Minggu, 21 Desember 2014

Detik-detik Menegangkan di al-Quds

Detik-detik Menegangkan di al-Quds
ILUSTRASI
hari Senin pagi, kaum Muslimin di al-Quds menerima kabar gembira bahwa Pasukan Salib memutuskan untuk menarik pasukannya ke Ramlah
Shalahuddin al Ayyubi kuat ibadah, keyakinannya pada Alla sangat besar, sebagaimana juga semangatnya untuk bertaubat


PADA abad pertengahan, berhadap-hadapan dengan musuh memerlukan persiapan yang matang serta keterampilan berperang yang baik. Namun adakalanya berbagai kemampuan dan kekuatan fisik tetap tidak mencukupi. Ada masa-masa ketika jumlah tentara yang banyak, perlengkapan perang yang canggih, pengalaman tempur yang panjang, serta strategi yang hebat masih belum mencukupi untuk mengalahkan musuh.

Sebenarnya semua itu memang tidak pernah mencukupi. Karena ada sumber kekuatan dan kemenangan lain yang tidak mungkin diabaikan oleh seorang Muslim. Kekuatan yang satu ini adalah yang bersumber pada Rabb Yang Maha Kuat dan Maha Perkasa. Para pemimpin yang beriman menyadari pentingnya hal ini, dan ada banyak peristiwa dalam sejarah yang mengajarkan kita tentang hal ini. Di antaranya adalah apa yang pernah dialami oleh Shalahuddin al-Ayyubi berikut ini.

Kisah ini berkenaan dengan saat-saat terakhir Perang Salib III, perang yang terjadi setelah kaum Muslimin di bawah pimpinan Shalahuddin al-Ayyubi berhasil merebut kembali al-Quds pada tahun 1187.

Jatuhnya al-Quds ke tangan kaum Muslimin menyebabkan pasukan dari Eropa datang berbondong-bondong ke Suriah-Palestina dipimpin oleh raja-raja terbaik mereka, di antaranya Raja Inggris Richard the Lion Heart. 

Perang Salib III berlangsung lama dan sangat melelahkan. Pasukan Eropa mengepung kota Acre untuk waktu yang panjang, sementara kaum Muslimin mempertahankannya dari dalam dan Shalahuddin dan pasukannya menghadapi musuh dari luar tembok kota. Kaum Muslimin berusaha mempertahankan kota itu sekuat kemampuan mereka, tetapi pada akhirnya kota itu tetap jatuh ke tangan musuh, dan pasukan yang ada di dalamnya dibunuh oleh Pasukan Salib.

Dari Acre, Pasukan Salib bergerak ke beberapa kota lainnya. Mereka tidak dapat bergerak cepat karena laju perjalanan mereka tertahan oleh pasukan Shalahuddin. Walaupun demikian, setelah berbagai pengepungan, pertempuran, serta diplomasi yang melelahkan di antara kedua belah pihak, Pasukan Salib tetap bersikukuh untuk merebut kembali kota al-Quds.

Setelah pertarungan memperebutkan beberapa kota pantai, Pasukan Salib akhirnya mengarahkan pasukan mereka ke al-Quds. Mereka kini berkemah di Bayt Nuba yang jaraknya hanya kurang dari sehari ke al-Quds. Shalahuddin, para emir bawahannya, beserta pasukan berada di dalam kota al-Quds. Sementara sekumpulan pasukan Muslim ditugasi mengintai pasukan musuh dan memberikan informasi dari waktu ke waktu.

Keadaannya ketika itu sangat menegangkan. Dalam waktu kurang dari sehari, Pasukan Salib dapat tiba di depan tembok kota al-Quds. Walaupun selama ini mereka bergerak maju secara perlahan karena tertahan oleh pasukan Muslim, tetapi mereka kini sudah sangat dekat dengan kota al-Quds dan mereka bisa saja berhasil merebut kembali kota suci itu.

Pasukan Muslim sudah terlalu lama berperang, semangat mereka untuk bertempur habis-habisan menghadapi musuh sudah menurun. Dan jika pada akhirnya Pasukan Salib berhasil merebut kota al-Quds, maka dampak psikologisnya akan sangat besar bagi kaum Muslimin.

Pada detik-detik yang menegangkan seperti ini, bahkan pemimpin yang tangguh seperti Shalahuddin al-Ayyubi pun merasa gelisah, bukan karena ia kurang yakin pada Allah, tetapi karena khawatir semangat tempur para emir di bawahnya sudah semakin menurun pada masa itu. Pada detik-detik inilah terlihat kualitas seorang pemimpin serta pendekatannya pada sumber sejati kemenangan. Kisah berikut ini disebutkan oleh Baha’uddin Ibn Shaddad dalam bukunya Nawadir al-Sultaniyya wa’l-Mahasin al-Yusufiyya.

Ibn Shaddad merupakan seorang ulama yang dekat dengan Shalahuddin  al-Ayyubi dan merupakan salah seorang penulis biografinya. Saat menceritakan kisah ini, ia memulai tulisannya dengan kata-kata, “Ia (Shalahuddin) banyak berprasangka baik pada Allah, keyakinannya pada-Nya sangat besar, sebagaimana juga semangatnya untuk bertaubat.”

Ibn Shaddad bercerita bahwa intelijen yang dikirim oleh Shalahuddin mengabarkan bahwa Pasukan Salib yang sekarang sedang berkemah di Bait Nuba telah bertekad untuk berangkat ke al-Quds dan mengepungnya. Kaum Muslimin merasa sangat gelisah dengan keadaan ini.

Shalahuddin kemudian mengumpulkan para emirnya. Kota al-Quds tentu akan tetap dipertahankan. Namun kini mereka berhadapan dengan dua pilihan strategi. Pilihan pertama, kota al-Quds akan dipertahankan oleh sebagian pasukan Muslim di bawah pimpinan salah satu emir, sementara Shalahuddin dan pasukan lainnya menghadapi musuh dari luar tembok al-Quds.

Ini merupakan strategi yang paling kecil resikonya bagi kaum Muslimin secara umum. Kalaupun al-Quds berhasil direbut oleh musuh, Shalahuddin dan pasukan Muslim lainnya dapat menjaga wilayah-wilayah Muslim lainnya dan suatu saat nanti mungkin dapat merebut kembali kota itu dari tangan musuh.

Masalahnya, Shalahuddin merasa bahwa tidak ada emirnya yang akan mau mempertahankan kota al-Quds, karena resikonya sangat besar. Mereka tidak lupa betapa saat kota Acre jatuh ke tangan Pasukan Salib, pasukan Muslim yang mempertahankan kota itu dibunuh habis oleh musuh. Dan perkiraan Shalahuddin tidak salah, karena belakangan ia diberitahu bahwa para emir tidak mau berdiam di kota itu kecuali anak atau adik Shalahuddin juga ikut mempertahankan kota itu bersama mereka. */bersambung

Maka Shalahuddin akhirnya mengambil pilihan kedua, yaitu ia sendiri bersama pasukannya akan mempertahankan kota itu dari dalam tembok kota. Hal ini akan memastikan keterlibatan para emir dan pasukan Muslim untuk mempertahankan kota itu secara maksimal. Namun resikonya sangat besar. Jika Pasukan Salib akhirnya berhasil menembus pertahanan kota itu, maka bukan hanya al-Quds saja yang akan jatuh, Shalahuddin sendiri kemungkinan besar akan tertangkap dan mungkin terbunuh oleh musuh. Jika hal itu sampai terjadi, maka siapa pemimpin Muslim di Suriah-Palestina yang akan menjaga wilayah-wilayah Muslim lainnya selepas itu?
Kenyataan ini membuat Shalahuddin gelisah. “Malam itu, yaitu malam Jum’at,” kata Ibn Shaddad.
“Saya duduk menemaninya sejak awal malam hingga mendekati subuh. Ketika itu sedang musim dingin, dan kami hanya berdua saja, tidak ada yang ketiga kecuali Allah.”
Mereka membicarakan hal-hal yang perlu disiapkan untuk menghadapi musuh. Mereka berdiskusi hingga larut malam.
Ibn Shaddad merasa khawatir dengan keadaan Shalahuddin. Humornya tidak seperti biasanya. Ia takut kesehatan Shalahuddin akan terganggu jika ia sama sekali tidak beristirahat. Maka ia pun membaringkan tubuhnya dengan harapan Shalahuddin mau beristirahat dan tidur sejenak. Shalahuddin mengira Ibn Shaddad mengantuk, sehingga ia pun mempersilahkannya untuk kembali ke rumah. Maka keduanya pun kembali ke tempat masing-masing.
Belum terlalu lama berada di tempat tinggalnya dan mengurus beberapa urusan, Ibn Shaddad sudah mendengar suara adzan. Maka ia pun segera pergi ke tempat Shalahuddin karena mereka biasa shalat Subuh berjamaah. Saat melihat Ibn Shaddad, Shalahuddin berkata, “Saya sama sekali tidak tidur.”
“Saya tahu,” kata Ibn Shaddad.
“Bagaimana kamu bisa tahu?” tanya Shalahuddin.
“Karena saya juga tidak tidur dan tidak ada cukup waktu untuk tidur,” jawab Ibn Shaddad.
Mereka pun shalat berjamaah. Setelah shalat, keduanya duduk bersama. Pada kesempatan itu, Ibn Shaddad menyampaikan pemikirannya kepada Shalahuddin. “Ada hal yang terlintas dalam diri saya, dan saya rasa hal itu bermanfaat insya Allah,” katanya.
“Apa itu?” tanya Shalahuddin.
“Bersandar sepenuhnya pada Allah, bertaubat, dan percayakan urusan kepada-Nya untuk menyelesaikan masalah yang mengkhawatirkan ini,” kata Ibn Shaddad.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Shalahuddin lagi.
“Sekarang adalah hari Jum’at. Hendaknya Tuan mandi dan shalat seperti biasa di Masjid al-Aqsa, tempat berlakunya Isra’ Mi’raj Nabi (saw), dan hendaknya Tuan memerintahkan seseorang yang dapat dipercaya untuk membagi-bagikan sedekah secara rahasia dan kemudian hendaknya Tuan menegakkan shalat dua rakaat di antara waktu adzan dan iqamah, dan berdoalah pada Allah di waktu sujud, karena ada sebuah hadits shahih tentang hal ini, dan ucapkanlah di dalam hati, “Tuhanku! Kehidupan duniaku telah saya berikan untuk menolong agama-Mu. Tidak ada yang tersisa kecuali keyakinan kepada-Mu, berpegang teguh kepada tali-Mu, dan bersandar pada keutamaan-Mu. Engkaulah yang mencukupi segala keperluan hamba dan Engkaulah sebaik-baik pemberi jaminan! (Ilahi, qad inqatha’at asbaabi al-ardhiyyah fii nushrati diinika wa lam yabqaa illa al-akhlaad ilayka wa’l-I’tishaam bi hablika wa’l-I’timaad ‘alaa fadhlika , anta hasbi wa ni’mal wakiil)’ Tuhan terlalu Pemurah dan Dia tidak akan mengabaikan harapan Tuan.”
Shalahuddin mengerjakan semua saran ini. Ia shalat dua rakaat di antara waktu adzan dan iqamah. Ibn Shaddad yang shalat di sebelahnya menyaksikan bagaimana Shalahuddin sujud agak lama. Air matanya mengalir mengenai jenggotnya yang mulai memutih hingga jatuh menetes ke atas sajadahnya. Setelah itu, proses shalat Jum’at berlangsung seperti biasa.
Pesan Penting
Petang hari itu juga, sebuah pesan datang dari emir yang bertugas mengawasi musuh. Pesan itu memberitahukkan bahwa pada hari itu Pasukan Salib bergerak menuju al-Quds, tetapi kemudian mereka berhenti dan kembali ke tenda-tenda mereka. Pada hari Sabtu pagi, datang pesan lain yang memberitahukan bahwa Pasukan Salib kembali bergerak, dan setelah itu berhenti lagi. Rupanya di antara Pasukan Salib terjadi perbedaan pendapat yang serius. Sebagian pemimpin Pasukan Salib ingin terus bergerak dan mengepung al-Quds, tapi sebagian yang lainnya tidak setuju karena hal itu akan membahayakan Pasukan Salib disebabkan mata air yang ada disekitar al-Quds telah diracun oleh pasukan Muslim.
Sebenarnya, Pasukan Salib sendiri juga sudah terkuras energinya oleh peperangan yang panjang. Sebagian dari mereka terdesak untuk segera kembali ke negerinya dan menyelesaikan masalah yang ada di sana. Di samping itu, di antara para Pemimpin Salib sebenarnya ada persaingan dan perselisihan yang cukup serius.
Para pemimpin Salib kemudian memutuskan untuk membentuk sebuah dewan yang terdiri dari sepuluh orang untuk menentukan kelanjutan perang. Mereka akan menerima apa pun yang diputuskan oleh dewan ini nantinya.
Pada hari Senin pagi, kaum Muslimin di al-Quds menerima kabar gembira bahwa Pasukan Salib memutuskan untuk menarik pasukannya ke Ramlah. Mereka tidak jadi meneruskan perjalanan ke al-Quds. Kota suci ini pun tetap bertahan di bawah kepemimpinan kaum Muslimin. Sebagai penutup kisah, Ibn Shaddad berkata, “Inilah salah satu buah yang saya saksikan dari kepasrahannya (Shalahuddin) kepada Allah serta keyakinannya kepada-Nya.”
Pada hari ini, kaum Muslimin pun menghadapi banyak masalah yang menggelisahkan mereka. Masalah yang menimpa kita pada hari ini lebih banyak dan lebih besar dibandingkan apa yang dihadapi oleh Shalahuddin pada masa itu. Musuh lebih kuat, sementara kaum Muslimin jauh lebih lemah dibandingkan keadaan mereka pada masa lalu. Namun kaum Muslimin pada hari ini pun masih memiliki Allah, sebagaimana kaum Muslimin pada masa lalu juga memiliki Allah. Maka tidak ada hal terbaik yang dapat dilakukan oleh kaum Muslimin pada hari ini selain menggantungkan harapan dan kepasrahan mereka secara total kepada-Nya, khususnya di penghujung bulan Ramadhan yang mulia ini. Mudah-mudahan Allah memberikan jalan keluar dan kemenangan kepada kita semua.*/Kuala Lumpur, 5 Ramadhan 1434 (3 Agustus 2013)

Alwi Alatas
Penulis adalah kandidat doktor bidang Sejarah di IIUM yang juga penulis buku “Nuruddin Zanki dan Perang Salib

Tidak ada komentar:

Posting Komentar