TAHUN 2014 ini adalah tahun politik sekaligus tahun musibah bagi bangsa Indonesia. Pemberitaan hiruk pikuk politik seakan bersaing ketat dengan sederatan musibah yang melanda bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Mulai banjir hingga gunung vulkanik yang memuntahkan magma dan larva. Kelihatannya memang bangsa kita ini memang telah menjadi “negeri seribu satu bala”. Ketika bencana alam memakan korban jiwa, dunia perpolitikan juga menunjukan eskalasi kekerasan dalam masyarakat.
Dalam Islam budaya politik kekerasan ini memang seakan telah menjadi daur sejarah. Dalam sejarah Islam salah satu firqah yang telah mempertunjukkan praktek kekerasan adalah aliran khawarij. Di sinilah anehnya dalam Islam perpecahan Islam ke dalam beberapa aliran salah satunya disebabkan oleh persoalan politik. Dimulai dengan klaim pembenaran diri dan menuduh orang lain dalam kesesatan (kafir) yang kemudian mencari legitimasi pembenaran melalui doktrin keagamaan adalah sistem politik klasik dalam Islam.
Dalam sejarah teologi Islam disebutkan bahwa perpecahan Islam dalam beberapa aliran mulai muncul ketika perang Siffin antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sofyan. Perang Siffin ini berakhir dengan tahkim (arbitrase), di mana kedua pihak bersetuju menghentikan peperangan dan menyelesaikan dengan cara perundingan.
Para pihak mengirim satu orang wakil sebagai juru runding. Pihak Ali bin Abi Thalib mengirim Abu Musa al-Asyari, sementara pihak Muawiyah bin Abi Sofyan mengirim Amru bin Ash sebagai juru runding. Ada perbedaan mencolok antara kedua kedua juru runding ini, Abu Musa al-Asyari adalah seorang ahli ibadah yang wara’, sementara Amru bin Ash adalah politikus ulung yang ahli siyasah.
Jadi pelajaran
Perundingan ini kemudian menghasilkan putusan yang ditandai dengan penurunan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dari kursi kekhalifahan dan mengangkat Muawiyah bin Abi Sofyan sebagai pemimpin Islam yang baru. Kesalahan fatal pihak Ali adalah keliru menunjukkan juru runding yang bukan potikus. Kenyataan sejarah ini mungkin layak dijadikan pelajaran bahwa terjun dalam dunia politik tanpa bekal yang memadai tidak menguntungkan, apalagi hanya berbekal ilmu keshalihan.
Setelah tahkim berakhir, keadaan umat Islam khususnya dari pihak Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua kelompok: Pertama, yang tetap dengan setia dengan pimpinannya adalah kelompok Syiah, dan; Kedua, kelompok yang berbelok dan menentang Ali yang kemudian disebut kelompok khawarij.
Kelompok khawarij ini kelompok Islam ektrem yang berpemikiran eklusif. Mereka selalu menganggap diri mereka paling benar dan semua pihak yang tidak sehaluan dengan mereka dianggap kafir yang layak dibunuh. Mereka mengangkat beberapa ayat tertentu dalam al-Quran untuk melegitimasi kekejaman meraka dengan menyebarkan motto la hukma illalah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah).
Mereka memusuhi semua yang tidak tidak sekeyakinan dengan mereka termasuk kelompok Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sofyan dengan tuduhan telah menyelesaikan masalah bukan dengan hukum Allah. Diceritakan mereka menurunkan panji-panji identitas kelompok lain dan membunuh siapa saja yang tidak sejalan dengan keyakinan meraka. Mungkinkah panggung politik ini akan kembali terulang atau memang sudah terjadi dalam ranah perpolitikan kita.
Sejarah terkadang bagaikan roda yang berputar. Kepentingan politik dan bangunan keyakinan selalu berjalan secara menyatu dalam dinamika sejarahnya. Penyatuan kepentingan politik yang bernilai profan dengan kontruksi sebuah aliran teologi yang sakral kemudian menyebabkan politik ikut disakralkan sebagai sebuah keyakinan. Para teologi menyebut fenomena ini sebagai sakralisasi politik (taqdis al-siasi). Dalam sejarah Islam hal ini terlihat ketika masa Bani Umayyah menjadikan aliran Jabariah sebagai sebuah ideologi negara. Aliran jabariah yang berkeyakinan bahawa semua yang terjadi pada sebuah masyarakat adalah kehendak Allah dan manusia tidak mempunyai daya apapun untuk merubah keadaan.
Model keyakinan Jabariah ini kemudian dimanfaakan oleh pemerintah Bani Umayyah untuk melegitimasi kebobrokan moral mereka. Mereka lalu mengkampanyekan bahwa seburuk apapun moral penguasa tetap sebuah kehendak Allah. Di sisi lain ketertindasan yang terjadi dilapisan masyarakat tetap harus diterima dengan senang hati sebagai ketetapan Allah, sehingga tidak perlu mengajukan protes protes sosial semacam demontrasi yang menentang status quo.
Unik sekaligus miris memang masyarakat terkadang sangat muda dimanfaatkan demi kepentingan politik apalagi politik yang telah dipoles dengan doktrin dari keyakinan aliran keagamaan tertentu. Memang ada kekuatan maha dahsyat dalam keyakinan agama dimana karenanya manusia akan berani mempertaruhkan hidupnya sebuah keyakinan. Ternyata kekuatan inilah yang dimanfaatkan oleh pelaku politik dan pergerakan untuk mengerakkan masyarakat yang kemudian diarahkan untuk kepentingan politik tertentu.
Jurus pemikat
Fenomena ini tidak akan lama lagi akan kita lihat ketika masa kampanye pemilu dibuka. Akan ada banyak ayat-ayat Alquran “dikebiri” disenandungkan sesuai dengan kepentingan politik. Jurus-jurus pemikat yang diberi legitimasi dengan ayat-ayat Tuhan pun akan dilontarkan demi meraih suara rakyat.
Kelihaian memoles antara politik dengan nilai keyakinan ini menjadi prasyarat menjadi jurkam sebuah partai politik. Oleh karena itu, sejatinya kita tidak perlu heran ketikan nanti banyak pendai kondang yang sering memberi ceramah di acara maulid atau khatib Jumat akan segera “dipinang” oleh partai-partai politik menjadi jurkam yang tentunya mewakili suara politik ‘tuan’-nya.
Kadang tidak disadari, ketika tokoh-tokoh agama ini berbicara mewakili partai politik tertentu pastikan akan banyak idealisme tergadaikan, dan lebih tajam kharisma dan nama besarnya menjadi nanar di mata masyarakat. Fenomena ini tentunya akan menjadi preseden buruk bagi citra tokoh-tokoh agama yang tidak cerdas memilih kenderaan politiknya.
Idealnya masyarakat diajarkan etika berpolitik yang santun dengan menjunjung tinggi nilai demokrasi dan dapat menerima keberagaman. Memang tidak ada politik yang bersih di dunia ini, tapi setidaknya tetap harus memperlihatkan cara-cara berpolitik Islam yang modern. Tidak perlu mendaur ulang politik ala khawarij, biarlah ia menjadi sejarah kelam dan terkubur bersama kekejaman mereka.
* Lukman Hakim, Dosen Teologi Islam pada Fakultas Ushuluddin UIN Ar-Raniry, Banda Aceh, dan Peneliti Pusat Kajian Pendidikan dan Masyarakat (PKPM) Aceh. Email: loekman_af@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar