (Keddie, 2003: 10). Demikian pula di kota Kashan yang terkenal sebagai tempat pendukung kuat Syiah, selama lebih dari sepuluh tahun pemerintahan Shah Ismail tidak ditemukan seorang ulama Syiah yang kompeten (Turner, 2000: 50).Kota Kashan diyakini oleh masyarakat Syiah setempat sebagai tempat pelarian orang yang telah membunuh Umar bin Khattab ra, yaitu Abu Lu’lu’ah (Fairuz Nahavandi), yang menurut sumber-sumber Sunni mati bunuh diri di tempat kejadian setelah membunuh Umar. Sebuah bangunan besar didirikan di tempat yang dipercayai sebagai makam Abu Lu’lu’ah di Kashan. Pemujaan dan penokohan Abu Lu’lu’ah antara lain dilakukan oleh Dinasti Safawi yang menyebutnya dengan nama Baba Shuja’ al-Din yang kurang lebih bermakna ‘seorang pemberani di jalan agama’ (http://www.cais-soas.com/News/2007/June2007/28-06.htm).
Ketiadaan ulama di Iran ditutupi dengan mengundang para ulama Syiah dari luar Iran, terutama dari wilayah Jabal Amil di Lebanon, yang pada masa itu berkembang sebagai salah satu pusat madrasah Itsna Asyari terpenting dan paling berpengaruh. Para ulama yang menguasai teologi Syiah dan Sunni ini digunakan oleh pemerintahan Safawi untuk mengokohkan Syiah sebagai keyakinan resmi negara (Voll, 1994: 80).Para ulama ini, khususnya para ulama Jabal Amil, berperan besar dalam menjadikan pemahaman Syiah di Iran pada masa ini lebih sejalan dengan ortodoksi teologi yang dipahami oleh para ulama Itsna Asyari. Pada saat yang sama, mereka juga ikut berperan dalam proses perubahan gradual masyarakat di wilayah itu dari mayoritas Sunni menjadi Syiah (Nasr, 1974: 274-6; Arjomand, 1985). Rula Jurdi Abisaab (2004) secara khusus menulis dalam bukunya, Converting Persia, tentang peranan para ulama dari Jabal Amil yang datang ke Iran dalam proses perubahan keagamaan masyarakat di wilayah itu. Bagaimanapun, semakin besarnya peranan ulama tidak bermakna unsur-unsur kekerasan dalam proses konversi Syiah di Kerajaan Safawi pada masa-masa yang belakangan sudah tidak ada lagi. Sebagian ulama Syiah di pemerintahan Safawi, seperti Muhammad Baqir Majlisi (w. 1699), ikut berperan aktif dalam penindasan masyarakat Sunni di beberapa tempat (Abisaab, 2004: 128).
Faktor ulama tampaknya merupakan faktor terpenting dalam proses konversi ini. Pada masa ini, tradisi keulamaan Syiah sedang berkembang, dan bertambah pesat dengan adanya pemerintahan Safawi.Tradisi keulamaan Syiah masih terus berkembang hingga ke abad-abad berikutnya.Sementara itu, tradisi keulamaan Sunni justru sedang mengalami kelesuan, walaupun ketika itu kesultanan Turki Utsmani sedang berada di puncak kejayaannya.Sejak masa ini, kita tidak mendengar lagi adanya ulama-ulama Ahlu Sunnah dengan kompetensi yang menyamai para ulama besar dari generasi-generasi sebelumnya.Jadi faktor internal di dunia Sunni sendiri ikut mempengaruhi terjadinya dinamika keagamaan yang terjadi pada kurun ini dan setelahnya.
Bersamaan dengan menguatnya peranan para ulama Syiah di Iran pada masa-masa ini, kita juga melihat sebuah fenomena lain yang menarik, yaitu proses marjinalisasi sufisme di Iran. Sebagaimana telah dibahas dalam artikel sebelumnya, Iran menjelang kemunculan Kerajaan Safawi merupakan tempat yang subur bagi kelompok-kelompok tasawuf. Gerakan Safawi sendiri pada awalnya merupakan sebuah tarekat sufi bermadzhab Syafi’i. Namun, seiring dengan menguatnya ortodoksi Syiah di pemerintahan Safawi, sufisme mulai dimusuhi. Sebenarnya, upaya penyatuan ide-ide tasawuf, filsafat, dan teologi Syiah oleh beberapa ilmuwan Syiah, seperti Sadr al-Din Shirazi atau lebih dikenal sebagai Mulla Sadra (w. 1640), justru mencapai puncaknya pada masa-masa ini.Namun pada perkembangannya, para ulama Syiah orthodoks yang tidak menyukai ide-ide ini mengeliminir perkembangan pemikiran ini di tengah masyarakat.
Tarekat-tarekat Sufi yang ada di Iran pada masa itu, seperti tarekat Nurbakhsi, Zahabi, Qadiri, Baktashi, dan Nikmatullahi, walaupun pada awal masa pemerintahan Safawi masih berkembang, tapi pada masa-masa berikutnya mulai mengalami kesulitan. Tarekat-tarekat sufi ini mengalami proses marjinalisasi dan banyak yang menghilang dari wilayah Iran pada akhir masa pemerintahan Dinasti Safawi. Mereka yang bertahan atau dapat kembali ke kantong-kantong keilmuwan Syiah pada masa berikutnya terpaksa menggunakan nama-nama lain yang lebih dapat diterima oleh para ulama Syiah di wilayah ini.Walaupun pada masa pra-Safawi ada klaim “sufisme syiah sebagai sufi sejati”, sebagaimana yang diucapkan oleh seorang ulama Syiah, Sayyid Haydar al-Amuli, pada kenyataannya marjinalisasi terhadap sufisme tetap terjadi di Iran(Nasr, 1974: 277-80).
Gerakan untuk mereduksi pengaruh sufisme oleh para ulama orthodoks syiah ini terutama berlaku pada paruh kedua abad ke-17 dan setelahnya ketika pengaruh orthodoksi Syiah semakin kuat di pemerintahan Safawi.Permusuhan terhadap tasawuf antara lain dilakukan oleh Mullah Muhammad Taqi Qumi, Muhammad Baqir Majlisi (w. 1699), Syaikh Muhammad al-Amili (w. 1691/2), serta al-Hurr al-Amili, Syaikh al-Islam untuk wilayah Mashhad, yang mengemukakan 1000 hadits yang menentang tasawuf (Arjomand, 1985: 207). Gerakan ini menyebabkanperkataan sufi menjadi sebuah ungkapan yang buruk di Iran pada akhir masa Dinasti Safawi dan tarekat dianggap sebagai musuh negara (Keddie, 2003: 11).
Sementara pada saat yang sama, berbagai ciri khas kaum sufi, seperti kemampuan supranatural (karamah) dan kesempurnaan spiritual, diambil alih dan diklaim sebagai milik para ulama Syiah orthodoks (Abisaab, 2004: 5). Kalaupun pada sistem administrasi kerajaan Safawi masih digunakan kata Sufi, seperti yang disebutkan oleh Minorsky (1980: 33-4) dalam kata pengantarnya terhadap terjemahan kitab Tadhkirat al-Muluk yang berisi sistem administrasi pemerintahan Safawi, maka maknanya sama sekali berbeda dengan pengertian umum yang diwakili oleh kata ini, walaupun asal-usulnya mungkin dapat dilacak pada masa-masa perkembangan dinasti Safawi sebagai sebuah tarekat sebelum berdirinya Kerajaan Safawi. Sufi yang terdapat di dalam administrasi pemerintahan Safawi ini adalah pengawal khusus Shah (Raja) yang jumlahnya 200 orang, dengan menggunakan peci khusus dan dipersenjatai sebilah pedang, belati, dan kapak, serta dikenali dengan kumisnya yang khas, dan bukannya kumpulan orang yang sibuk dengan ibadah serta menjauhkan diri dari dunia.
Sebagai penutup, fenomena marjinalisasi tasawuf pada akhir masa pemerintahan Safawi digambarkan dengan baik oleh Hossein Nasr (1974: 278-9) dengan kata-kata berikut:
“Menjadi ciri-ciri dari kehidupan keagamaan Safawi Persia bahwa sebuah dinasti yang bermula dari sebuah tarekat sufi bergerak begitu jauh ke arah esoterisisme dalam hal mana Mulla Muhammad Baqir Majlisi, ulama paling berpengaruh yang telah menulis al-Anwar (Bihar al-Anwar), meninggalkan Sufisme (yang dianut) ayahnya sendiri Mulla Muhammad Taqi dan memaksa seorang hakim (teosofer atau pakar metafisika, pen.) terakhir yang besar pada masa Safawi di Isfahan, Mulla Sadiq-i Ardistani yang suci, pergi ke pengasingan. Sufisme dan hikmat-i ilahi, yang keduanya memiliki karakter esoteris, pada akhirnya dipaksa menjalani bentuk eksistensi yang marjinal pada akhir masa pemerintahan sebuah dinasti yang memiliki akar kesufian.”*/Jakarta, 30 Shawwal 1434 H/ 6 September 2013
Penulis adalah kolumnis , kini sedang mengambil program doktoral bidang sejarah di Universiti Islam Antarabangsa, Malaysia
Daftar Pustaka
Abisaab, Rula Jurdi. Converting Persia: Religion and Power in the Safavid Empire. London: I.B. Tauris. 2004.
Amanat, Abbas. Apocalyptic Islam and Iranian Shi’ism. London: IB Tauris. 2009.
Arjomand, Said Amir. “The Clerical Estate and the Emergence of a Shi’ite Hierocracy in Safavid Iran: A Study in Historical Sociology” dalam Jurnal of the Economic and Social History of the Orient, vol. 28, No. 2. 1985. Hlm. 169-219.
Gibb, H.A.R. et.al.The Encyclopaedia of Islam, vol. 1. Leiden: Brill. 1986.
Jackson, Peter dan Laurence Lockhart.The Cambridge History of Iran, vol. 6, The Timurid and Safavid Period. London: Cambridge University Press. 1986.
Johnson, Rosemary Stanfield. “Sunni Survival in Safavid Iran: Anti-Sunni Activities during the Reign of Tahmasp I” dalam Iranian Studies, vol. 27, No. 1/4, Religion and Society in Islamic Iran during the Pre-Modern Era. 1994. Hlm. 123- 133.
Keddie, Nikki R. Modern Iran: Roots and Results of Revolution. New Haven: Yale University Press. 2003.
Minorsky, V. & Shah Ismail I. “The Poetry of Shah Ismail I” dalam Bulletin of the School of Oriental and African Studies (SOAS).University of London.Vol. 10.No. 4.1942, hlm.1006a-1053a.
Nasr, Hossein. “Religion in Safavid Persia” dalam Iranian Studies, vol. 7, No. 1/2, Studies on Isfahan: Proceedings of the Isfahan Coloquium, part I. 1974. Hlm. 271-286.
Sarwar, Ghulam. History of Shah Ismail Safawi. Aligarh: Muslim University. 1939.
Savory, Roger. Iran under the Safavids. Cambridge: Cambridge University Press. 1980.
Stanfield -Johnson, Rosemary.“The Tabarra’iyyan and the Early Safavids” dalam Iranian Studies, vol. 37, No. 1. 2004. Hlm. 47-71.
Tadhkirat al-Muluk: A Manual of Safavid Administration (diterjemahkan oleh V. Minorsky). Cambridge: B.J.W. Gibb Memorial. 1980.
Turner, Colin. Islam without Allah?The Rise of Religious Externalism in Safavid Iran. Richmond: Curzon. 2000.
Voll, John O. Islam: Continuity and Change in the Modern World. Syracuse University Press. 1994.
Rep: -
Editor: Cholis Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar